Mohon tunggu...
M. Khusen Yusuf
M. Khusen Yusuf Mohon Tunggu... wiraswasta -

manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pemilik Modal, Kepadamu Kami Mengabdi

18 Maret 2014   00:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_327008" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Media massa tidak pernah bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai demokrasi. Peran media dalam demokrasi sama pentingnya dengan peran partai politik. Tanpa media massa, keterbukaan dan akuntabilitas tidak mungkin terwujud dalam demokrasi kontemporer saat ini.

Sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy), media dapat mendorong sistem politik yang lebih “adil” dalam beberapa aspek. Misalnya membantu publik memahami kebijakan-kebijakan pemerintah, berpartisipasi dalam keputusan politik, dan menjaga agar para pejabat pemerintahan bertanggung jawab.

Namun sayangnya kedigdayaan untuk mempengaruhi opini publik dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan di balik kepemilikan media yang “kawin” dengan kepentingan politik. Politikus dan para operator politik pun mendapatkan ruang untuk mengaburkan fakta melalui retorika dan manipulasi di media massa. Dengan demikian, media massa juga dapat menghambat transparansi.

13950506371113529244
13950506371113529244

Media massa, apapun bentuknya, dianggap sebagai area pergulatan, perdebatan, dan saling mempengaruhi antara kekuatan sosial politik masyarakat. Ia menjadi ’padangkurucitra’, medan perebutan citra sekaligus arena pertempuran ideologi dan sistem nilaiyang dianut-yakini berbagai kelompok. Pada titik tertentu, media memposisikan dirinya (atau diposisikan) sebagai pasar bebas ide (free market ideas). Berbagai ideologi, kepentingan, penguasa ataupun kelompok yang resisten terhadap penguasa, saling berebut pengaruh.

Sebagai pasar bebas ide dan area saling mempengaruhi antara kelompok kepentingan di masyarakat, media dengan sendirinya bias. Ia punya kecenderungan untuk mendua. Kadangkala berpihak terhadap penguasa atau kelompok dominan dan menjadi alat kontrol terhadap wacana publik. Namun tak jarang pula menampilkan wajah garangnya di depan penguasa, mengkritisi, bahkan menjadi alat perjuangan bagi kelompok marjinal dan terpinggirkan.

Kecenderungan untuk bias tersebut berpotensi semakin menguat menjelang dihelatnya pesta demokrasi Pemilu 2014. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari teguran Komisi Penyiaran Indonesia terhadap beberapa stasiun televisi swasta yang dianggap tak proporsional dalam menayangkan siaran politik. Berbagai pemberitaan pun terlihat tendensius ketika menyangkut lawan politik.

Gong Pemilu 2014 sudah ditabuh. Minggu, 16 Maret 2014, adalah hari pertama kampanye partai politik. Semua media tentu saja berlomba menayangkan dan memberitakan momentum perdana pesta demokrasi lima tahunan itu. Dan di situlah kita bisa melihat bias media secara gamblang. Dengan pisau analisa sederhana, kita juga bisa melihat kecenderungan bias itu pada pemberitaan sejumlah koran nasional yang terbit hari ini (Senin, 17 Maret 2014). Media yang dimiliki oleh tokoh suatu parpol menonjolkan kampanye parpolnya. Media yang memiliki kedekatan dengan parpol tertentu, memberikan porsi lebih dalam pemberitaan kepada parpol tersebut.

1395050708152355125
1395050708152355125

Koran Sindo misalnya. Sebagai koran yang dimiliki oleh Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Hanura Hari Tanoe Soedibjo, Hanura mendapatkan porsi pemberitaan luar biasa dominan. Lebih dari 2/3 halaman pertama koran ini hanya memberitakan kampanye Partai Hanura dengan headline berita berjudul “Hanura Siap Perangi Korupsi.” Dua foto besar Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto dan Hari Tanoe (Pasangan Capres-Cawapres partai ini), terpampang magrong-magrong di sana. Partai lain? Mohon maaf, di halaman dalam saja.

Media Indonesia, Koran yang dimiliki oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga memberikan porsi lebih kepada Nasdem dengan menampilkan foto Surya Paloh yang menyorongkan mikrofon kepada seorang penyandang disabilitas sebagai foto A (utama). Pemilihan foto utama itu seakan disengaja untuk memberikan penekanan tentang ‘kelebihan’ Nasdem. Namun, Media Indonesia agak lebih fair dengan memilih berita ‘netral’ keputusan KPU yang mendiskualifikasi 9 parpol di 25 Kabupaten/Kota sebagai headline.

