Merujuk pada laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagaimana yang dilansir www.databoks.katadata.co.id pada (24/1/22), menunjukkan sebanyak 240 kasus korupsi pendidikan yang ditindak Aparat Penegak Hukum (APH), pada 2016 - September 2021 melibatkan 621 tersangka. Tercatat dari 288 ASN, sebanyak 160 tersangka merupakan ASN Staf di Dinas Pendidikan.
Ironisnya, tersangka koruptor sektor pendidikan paling banyak. Mereka berasal dari pihak sekolah, yaitu 157 tersangka. Sebanyak 91 tersangka memiliki jabatan Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Kemudian yang berasal dari guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis kegiatan mencapai 36 tersangka, Sedangkan staf keuangan atau bendahara sekolah sebanyak 31 tersangka. Sungguh ironis kondisi sektor pendidikan kita!
SDM DANGKAL
Berbicara tentang sumber daya manusia (SDM), sektor pendidikan dapat dipastikan didominasi lebih dari 90% berstatus sarjana atau diploma. Mereka berkonsentrasi pada bidang-bidang yang digeluti sesuai dengan linierisasi pendidikan dan konpetensi dirinya. Secara prinsip hukum, seharusnya mereka lebih tahu dan lebih paham atas sebuah tindakan. Apalagi menyangkut tindak pidana korupsi.
Lalu, mengapa justru di sektor pendidikan lebih besar terjadinya tindak pidana korupsi? Penulis sependapat dengan pernyataan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. Dinyatakan beliau "Makin Tinggi Tingkat Pendidikan, Makin Tinggi Perilaku Koruptifnya!" (www.kompas.com pada 1 Oktober 2020)
Secara kinerja, harusnya SDM pendidikan lebih cepat tahu, paham, dan mampu mencegah berbagai tindakan koruptif. Namun faktanya berbalik. Justru dengan kepandaiannya itulah, banyak hal yang akhirnya menjadi celah sekaligus peluang melakukan tindak pidana korupsi. Ironisnya, hal itu menjadi sebuah kebiasaan dan membudaya dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Sungguh miris lagi mengerikan!
BUDAYA "PENYIKAPAN"
Secara teknis, banyak pihak dilingkungan birokrasi akrab dengan kata "penyikapan". Terutama bagi pimpinan, bendahara, dan pelaksana kegiatan. Sebuah kata kunci untuk alibi dalam pemanfaatan anggaran atau dana di lingkungan institusi pemerintah. Hal itu juga sangat familier di telinga pelaku sektor pendidikan.
Internal sekolah, memiliki setidaknya 3 (tiga) sumber dana, yaitu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat, Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) dari pemerintah provinsi/daerah, dan Dana Partisipasi Masyarakat (DPM). Khusus DPM biasanya dikondisikan sekolah bersama Komite Sekolah.
Tiga sumber dana itu mengucur dalam tata kelolah keuangan sekolah. Penguasa pengguna anggaran adalah kepala sekolah dan didampingi bendahara sekolah maupun jabatan lain yang ditunjuk. Masing-masing sumber dana memiliki platform penggunaan yang berbeda satu sama lainnya. Sifatnya melengkapi dan menunjang atau subsidi silang. Nah, dari sinilah kemudian muncul banyak ketimpangan dalam penggunaan anggaran di sekolah.
Pernyataan unik diluncurkan Dr. Chatarina Muliana, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek. Seperti yang dilansir pada laman www.rri.co.id pada 23 September 2023. "Ternyata pendidikan itu masih masuk rangking 5 korupsi, karena anggarannya besar yang dikucurkan dari APBN," kata Chatarina Muliana.