Mohon tunggu...
M. Khusen Yusuf
M. Khusen Yusuf Mohon Tunggu... wiraswasta -

manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bayangkan Erdogan adalah Pemain Bola.. Eh, Presiden Kita

25 Juli 2016   15:50 Diperbarui: 25 Juli 2016   16:02 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percobaan kudeta oleh segelintir faksi militer Turki beberapa waktu lalu tentu saja membuat banyak orang kaget, tak terkecuali saya--yang sesungguhnya tak tahu apa-apa tentang dinamika politik di negara tersebut.

Selain sekelumit bacaan singkat yang pernah saya baca (entah kapan. mungkin saat kelas 6 MI & semasa SMP. mungkin pula sambil lalu saya baca di perpustakaan semasa kuliah, plus bisik-bisik kawan ikhwan masjid kampus wa akhowatuh tentang kejayaan turki utsmani), saya tak mengenal Turki.

Ya, setiap kali membaca sejarah dunia, selalu disebut potongan sejarah tentang Bizantium, Konstantinopel, yang sekarang dikenal sebagai Istanbul--kota terbesar di Turki. Ya, dari buku sejarah saya juga mengenal Mustafa Kemal Ataturk, pendiri dan presiden pertama Turki republik. Karena saya bukan pakar sejarah, ya tahunya itu saja, itupun dari buku sejarah yang saya baca sambil lalu.

Jadi saya tidak merasa memiliki kedekatan emosional berlebih akan Turki.

Saya merasakan 'kedekatan emosional' baru-baru ini saja, itupun bukan karena terpesona akan sosok Kemal Ataturk, apalagi Erdogan. Ya baru saja, tepatnya saat Turki menjadi juara 3 (tiga) Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang. Dari situ saya mengenal Hakan Sukur (karena posisinya Striker, jadi gampang dikenal-mudah diingat) dan kiper Rustu Recber (karena noda hitam mirip tompel di bawah matanya, plus rambut gondrongnya. Luar biasa juga penyelamatan akrobatiknya selama turnamen). Oh ya, satu lagi yang saya ingat: Emre Belozoglu (bukan apa-apa, karena saya saat itu suka Inter Milan :D ).

'Kedekatan emosional' saya dengan Turki sebenarnya muncul ketika Galatasaray berhasil menjuarai Piala UEFA 1999-2000, yang mengalahkan Arsenal di Final. Sorry, suporter Arsenal. Tapi ya itu tadi, lebih emosional saat Piala Dunia 2002. Lebih suka lagi ketika muncul nama Mesut Ozil. Eh, tapi Ozil itu Jerman ya? Meski keturunan Turki. Tapi Arsenal juga sih.

Disitulah saya suka Turki. Sesekali baca tentang perkembangan sepakbola di negara fifty-fifty itu (setengah Eropa, separoh Asia. fifty-fifty-nya Orang Madura sih...bukan 50-50%, tapi 70-30%), yang nama klubnya banyak diakhiri dengan "SPOR". Sesekali saya juga buka cuplikan pertandingan Liga Turki di footyroom, terutama yang melibatkan 3 (tiga) klub: Galatasaray, Besiktas, dan Fenerbahce.

Singkat cerita, saya lebih tertarik dengan berita soal Hakan Sukur dibanding kisah kepahlawanan Kemal Ataturk. Saya lebih suka ngeklik berita tentang Mesut Ozil tinimbang ulasan mengenai kharisma Presiden Recep Tayyip Erdogan. Saya lebih berminat tentang isu transfer pemain dari Liga-Liga Eropa ke Galatasaray, Besiktas, ataupun ke Fenerbance daripada dinamika politik Turki.

Tapi kudeta gagal di Turki beberapa waktu lalu mau tidak mau menyita perhatian saya. Setidaknya ketika saya sedang pegang hape. Berbekal pemahaman yang sedikit tentang Turki (karena sedikit, pandangan saya bisa saja bias; pemihakan saya, apalagi), saya mengumpulkan informasi seputar Kudeta Gagal Turki. Sebenarnya bukan mengumpulkan informasi, tetapi hanya mengikuti perintah otak, kata hati, yang turun ke ibu jari yang sedang berada di layar hape.

Melalui proses intelektual ibu jari seperti itulah saya kemudian mengambil "sikap politik": bersimpati terhadap Erdogan dan menyayangkan upaya kudeta militer--yang pastinya tidak disukai oleh para pegiat demokrasi dan pendukung supremasi sipil. Lewat penelitian kuantitatif kibasan jejari di layar hape, saya berkesimpulan bahwa Erdogan benar dan pelaku kudeta salah. Pada titik ini, saya merasa kesimpulan saya cukup tepat.

Tetapi dalam perkembangannya--sorry, ini mulai serius--simpati saya berkurang terhadap Erdogan, bahkan hilang. Terlebih ketika Erdogan dan pemerintahannya yang tegak berdiri justru bersikap represif terhadap sejumlah kelompok yang disinyalir berada di belakang upaya kudeta yang gagal itu. Terlebih yang dituduh sebagai dalang adalah ulama besar Fethullah Gulen, seorang ulama Islam Sunni Madzhab Hanafi yang selama ini dikenal moderat, pendukung dialog antar agama, namun tidak bisa juga disebut liberal karena sikap puritan-konservatifnya. Terlebih ia juga dikenal memiliki kontribusi terhadap masyarakat melalui institusi pendidikan dan sosialnya. Terlebih jika menilik sejarah singkatnya ia adalah mantan mitra, partner, penyokong, sekaligus sahabat Erdogan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun