Hari ini adalah hari libur nasional bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila. Masih terbayang kuat dalam ingatan masa-masa SD dulu, yang heboh dengan Program P4, kita sangat hafal 36 butir pengamalan Pancasila.Â
Hafalan itu menjadi sangat wajib bagi siswa SD, sehingga banyak cara penyingkatan yang dibuat untuk memudahkan dalam menghafalnya. Salah satu bentuk penyingkatan itu adalah Pehosati Mesametimegebeba Merecibame Metimemudemuke Mebememesumetititisumebe. Apalagi saat adanya kegiatan lomba cepat-tepat P4, hafalan itu begitu berpengaruh terhadap siapa yang akan keluar sebagai juara perlombaan.
Namun seiring waktu dan dengan runtuhnya Orde Baru, kini hafalan butir-butir pengamalan Pancasila itu sudah tidak terdengar lagi. Dalam menilai bentuk pengamalan Pancasila dewasa ini, sudah tidak ada lagi yang mengutamakan kemampuan hafalan.Â
Baca juga: Mengorbankan Kepentingan Umum atau Kepentingan Pribadi?
Di hampir semua kegiatan penilaian, seperti saat ujian dan ulangan bagi siswa maupun saat seleksi bagi Calon PNS, semua penilaian terhadap pengamalan Pancasila sudah menggunakan contoh-contoh kejadian di tengah-tengah masyarakat.
Apakah dengan adanya perubahan cara pandang terdahap cara penilaian terhadap pengamalan Pancasila itu telah membawa perubahan ke arah pengamalan Pancasila yang lebih baik? Sangatlah sulit untuk kita orang awam dalam menjawab pertanyaan ini. Sementara bagi para praktisi dan politisi, jawaban masalah itu bisa berbeda-beda.Â
Misalnya untuk mereka yang pro Orde Baru, dengan tegas akan mengatakan bahwa ini adalah sebuah kemunduran. Sementara itu, bagi mereka yang pro reformasi dengan tegas akan mengatakan itu lebih baik. Demikian pula bagi praktisi pendidikan, pasti akan mengatakan bahwa penilaian tersebut jauh lebih baik dari pada sekedar hafalan.
Baca juga: Rakyat Kecil atau Kepentingan Umum?
Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan kemampuan menghafal 36 butir pengamalan Pancasila ataupun dengan kemampuan mengasosiasi jenis dan contoh kejadian dengan pengamalan Pancasila maka sesorang sudah dapat dikatakan sebagai insan yang Pancasilais. Dengan tegas, semua kita pasti akan menjawab belum tentu.Â
Hal ini dikarenakan pengamalan Pancasila itu sendiri adalah bentuk perbuatan yang sulit untuk dilakukan penilaian berdasarkan rencana. Perbuatan tersebut akan muncul seketika saat pelakunya berada dalam situasi atau kejadian yang tidak direncanakan.
Untuk saat ini, di tengah pandemi virus corona yang melanda dunia, ada banyak perbuatan yang perbuatan kita yang sangat tidak menunjukkan sikap seorang pancasilais.
Seperti adanya kejadian memborong barang di pasar karena adanya anjuran untuk berada di rumah. Kegiatan itu didasari oleh ketakutan akan kekurangan bahan kebutuhan hidup tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain.
Baca juga: Parpol untuk Kepentingan Umum atau Kelompok
Hal ini jelas merupakan perbuatan mementingkan diri sendiri yang bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila yang mengharuskan kita untuk mementingkan kepentingan Negara dan masyarakat. Di samping, kegiatan memborong barang tersebut juga akan mempengaruhi ketersedian atau stok pasar yang akan mengganggu sistim perekonomian Negara.
Momentum pandemic ini juga memicu para spekulan untuk mengumpulkan hasil pertanian para petani dengan harga yang dibuat serendah mungkin. Karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar, pedagang-pedagang besar dari kota sulit masuk ke daerah-daerah.Â
Hal ini dimanfaatkan oleh spekulan local untuk menimbun barang yang kemudian akan dijual dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini juga merupakan perbuatan yang melanggar norma Pancasila dan juga mengganggu stabilitas harga pasar.
Melalui momentum peringatan Hari Lahir Pancasila ini, mari kita murnikan tekad untuk menjadi insan yang pancasilais. Mari kita tetap mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan tetap menjaga sistim perekonomian dan keuangan Negara agar tetap normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H