Mohon tunggu...
M. Khusen Yusuf
M. Khusen Yusuf Mohon Tunggu... wiraswasta -

manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyalahkan Sang Pemberi Selera

11 November 2017   09:13 Diperbarui: 11 November 2017   09:46 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soal Makanan, setiap orang punya selera. Setiap individu, komunitas, suku, bahkan bangsa, punya ciri khas kuliner yang otentik. Kita mungkin merasakan nikmat luar biasa masakan sederhana nasi sambel terasi plus ikan teri racikan ibu kita. Mereka yang berasal dari Lamongan mungkin menganggap Soto Lamongan adalah makanan paling nikmat sedunia. Mereka yang berasal dari Madura mungkin lebih menyukai sate Madura dengan aromanya yang khas. Masyarakat Padang mungkin menilai bahwa rasa rendang mereka lah yang paling maknyus di dunia.

Indra pengecap rasa yang kita miliki mungkin sama. Posisinya pada lidah setiap orang mungkin sama. Tetapi yang menjadi pembeda adalah pengalaman mengecap rasanya. Pengalaman merasa adalah pembedanya. Juga racikan sang koki. Dan kita harus menghormati keberagaman rasa itu. Sebagai penghargaan, penghormatan, dan rasa syukur kepada Sang Pemberi Selera.

Soal selera, kita bhinneka.

Maha Besar Allah, Sang Pemberi Selera.

***

Tapi di sini saya tidak sedang akan membahas tentang kuliner, atau soal kekayaan selera masakan Nusantara, melainkan mengenai "selera" mengamalkan suatu ibadah (sunnah). Belakangan ini kita kerap mendengar cibiran sekelompok orang kepada sekelompok yang lain hanya karena perbedaan selera pengamalan ibadah sunnah. Cibiran tersebut terkadang sampai jatuh pada sikap menvonis bid'ah, bahkan syirik dan mendekati kekufuran. Nau'dzubillah.

Kecintaan terhadap suatu ibadah atau amalan sunnah itu sesungguhnya tak jauh berbeda dengan urusan menikmati kuliner. Ia amat dipengaruhi selera personal. Selera tersebut bisa saja lahir akibat kebiasaan sejak kecil, didikan orang tua, arahan guru, atau mungkin pengalaman spiritual yang datang tiba-tiba.

Seseorang bisa saja merasakan nikmat luar biasa dengan hanya mengucapkan dzikir subhanallah berulang-ulang. Yang lain mungkin saja merasakan pengalaman spiritual luar biasa melalui amalan membaca sholawat (dengan atau tanpa sayyidina). Sementara, ibadah sunnah lainnya seperti mengkhatamkan Qur'an, sholat malam, atau puasa sunnah, tidak terlalu rajin. Atau sebaliknya, ada yang rajin mengkhatamkan Qur'an, namun tidak terlalu banyak membaca sholawat. Boleh jadi mereka yang tidak terlalu istiqomah baca Qur'an memiliki keistimewaan dalam ibadah lainnya, semisal rajin Sodaqoh. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Jika kita merasakan nikmatnya menjalankan ibadah sunnah, apapun bentuknya, nikmati saja. Nikmati saja. Nikmati saja. Karena mungkin saja yang demikian itu adalah jalan yang ditunjukkan Allah kepada kita untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Ketika sedang istiqomah menjalankan ibadah sunnah tersebut, sebaiknya hindari sikap membanding-bandingkan keistiqomahan kita dengan orang lain. Karena boleh jadi orang yang kita nilai---berdasarkan ukuran atau standar ibadah kita---justru punya keistimewaan ibadah lainnya. Hindari cibiran. Karena yang demikian itu (cibiran atas ibadah tertentu) justru bisa saja menjerumuskan kita pada sikap menyalahkan Sang Pemberi Selera.

Maha Benar Allah, Sang Pemberi Selera.

