Oknum Guru BK amatir! Begitu tiba-tiba celoteh yang menyeruak di benak Ku. Sejatinya itu bagian dari rasa kekesalan dan kekecewaan kolektif. Hujatan itu, meski tak pantas dan tak terucap, tapi sangat melekat. Nyinyiran itu sengaja Aku tujukan pada Tim Guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.
Sekolah Ku memang di kawasan pegunungan. Bukan berarti pelajar seperti Ku dan teman-teman tak dihiraukan. Apalagi, sepertinya para oknum guru itu berpikir kalau Aku dan teman-temanku tak punya keinginan. Keliru besar kalau mereka menilai seperti itu. Meski Aku dan teman-teman hanyalah pelajar di pegunungan, tapi cita-cita dan keinginan kami juga seperti gunung di seberang sekolah.
Cita-cita dan keinginan kami, pingin menjadi sosok berguna dan sukses. Bisa kuliah selepas SMA dan mengukir prestasi di lain daerah. Bukannya kita malah dipandang sebelah mata. Bahkan kita dianggap pelajar yang tak punya harapan selepas SMA. Dasar oknum guru tak berwawasan.
Kekecewaan dan penyesalan Ku maupun teman-teman, sejatinya sudah lama terpendam. Guru BK yang kami harapkan memberikan banyak wawasan dan bekal menghadapi seleksi masuk kampus negeri. Nyatanya justru tak berwawasan, gaptek, dan sepertinya tak begitu paham dengan tugasnya.
Aku sekarang terpaksa harus menelan ludah kekecawaan. Meski rangking nilai Ku selalu berada di urutan 1 hingga 4, nyatanya Aku terpuruk dan tak bisa meraih kursi kampus negeri. Sementara teman-temanku yang rangkingnya di urutan 20 an, justru sedang bahagia karena lolos seleksi.
Sejatinya, Aku sangat menyadari bila nasib seseorang tidak ada yang tahu. Namun, setidaknya dalam proses persiapan hadapi seleksi, guru BK bisa memberikan pandangan dan arahan bagaimana mengikuti seleksi. Sayangnya mereka cuek saja. Bahkan kondisi ini sudah terjadi sejak sepuluh tahun lalu. Cerita dari kakak kelas benar-benar terbukti.
Sekedar diketahui, guru BK disekolah Ku ada 4 orang. Satu guru berstatus PNS dan sudah menikmati tunjangan sertifikasi. Satu guru lagi juga PNS yang memilih ngajar BK demi mengejar sertifikasi pendidik. Sebab mapel yang dipegangnya bahasa asing dan tak ada jurusannya di sertifikasi. Sedangkan yang 2 guru lagi adalah guru honorer yang sepertinya buta dengan kata peduli.
Ironisnya lagi, salah satu teman Ku yang menjelang seleksi mencoba konsultasi. Teman Ku itu merupakan keluarga tak mampu. Namun kakaknya baru saja lulus dari kampus negeri. Hebatnya, kakak teman Ku itu bisa kuliah karena mendapat beasiswa Bidik Misi dari pemerintah.
Ketika adiknya konsultasi pada salah satu guru BK, ternyata disuruh ikut seleksi tahun depan. Kontan saja dia drop mentalnya dan enggan ikut seleksi. Seandainya ikut seleksi dan lolos, teman ku berpikir bagaimana bisa meneruskan kuliah sementara kedua orangtuanya untuk makan saja sudah susah.
Jawaban yang terlontar dari guru BK itu, saat ini Bidik Misi sudah berubah menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Jadi murid yang tidak punya kartu KIP atau KKS, sebaiknya ikut seleksi tahun depan. Tahun ini ngurusi dulu agar dapat kartu KIP yang biasa diterbitkan Dinas Sosial.
Sedangkan kasus lainnya justru berbalik. Seorang teman ku lagi yang sudah punya kartu KIP, justru tidak diarahkan untuk membuat akun dan mengisi data di website KIP Kuliah sesuai petunjuk kementerian. Saat dirinya dinyatakan lolos seleksi di kampus negeri, terpaksa dirinya harus membuat pendaftaran. Otomatis registrasi online dirinya pun terhambat.