Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan hidup yang dikategorikan primer. Dengan pendidikan diharapkan seorang manusia dapat mengangkat derajat kesejahteraan hidupnya. Namun bagaimana jika pendidikan harus dibeli menggunakan nilai? Dan nilai tersebut harus dibeli dengan uang?
Ya, fenomena ini memang sudah tak asing dan ketika seorang mendengar istilah “suap” menjadi seolah biasa saja. Termasuk dalam bidang pendidikan. Guru acap kali memberikan sebuah penawaran yang intinya ialah SUAP!
Mungkin hal yang pertama yang akan saya ajukan ialah hal yang paling ekstrem terlebih dulu. Hal tersebut ialah mengenai mencari untung. Seorang guru –yang selanjutnya bisa disebut sebagai seorang pendidik bisa saja memberikan nilai jelek kepada muridnya agar si murid tak dapat lulus dalam Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Apa tujuannya? Si pendidik bertujuan agar si murid yang tak lulus KKM tadi dapat menghubungi dirinya (si pendidik) untuk mengajarkan secara intensif (les privat). Dan ini tentu tidak gratis… namun si murid harus membayar lebih untuk itu. Meskipun hal ini sulit untuk dibuktikan dikarenakan sulit mencari fakta bahwa seorang murid memang seharusnya lulus KKM atau tidak. Dan nilai yang diberikan oleh sang pendidik kini memang cenderung subjektif bukannya secara objektif.
Nilai yang Harus Di Beli
Poin kedua ialah mengenai meminta sejumlah uang secara halus. Pernah saya temui seorang pendidik yang menginstruksikan muridnya untuk membeli sebuah barang untuk menaikkan nilai murid tersebut. Hal ini tentu sangat memberatkan murid apalagi instruksi yang diberikan ialah “membeli” bukannya “mengumpulkan”. Contohnya buku. Seorang pendidik menawarkan kepada muridnya dengan dua pilihan:
1. mengulang tes agar nilainya bisa naik
2. “membeli” sebuah buku yang isinya sesuai mapel yang diampu.
Maklum anak muda jaman sekarang, tentu murid akan memilih poin kedua yang lebih simple dan singkat. Dengan nilai yang sama pula.
Hal tersebut sangat disayangkan mengingat seorang pendidik tak seharusnya memberikan instruksi “membeli’ yang berarti akan menunjuk pada barang baru. Toh seharusnya ia bisa mengatakan dengan instruksi “menyumbangkan sebuah buku dengan tema . . .” agar si murid juga bisa mengumpulkan buku yang sudah ia baca dan tak ia perlukan lagi.
Karena jika bahasa tersebut di bahasakan secara kasar, mungkin dapat juga diartikan “mana uangmu dan kuberikan nilai untukmu”.Mengapa demikian? Karena dengan barang baru bisa saja ia menjualnya lagi dan apa yang ia dapatkan tentunya adalah uang.
Memang uang merupakan kebutuhan juga. Tetapi apa jadinya jika pendidikan yang seharusnya bisa mengajarkan nilai moral malah didalamnya terdapat unsur-unsur suap?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H