***

Pentingnya Peran Guru

Soal selera ibadah, Guru memiliki peran penting dalam mengarahkan muridnya ketika menjalankan amalan tertentu. Dalam tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah, seorang ulama yang memiliki keluasan ilmu dan kedalaman spiritual, dipercaya bisa membawa murid-murid dan para santrinya menuju jalan yang diridloi Allah. Selain mengajarkan ilmu pengetahuan, mereka juga mengarahkan para santrinya untuk mengamalkan ibadah (sunnah) tertentu. Amalan-amalan tersebut kerap diturunkan kepada para Santri melalui pemberian ijazah.

Hubungan Guru-Murid ini begitu dekat sehingga terkadang amalan sunnah yang dijalankan para santri dengan tanpa persetujuan Guru bisa diinterupsi di tengah jalan dengan tujuan yang mungkin (awalnya) tidak dipahami oleh Si Santri.

Mengenai interupsi ibadah sunnah ini, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliky Al-Hasany dikisahkan pernah memerintahkan salah seorang santri untuk menghentikan amalan puasa dalail oleh karena dilakukan tanpa izin beliau. Santri tersebut, sebut saja namanya si fulan, sudah sekian tahun menjalankan puasa dalail. Namun, ketika tinggal sehari amalan tersebut hampir tuntas, beliau justru memerintahkan Si Fulan untuk mokel atau berhenti puasa.

Kejadian serupa juga pernah beliau lakukan pada seorang santri ketika musim haji. Bersama para santri, Abuya menjalankan ibadah haji. Sesampainya di Masjidil Haram, beliau dan rombongan menjalankan Mabid di Muzdalifah, seharian wukuf, berdesak-desakan dengan banyak jamaah lainnya. Dalam kondisi letih rombongan santri tersebut kemudian diminta istirahat. Namun ada satu santri yang lantas terbangun, mengambil wudlu, kemudian menjalankan ibadah sholat malam. Santri yang bangun dan menjalankan ibadah sholat malam tersebut justru ditegur oleh Abuya. Ia diminta untuk tidur kembali.

Secara lahiriah, mungkin sebagian dari kita akan mempertanyakan sikap Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliky Al-Hasany tersebut. Bukankah puasa dalail dan sholat malam itu sunnah? Bagaimana mungkin beliau yang dipandang sangat alim bisa menghalangi santri menjalankan ibadah sunnah yang dianjurkan Nabi?

Mereka yang tidak paham makna di belakang teguran tersebut mungkin akan mencaci beliau. Padahal boleh jadi langkah Abuya menginterupsi ibadah (sunnah) tersebut untuk menghindari sikap riya', ujub, merasa diri paling alim dibanding yang lain.

Di sinilah pentingnya peran guru. Kita sebagai murid diajarkan untuk mengikuti Guru dalam bersuluk atau beramal. Karena para Guru, dengan keluasan ilmu dan kedalaman spiritualnya, lebih memahami jalan yang bisa mengantarkan muridnya menuju jalan Allah.

***

Walhasil, pada titik tertentu, ada baiknya kita mengikuti selera ibadah yang dikaruniai Allah kepada kita. Hindari mencibir amalan orang lain. Jangankan mencibir, apalagi mencaci, terburu-buru pindah ke zona amalan sunnah lainnya sebaiknya dihindari dulu. Karena, seperti makanan, hasrat kita untuk mencicipi semua, terlebih dengan sikap terburu-buru, bukanlah langkah yang bijak.

Nikmati ibadah sunnah yang kita suka, sesederhana apapun itu. Boleh jadi dengan ibadah yang tampak sederhana tersebut, kita justru sedang dibimbing oleh Allah menuju jalan-Nya.

Maha Kuasa Allah, Sang Pemberi Selera.

Wallahu A'lam

*) Tulisan ini murni lahir dari pengajian Syarah Kitab Al Hikam karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al Sakandari tentang Hikmah ke Sembilan oleh KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy, tanggal 23 Oktober 2017. Ada tambahan ilustrasi dan perubahan bahasa, namun insya Allah tidak mengurangi substansi materi yang disampaikan. Video didapat dari akun facebook Tanwirul Afkar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun