Itulah kita, anak bangsa yang bernama rakyat Indonesia. Tak pandang pejabat atau rakyat biasa; orang pintar atau awam tak berpendidikan; mengerti etika atau pandir bersopan santun, kalau sedang berkumpul dan membahas suatu agenda penting, punya obrolan sendiri-sendiri.
Naifnya, itu sering dipertontonkan para tokoh publik sehingga rakyat di bawah memiliki dalih sering buat forum dalam forum. Bahkan untuk persoalan krusial, keretakan dari kekompakan yang mestinya ditampilkan, hanya bak fatamorgana.
Perbatasan dengan Malaysia, siapa pun tahun, belakangan mengundang riak konflik kedua rakyat di dua negara. Saling klaim kemudian coba didiskusikan di sini. Niatnya baik. Cuma soal adab di forum masih saja ada, dan Hendra A Setyawan menangkap itu dengan baik. Saat seorang politisi berbicara, hanya pakar/akademisi yang menyimak, sementara anggota forum yang lain (senat dan birokrasi) asyik dengan obrolannya yang entah relevan ataukah tidak dengan topik diskusi.
Saat pembicaraan serius dan berkesan penting diperlihatkan dengan sungguh-sungguh oleh Mahfudz siddiq, cuma Hasjim Djalal selaku pakar hukum laut internasional yang menyimak. Hasjim bak meneliti kata demi kata anggota dewan itu. Dari raut muka hingga kacamatanya terperosot, tak diragukan kesungguhan sang pakar menyimak. Mimiknya sedikit ceria menadai ada kesepahaman (semua atau beberapa hal) dengan Mahfudz.
Sementara dua orang di sisi kanan mereka seakan bergeming untuk mendiskusikan pikirannya masing-masing. Tak ada kesinkronan dengan apa yang dibicarakan Mahfudz. Mereka sibuk dan memperlihatkan ketidaksatuan di tengah wacana yang sebenarnya harus mempersatukan segenap komponen bangsa.
Dua wajah di seberang itu saling menatap ke wajah lawan bicaranya; bukan ke pihak yang berbicara. Seolah ada suara lain yang lebih penting untuk mereka bahas.
Kesibukan dan forum dalam forum di sebuah diskusi krusial soal perbatasan boleh jadi tak mengubah arogansi jiran yang gemar mengklaim. Namun, foto Hendra setidaknya menangkap momentum potensi laten perpecahan khas kita. Masing-masing bersuara dengan tidak mengindahkan etika. Memilih sibuk dengan jalan pikirannya masing-masing.
Keretakan itulah yang secara akurat diwakili tulisan dan bendera Indonesia di belakang punggung mereka. Sudut pandang pengambilan dari samping menyajikan bahwa perpecahan dan Indonesia yang tidak utuh begitu kasat mata.
Itulah cerminan kita. Hingga jiran pun paham kapan saatnya berjingkrak di tengah bangsa yang mudah berpecah di seberang pulau sana. Di banyak forum kita tampak gagah meski sering kali berpecah, namun nun di perbatasan Malaysia tampil gagah mencoba memprovokasi kita.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H