Bagaimana dengan Jurnal Nasional? Sebagai Koran yang selama ini dikenal memiliki kedekatan khusus dengan Partai Demokrat dan Presiden SBY, porsi pemberitaan Partai Demokrat dan Presiden SBY lebih dominan. Halaman pertama Koran memampang foto warga Pekanbaru, Riau yang sedang mengikuti sholat istisqo’ (minta hujan) plus foto kecil SBY meninjau kebakaran hutan dengan berita utama bertajuk “Perintah Presiden SBY: Kejar Dalang Pembakaran”. Dengan pembingkaian berita seperti ini, Jurnas seolah ingin menggiring opini publik bahwa Presiden SBY lebih mengutamakan kepentingan publik, dalam hal ini penanganan kebakaran hutan di Riau, dibandingkan menjadi juru kampanye Partai Demokrat. Pembingkaian itu dipertegas dengan berita utama halaman 3 berjudul “Batal Kampanye, SBY Utamakan Kepentingan Negara.”

13950507452080332937
13950507452080332937

Demikian pula dengan Jawa Pos, Koran beroplah terbesar di Jawa Timur menuliskan headline “Parpol All-Out Terjunkan Jurkam” dengan subjudul “Batal Kampanye di Magelang, SBY Pilih Tugas Negara”.Dengan memilih judul headline seperti itu, plus memampang foto Dahlan Iskan (Jurkam Partai Demokrat) berderet dengan foto para jurkam partai lain (Surya Paloh/Nasdem, Jokowi/PDIP, Aburizal Bakrie/Golkar, dan Anis Matta/PKS), Jawa Pos seolah berusaha untuk dikesankan netral. Namun, masih ada indikasi keberpihakan khusus terhadap Partai Demokrat dengan subjudul “Batal Kampanye di Magelang, SBY Pilih Tugas Negara” plus penempatan foto Dahlan di tengah empat jurkam parpol lain.

Kompas, sebagai media yang selama dikenal professional dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, terlihat relatif netral dan ‘bermain aman’ dalam memberitakan hari pertama kampanye. Dengan judul headline “Parpol Saling Sindir, Jual Janji; Kampanye Hari Pertama Relatif Damai dan Meriah”, Kompas memberikan porsi yang berimbang. Memang, secara terbatas, sudah ada nada sumir bahwa Kompas cenderung memberikan dukungan kepada Jokowi sebagai Capres dari PDIP, Tetapi, dari sekian Koran yang saya amati, Kompas adalah media yang paling berimbang dalam memberitakan kampanye hari pertama.

13950510091904605923
13950510091904605923

Yang menarik adalah Koran berbahasa Inggris The Jakarta Post. Koran yang sebagian besar pembacanya adalah ekspatriat dan warga asing ini menampilkan foto tangan Jokowi (tanpa foto wajah) yang mengacungkan empat jari di tengah massa PDIP sebagai foto A halaman pertama. Foto itu diberi caption “Yes, Number Four!” Ini mengesankan sebagai bagian dari pembingkaian untuk menggiring opini pembaca agar memilih PDIP untuk mengamankan pencapresan Jokowi. Terlebih pemilihan judul berita utama “Rupiah rises on Jokowi effect” juga memperlihatkan kecenderungan yang sama. Mirip dengan Sindo yang memberikan porsi berlebih kepada Hanura, pemberitaan Jokowi (dan PDIP) juga memenuhi sekitar 2/3 halaman pertama. Apakah ini pertanda bahwa Jokowi mendapatkan respon positif atau didukung pihak asing? Jika melihat bagaimana efek Jokowi didengar hingga ke mancanegara, banyaknya pemberitaan positif oleh media-media asing ternama, adalah lumrah jika Jokowi diasumsikan mendapatkan dukungan pihak asing. Selama satu tahun terakhir, popularitas Jokowi begitu luar biasa tidak hanya di dalam negeri, tetapi di luar negeri. Euforia Jokowi tidak hanya menjangkiti warga di Tanah Air, tetapi juga masyarakat di berbagai belahan dunia lain (dengan indikator berita-berita positif di berbagai media asing).

Begitulah sedikit analisis pemberitaan media mengenai kampanye perdana Pemilu 2014.Ada bias, tentu saja. Karena media tidak berada pada ruang vakum. Media berada di tengah realitas sosial yang penuh kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks serta beragam.

Kecenderungan media untuk bias memang terkesan tidak adil bagi pembaca sebagai konsumen berita. Sebab, jika merujuk pada sembilan elemen jurnalismenya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang—salah satunya—menuntut media dan pekerja media untuk memberikan loyalitasnya, pertama dan utama, adalah kepada publik. Baru, setelah itu memberi ruang kepada kelompok kepentingan, pemilik modal, dan pemegang saham.Kepada publiklah, media seharusnya memberi hormat dan meneguhkan loyalitas tertingginya. Pengabdian kepada pemilik modal ada pada level kedua setelah kepentingan publik. Namun, pada momentum politik seperti Pemilu, bias media tidak terhindarkan. Di sinilah kecerdasan kita sebagai pembaca dan pemilih diuji. Sebagai konsumen informasi, kita dituntut untuk cakap memilah mana berita yang sesuai dengan realitas (meski realitas yang tampak di media hanya konstruksi dan rekonstruksi realitas) , dan mana yang tidak, yang justru lebih dominan sebagai penggiringan opini dan persepsi publik. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun