Mohon tunggu...
Yusuf Siswantara
Yusuf Siswantara Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Pemerhati Pendidikan

Menyukai penelitian dan pendidikan nilai dan karakter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wanita-wanita Hebat Dalam Mahabharata

30 November 2023   06:01 Diperbarui: 30 November 2023   10:59 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskriminasi posisi merujuk pada perlakuan tidak adil atau ketidaksetaraan dalam posisi atau peran seseorang dalam suatu konteks sosial atau hierarki masyarakat. Pengertian ini mencakup situasi di mana seseorang atau sekelompok orang diberi perlakuan yang tidak setara, biasanya berdasarkan status sosial, gender, agama, atau faktor lainnya yang membuat mereka tidak memiliki posisi yang setara atau dihormati dalam suatu lingkungan atau masyarakat.

Dalam konteks Mahabharata atau kisah epik lainnya, diskriminasi posisi merujuk pada perlakuan tidak adil terhadap perempuan dalam peran dan keputusan yang ditentukan oleh pria atau kekuatan dominan dalam masyarakat. Hal ini dapat mencakup pengabaian hak-hak perempuan, ketidakadilan, atau pemaksaan atas posisi tertentu tanpa memperhatikan keinginan atau kebebasan individu tersebut. Inilah yang dialami oleh wanita-wanita hebat di dalam kisah. Mereka menunjukkan kehebatannya dengan memperlihatkan kontradiksi posisi: meskipun seringkali diperlakukan tidak adil, mereka memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah peristiwa. Di sini, kita bisa belajar dari kisah Dewi Amba, Dewi Gandhari, dan Dropadi. Tidak akan diceritakan kisahnya secara mendetail, tetapi hanya melihat polanya saja.

Dalam Mahabharata, wanita seperti Dewi Amba, Dewi Gandhari, dan Dropadi menghadapi diskriminasi posisi yang kompleks dalam narasi mereka. Mereka menjadi objek situasi yang ditentukan oleh kekuatan laki-laki dalam masyarakatnya, namun tetap memiliki peran yang signifikan sebagai penggerak alur cerita dalam epik ini.

Pertama, Dewi Amba mengalami nasib tragis dalam cinta. Alkisah, Amba adalah putri sulung Raja Kasi yang diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya. Namun, Amba telah memilih Salwa sebagai suaminya. Setelah Amba menjelaskan hal ini, Wicitrawirya mengizinkan Amba pergi menghadap Salwa. Namun, Salwa menolak untuk menikahi Amba karena ia telah direbut oleh Bisma. Karena Bisma menang dalam pertarungan melawan Salwa, maka menurut Salwa, yang pantas menikahi Amba adalah Bisma. Maka Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun, Bisma yang telah bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup menolak untuk menikahi Amba. Akhirnya, Amba hidup terkatung-katung di hutan. Ia tidak diterima oleh Salwa, tidak pula oleh Bisma. Dalam hatinya, timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang memisahkannya dari Salwa. Akhirnya, Amba mati dan menitis dalam diri Srikandi, sang pembunuh Bisma. Srikandi adalah kunci kematian Bisma, yang tidak bisa mati kecuali kehendaknya sendiri. Keputusan Bisma (untuk mati) adalah lapis kemenangan Pandawa dalam perang melawan Kurawa. Meskipun awalnya dianggap sebagai korban cinta, transformasinya menjadi tokoh pemicu peristiwa besar menunjukkan peran yang lebih dari sekadar diskriminasi posisi dalam dinamika epik ini.

Kedua, Dewi Gandharin juga menghadapi diskriminasi posisi. Gandhari merupakan putri Raja Gandhara, yang dikenal cantik dan baik hati. Karena "lamaran" Bisma, Gandari dijodohkan dengan Dretarastra yang buta. Meskipun diperintahkan menikahi raja buta sebagai bagian dari perjodohan politik, Gandhari menerima dan setia menjadi istri Dretarastra, memberikan 100 anak, yaitu Kurawa. Namun, pengalaman Gandhari tidak diterima pamannya, Sangkuni yang berniat menghancurkan keluarga Kuru. Perang Baratayuda menjadi kisah kompleks, dimana kehancuran terjadi. Melihat hal ini, kita pun melihat bahwa meskipun situasinya terlihat sebagai korban keputusan politik, peran dan pengaruhnya dalam dinamika konflik menegaskan bahwa posisi Gandhari telah menjelma menjadi penentu sejarah, khususnya konflik Pandawa-Kurawa.

Ketiga, Dropadi, dalam kisahnya yang penuh penderitaan, menjadi lambang diskriminasi posisi yang kuat. Dropadi lahir dari api saat Yajna (ritual pengorbanan) yang dilakukan oleh Raja Drupada, ayahnya. Dewi Agni (Dewa Api) memberinya hadiah berupa seorang putri yang cantik dan kuat. Tragis hidup Dropadi. Setelah menjadi 'hadiah' sayembara, menikah dengan lima laki-laki (karena sikap sembrono ibu Kunti), ia masuk dalam konflik. Dalam pusaran konflik Pandawa-Kurawa, khususnya peristiwa main dadu, dia akhirnya menjadi hadiah dalam permainan dadu. Sebagai hadiah, Dropadi diperlakukan sebagai barang, mengalami penghinaan, dan pelecehan seksual oleh saudara Kurawa (dikisahkan Krisna membatalkan pelecehan tersebut secara gaib). Penghinaan yang dialaminya di istana Hastinapura adalah contoh jelas bagaimana dia menjadi korban ketidakadilan. Namun, selain alasan-alasan lainnya, perang Pandawa-Kurawa terjadi karena kebobrokan hidup Kuwara, terkhusus perlakukan kepada Dropadi. Inilah awal malapetaka perang saudara tersebut. Sebagai pemicu besar perang Bharatayuda, Dropadi 'menyelesaikan' dengan keramas darah Dursasana, adik Duryudana, tokoh utama pelecehan. Dari kisah tersebut, dalam situasi diskriminasi, pengaruhnya dalam cerita ini tidak bisa diabaikan.

Ketiga wanita dalam Mahabharata menghadapi diskriminasi posisi yang mencerminkan perjuangan mereka. Meskipun sering kali menjadi objek dalam situasi yang diatur oleh kekuatan laki-laki, peran serta mereka sebagai penggerak utama peristiwa besar sangatlah tampak. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun dalam posisi rentan, wanita-wanita ini memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi alur cerita dan menggerakkan konflik dalam epik ini.

Mungkin benar peribahasa mengatakan: di balik pria sukses, ada wanita hebat. Peribahasa itu  mencerminkan esensi dari diskriminasi posisi wanita dalam Mahabharata. Meskipun seringkali menjadi korban situasi yang diatur oleh pria dalam masyarakat, wanita-wanita ini memiliki pengaruh yang kuat, bahkan menjadi pemicu peristiwa besar dalam kisah epik ini. Peribahasa tersebut menggarisbawahi bahwa di balik kesuksesan seorang pria, ada kontribusi yang besar dari wanita di sekitarnya yang juga memiliki peran penting dalam memengaruhi arah dan hasil dari perjalanan hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun