Panji tengah duduk termenung di kursi taman kota dengan dahi mengerut dan berkas-berkas lamaran kerja dipangkuanya. Ia merasa kalut setelah 5 bulan penuh tak kunjung mendapatkan kabar baik dari lamaran yang dikirimnya. Rupiah di kantonya pun hanya bisa menhidupinya selama 4 hari. Ia tidak tahu mau sampai kapan ia seperti itu di kota orang. Kesy kekasihnya, juga menjadi alasan kenapa ia merasa kalut. Kekasihnya yang berumur 6 tahun lebih tua darinya menutut Panji harus segera menikahinya. Bila dalam 1 bulan Panji tidak segera  memberikan kepastian, Kesy akan segera dinikahkan dengan pria yang diidamkan ayahnya. Panji benar-benar merasa stres.
1 tahun kebelakang, Panji adalah mahasiswa di kampus ternama dengan popularitas yang melejit. Ia berhasil lulus dengan comloude dengan beragam prestasi yang telah diraih selama di bangku kuliah. Momen kuliah merupakan bagian yang tidak terlupakan baginya---menjadi mahasiswa adalah masa-masa bahagianya. Â
Apa yang dialami oleh Panji adalah skenario kehidupan yang alamiah dan umum terjadi pada kita. Kehidupan adalah perpindahan masa senang ke sedih kemudian senang lalu sedih kembali dan begitulah seterusnya sampai mati. Sedih sebentar dan senang sebentar namun yang abadi adalah kepastian bahwa semuanya akan berganti/fana.
      Hidup ini Absurd!! Ungkap Albert Camu, filsuf Eksistensialis kelahiran Aljaziar abad 20, pencetus Filsafat Absurdisme.
Bagaimana tidak, kehidupan telah melemparkan kita dalam fakta yang kita sendiri tidak pernah memintanya. Kelahiran kita di bumi bukanlah kehendak kita. Bahagia dan derita telah disediakan oleh kehidupan tanpa pernah kita atur datangnya kapan. Saat senang atas suatu capain tertentu, seperti memiliki ponsel mahal, mendapatkan pekerjaan ternama atau memiliki pasangan rupawan, semua kesenangan tersebut akan hilang dimakan waktu dan menyisakan kebosanan yang kemudian memunculkan keinginan lain. Akhirnya, bukan manusia yang mengejar kebahagiaan melainkan manusia-lah yang dikejar kebahagian.
 Absurdisme secara etimologi berakar dari istilah "absurditas" bahasa Latin yakni "absurdus" terdiri dari kata "ab" berarti "tidak" dan surdus berarti "dengar".  Ditinjau secara harfiah Absurd bermakna tidak enak didengar, tuli, atau tidak berperasaan. Istitalah tersebut juga mempunyai makna "tidak masuk akal" atau "tidak logis". Ide absurditas dalam konsep filsafat eksistensialisme mengarah kepada pemahaman bahwa kehidupan manusia yang tidak berarti, tidak dapat dimengerti, tidak rasional, dan tidak bermakna serta tidak bernilai (Widyawan A., & Putra, P. 2020).
Albert Camu menjelaskan begitu absurdnya hidup ini dalam bukunya yang berjudul "The Myth of Sisypus". Buku Mitologi itu menceritakan tokoh Sisyphus, seorang yang dihukum oleh Dewa Zues untuk membawa batu besar ke puncak gunung dengan tangan kosong selamanya. Ketika batu telah berada di puncak, batu tersebut kemudian menggelinding kembali ke bawah gunung. Sisyphus kemudian kembali membawa batu itu ke atas, namun setelah berada di atas, batu tersebut kembali menggelinding ke bawah dan seterusnya akan seperti itu. Tugas Sysipus dianggap tidak mempunyai makna, namun Sisyphus harus tetap melaksanaknya tanpa henti.
      Sejatinya, semua orang di dunia ini tidak pernah peduli akan makna dan tujuan hidup. Semua orang dapat bangun pagi, bekerja, bermain, bercinta dan menikmati hidup tanpa memusingkan makna hidup. Kendati manusia selalu menggali pertanyaan esensial seperti "apa tujuan hidup?" "apa makna hidup?", namun jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Banyak orang seperti pendeta, ulama dan filsuf mencari makna hidup, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah penenang bagi ketakutan dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi misteri kehidupan. Bagi Camu, tidak ada makna absolut dalam hidup ini dan upaya pencarian makna adalah kesia-siaan belaka.
Absurdisme dalam Filsafat Albert Camu juga tidak meyakini adanya Tuhan, agama dan hal-hal adikodrati lainya karena dia adalah Eksitensilis Atheis. Tuhan dan agama merupakan jawaban atas kehausan pencarian makna hidup oleh manusia hasil dari luapan ketakutan dan pengaharapan ilusif. Tidak ada Tuhan, tidak ada surga, tidak ada hari pembalasan dan neraka maka. Itu semua adalah penenang bagi manusia yang takut atas kematian. Percaya Tuhan dan agama, bagi Camus adalah bunuh diri secara filosofis yang berarti memenjarakan kebebasan manusia dengan dogma. Tuhan dan agama tidak lain hanyalah kambing hitam dari absurdnya kehidupan.
Bila memang hidup ini tidak bermakna dan tidak jelas, maka tidak ada gunanya kita hidup? Bukankah itu satu-satunya cara untuk mengakhiri absurditas hidup? Walapun hidup tidak bisa dipahami dan tidak bermakna, Camus tidak menganjurkan untuk mengkahiri hidup dengan bunuh diri. Melakukan bunuh diri adalah pengecut yang tidak memiliki keberanian menghadapi tantangan hidup. Cam mengatakan "Should I kill myself or have cup of coffe" yang artinya "Haruskah aku membunuh diriku sendiri atau meminum segelas kopi?", kutipan tersebut merupakan ledekan bagi manusia yang frustasi akan absurditas hidup dan memilih jalan bunuh diri.