Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dibawah kepemimpinan Mendikbud Muhadjir Effendy, sudah pernah menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (www.nasional.kompas.com Kamis, 3 Agustus 2017)
Sejak ditandatanganinya MoU antara Kemendikbud dan KPK kala itu, faktanya tidak begitu memberikan efek positif terhadap sektor pendidikan. Penulis dapat mengasumsikan, fakta menunjukkan terjadinya indikasi korupsi dari hulu sampai hilir. Sungguh ironis dan harus segera dilakukan proses yang masif dan akurat.
Perlu digarisbawahi, bilamana sector pendidikan memiliki peran besar lagi strategis dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Hanya saja, bilamana dalam konteks keseharian, berbagai bentuk tindak pidana korupsi terjadi disektor pendidikan, tentu saja hal itu akan menjadi dosa besar. Masyarakat tak akan lagi percaya dengan akuntabilitas dan profesionalisme pelaku sektor pendidikan.
Sementara, diberlakukannya Kurikulum Merdeka sejatinya ingin meningkatkan kualitas pendidikan semaksimal mungkin. Baik melalui fokus perwujudan Profil Pelajar Pancasila maupun platform Merdeka Mengajar dan Merdeka Belajar. Upaya-upaya konseptual itu dilakukan dengan penuh semangat kebangsaan. Sungguh sebuah kurikulum istimewa.
Namun disisi lain, sumber daya manusia pendidikan yang notabene sebagai pelaku pendidikan, masih belum sepenuhnya memahami dan memaknai kurikulum itu sendiri. Apalagi banyak pula pendidik yang bersertifikat pendidikan, nyatanya belum mampu melakukan pendidikan karakter anti korupsi. Bahkan mungkin, malah banyak diantara mereka (maaf) justru jadi pelaku korupsi di sektor pendidikan. Sungguh ironis, bukan?
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis selama lebih dari 15 tahun menjadi tenaga pendidik, ada hal-hal krusial dan esensial dalam mendorong korupsi. Utamanya di sektor pendidikan, 5 (lima) faktor inilah yang menjadi pemicu kian maraknya korupsi dalam sektor pendidikan kita, terkhusus yang berlangsung dalam lingkaran sekolah.
SISTEM "MAINAN"
Sistem rekrutmen pejabat di sektor pendidikan, sejauh ini rawan dengan tindakan kolusi dan nepotisme. Dua hal itu akan menjadi ruh oknum untuk melakukan tindakan korupsi. Bahkan lebih ekstrim dan bukan rahasia umum, untuk menjadi pejabat pendidikan harus memiliki "amplop" yang tebal. Disinilah awal terjadinya tindak pidana korupsi yang masif dari hulu hingga hilir.
Sebagai contoh dan ilustrasi, penulis menyoroti keberadaan pejabat-pejabat pendidikan tetapi secara akademik tidak linier. Mungkin hal itu bisa disiasati dengan adanya model asistensi dalam penciptaan program-program inovasi pendidikan. Hanya saja, pernahkan kita berhitung, bila pejabatnya tak paham dengan kondisi pendidikan, maka hal itu sama saja dengan menjerumuskan sistem dalam keterpurukan berkelanjutan.
Pada sisi lainnya, seorang guru yang mendapat tambahan tugas sebagai kepala sekolah, pastilah banyak diantara mereka yang memegang jabatan karena adanya kompetensi diri yang pas-pasan tetapi kompetensi finansialnya berlebih. Sehingga ketika mereka menjabat, tak segan-segan mengeruk keuntungan untuk "pengembalian modal". Situasi dan kondisi semacam inilah yang memperburuk sektor pendidikan penuh dengan pelaku korupsi.