Lembaga perwakilan rakyat DPR untuk sekian kalinya tak pernah sepi ulah anggotanya yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabatnya. Sederet peristiwa pelanggaran etika anggota DPR terus menghiasi tontonan publik. Ironisnya adegan pelanggaran itu dengan "garing & apik" dipertontonkan di gedung lembaga terhormatDPR.
Bermula membalikan meja sidang paripurna ke lantai yang merusakperlengkapan rapat diatasnya. Ada yangMencoba membuka pintu ruangan pimpinan salah satu fraksi dengan cara mencongkel dengan alat sejenis obeng. Ada pula yang merokok dengan santai di ruang rapat paripurna bak di warung kopi. Kini ada yang adu jotos karena tak puas dengan perdebatan dalam arena rapat. Setelah ini kemungkinan masih akan ada adegan baru lagi sebagai adegan drama-drama politik lain di panggung gedung parlemen.
Dari rentetan peristiwa tak beretika tersebut, ada kalangan anggota yang lain melihat bahwa ulah tak pantas rekannya yang memaksa membuka pintu ruang pimpinan fraksinya dengan cara mencongkel tersebut meminta agar aparat hukum kepolisian menindaknya. Begitu juga dengan aksi duel 2 (dua) anggota. Dari salah satu anggota DPR diantara yang berduel berpandanganadanya unsur penganiayaaan, sehingga melaporkan tindakan penganiayaan tersebut ke kepolisian.
Tulisan ini tidak bermaksud ingin mengulas tentang benar ada atau tidak terkait tindakan dan prilaku melanggar etika yang dilakukan anggota DPR. Namun yang menjadi perhatian tulisan ini adalah bagaimana menindak adanya dugaan pelanggaran oleh anggota DPR terkait adanya keinginan anggota DPR yang meminta pihak kepolisian mengusut dan menindak anggota DPR yang dianggap melakukan pelanggaran tersebut. Pertanyaanya, apakah benar dan tepat dugaan peristiwa pelanggaran,seperti perusakan gedung dan penganiayaan,yang dilakukan di gedung DPR oleh anggota DPR harus ditindak oleh kepolisian? Sekalipun ada unsur pidana, Apakah kepolisian harus menindak anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran, sementara dugaa perbuatan pelanggaran tersebut bersinggungan dengan norma-norma etika yang berlaku di DPR?
MKD Harus Tegak
Dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh UU No. 42 tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD ada diatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam DPR. Oleh Peraturan DPR No.1/2015 tentang Kode Etik, MKD dibuat sebagai lembaga penegak etika DPR baik melaui sistem pencegahan maupun sistem penindakan. MKD dalam UU dimaksud pada pasal 122, 124, dan 245 terkait sistem penindakan, MKD berfungsi, bertugas, dan berwenang: menyelidikidugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR baik yang diadukan maupun yang tidak diadukan, memanggil pihak-pihak yang terkait dan melakukan kerjasama baik dalam sistem pencegahan maupun penindakan, serta memberi persetujuan atau tidak atas adanya pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana oleh penegak hukum. Ini dapat dilihat detailnya dalam Peraturan DPR No.2/2015 tentang Tata Beracara MKD.
MKD semestinyalah yang harus menindak atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR. Dalam Kode Etik DPR pasal 20 ayat (1) disebutkan “pelanggaran peraturan perundang-undangan oleh Anggota merupakan pelanggaran etika”. Tindakan melakukan perusakan dan penyaniayaan sekalipun mengandung unsur tindak pindana sebagaimana dimaksud KUHP yang harus ditangani oleh kepolisian, masih merupakan pelanggaran yang harus ditindak oleh MKD.
Sebuah peristiwa pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota DPR, baik murni pelanggaran etika maupun murni pelanggaran hukum, seperti hukum pidana, dalam mata pisau kewenangan MKD adalah sebagai pelanggaran etika. Lewat Kode Etik DPR, MKD berwenang menegakan sistem etika yang melampaui sistem hukum. Sistem penegakan etika di DPR berada diatas sistem penegakan hukum.
Sekalipun dalam dugaan tindakan pelanggaran yang mengandung unsur pidana dilakukan oleh anggota DPR harus dilaporkan ke kepolisin, proses penanganan oleh kepolisian akan kembali melibatkan MKD. Kepolisian akan meminta persetujuan atas pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam proses ini MKD bisa memberi persetujuan atau tidak tergantung hasil proses penyeledikan yang dilakukan MKD sendiri terhadap dugaan tindak pidana tersebut.
Jadi kurang tepat jika dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR, seperti perusakan dan penganiayaan yang trjadi di gedung DPR harus ditangani oleh kepolisian. DPR baik secara kelembagaan maupun personal anggota DPR harus mendorong, memaksimalkan dan mengoptimalkan MKD yang terdepan dalam menindak adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR.
Tentunya MKD sendiri harus cekatan, peka, dan dimanis merespon adanya dugaan pelanggaran anggota DPR, sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan perundangan-undangan. Dalam Tata Beracara MKD sendiri, dalam sistem penindakan MKD tidak harus menunggu adanya pengaduan dugaan pelanggaran. Tetapi juga berinisiatif tanpa pengaduan, MKD dapat menindak dugaan pelanggaran karena peristiwa dugaan pelanggaran telah menjadi perhatian publik, seperti terekspos di media massa.
UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh para pembuatnya seolah-olah bermaksud bahwa MKD ditempatkan sebagai “polisi etika DPR, jaksa penuntut etika DPR, dan hakim etika DPR” sekaligus. Dalam peristiwa dugaan pelanggaran, seperti membalikan meja, merokok di ruang rapat, mencongkel pintu ruang pimpinan salah satu fraksi, dan terkini adu jotos 2 (dua) anggota DPR, MKD harus segera menunjukan eksistensinya sebagai polisi, jaksa penuntut, dan hakim untuk menindaknya. Bila tidak, sinisme publik terhadap DPR pantang untuk surut apalagi padam.
Sejatinya kehormatan dan keluhuranmartabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat tegak, karena MKDnya tegak.
Jakarta, 11 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H