Mohon tunggu...
Yuswanto Raider
Yuswanto Raider Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru dan penulis lepas yang lahir di Surabaya pada 14 Februari 1974. Sejak tahun 2005 saya tinggal di Desa Kembangsri Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto

Hobi saya merawat tanaman, traveling, outdoor learning, dan advokasi kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Presiden Jokowi Marah, 6 Unsur Ini Pemicu Korupsi di Sekolah

8 Maret 2023   15:56 Diperbarui: 8 Maret 2023   15:58 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMITMEN:Dunia Pendidikan Harus Bersih Dari Tindak Pidana Korupsi. (Foto: www.pasundanekspres.co / Istimewa)

DANA SPS

Pemerintah secara kebijakan telah menerapkan pendidikan gratis. Namun hal itu justru masih belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan teknis dan operasional dalam lingkup sekolah. Sehingga, muncullah sebuah pungutan dalam bentuk sumbangan pengembangan sekolah (SPS). Pungutan itu menyatu dan dipadukan dengan nilai nominal yang diberikan pemeirntah dalam bentuk bantuan sumbangan pengembangan pendidikan (SPP).

Masalahnya adalah, landasan hukum untuk memungut biaya tambahan pendidikan dalam bentuk SPS itu hanya berdasar pada keputusan sekolah dengan komite sekolah. Hal itu harusnya menjadi kajian mendalam bagi institusi pendidikan untuk merumuskan dasar hukum yang kuat dan mengikat.

Bagaimana pun juga dalam pelaksanaan pendidikan sangat tergantung pada peran pemerintah dan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, guna menyiasati hukum yang mengarah pada tindak pelanggaran korupsi, sekolah biasanya mengalokasikan tambahan dana SPS itu untuk kepentingan keringanan biaya, beasiswa prestasi, dan kegiatan operasional harian maupun pembinaan kesiswaan.

Menurut hemat penulis, bagaimana pun pungutan SPS itu bersumber dari masyarakat atas kesepakatan dengan komite sekolah. Sementara dana SPP yang bersumber dari pemerintah daerah, merupakan hasil kajian keuangan daerah yang belum terukur secara optimal dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Sehingga kedua sumber dana itu harus mampu dipertanggungjawabkan secara aktual dimata hukum.

DANA DPM

Sekolah wajib membangun. Tetapi sekolah seharusnya tidak memaksakan diri untuk membangun, apalagi bangunan fisik. Semua harus dikaji ulang agar dalam dunia pendidikan tidak lagi terjadi yang namanya pungutan liar, gratifikasi dan sejenisnya.

Munculnya istilah dana partisipasi masyarakat (DPM) akibat kebuntuhan hukum dalam memaksakan kehendak membangun sekolah. Program kerja sekolah yang dipaparkan di hadapan rapat walimurid, menjadi alasan utama menggali dana dari masyarakat. Alhasil, sepakat atau tidak sepakat, walimurid harus mengikuti kesepakatan bersama itu.

Perlu diingat, apa yang dilakukan dalam menggali DPM merupakan salah satu bentuk pungutan liar. Mengapa? Karena tidak ada dasar hukum yang kuat dan mengikat bagi sekolah untuk melakukan punguta semacam itu. Apalagi sejauh ini, DPM dilakukan untuk pembangunan fisik sekolah. Itu dapat dipastikan secara faktual.

Wajar saja bila proses dan prosedur dalam penggalian DPM itu kadang mencuat menjadi sebuah kasus pendidikan. Bagaimana pun, antara sekolah, komite sekolah, dan walimurid harus mensinergikan dasar, tujuan, dan alur kemufakatan yang adil agar DPM tidak seperti pungutan liar untuk kepentingan beberapa oknum saja.

STUDI WISATA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun