Sudah hampir satu tahun saya tidak punya mobil karena beberapa alasan. Mobil program COP (Car Ownership Program) dari kantor saya lunasi lalu saya jual. Enam  bulan sebelum waktunya.
Tidak punya mobil sendiri membuat saya sesekali pinjam mobil milik istri. Terkadang saya naik motor atau taxi online untuk aktifitas saya keluar rumah. Agak ribet, tapi saya nikmati. Toh, awalnya juga saya tak punya mobil.
Sebenarnya, tak apa-apa tak bermobil. Cuma, mulut orang saja yang suka usil. "Lagi enggak punya mobil dia. Lagi kere. Punya masalah," bisik-bisik beberapa teman nongkrong di Coffee Shop.
Hahahha... Lucu. Ada memang orang yang punya sikap suka kepo. Mau tahu urusan orang saja. Jangan-jangan mereka juga ingin tahu, ada berapa nilai deposito saya sesungguhnya. Wkwkwkwk... Becanda!
Terbiasa bermobil lalu tak punya mobil, bagi saya mengingatkan pada masa-masa kuliah dan baru bekerja. Seru! Gelantungan kesana-kemari naik bis dan kadang bermotor atau numpang kawan. Tapi sekarang sudah beda. Angkutan umum better.
Setelah setahun tak punya mobil, awal bulan lalu saya ingin punya mobil lagi. Kebetulan uang sedang ada. Pertama dari sisa jual mobil sebelumnya yang masih saya tabung 100 juta. Kedua karena saya mengambil paket pensiun dini di kantor. Bisalah saya merengek pada istri untuk minta jatah 200 juta untuk membeli mobil baru di bawah 300 juta.
Kalau mengikuti keinginan, saya ingin punya Pajero Sports atau sedan Camry. Tidak mau kredit. Beli cash yang model terbaru.
Ketika iseng saya sampaikan itu ke Istri, dia melotot. Mistsubishi Pajero Sport Dakar dan Toyota Camry yang saya suka berharga hampir 600 juta kalau baru. Yang bekas berharga 400 jutaan. Â Itu pasti menguras tabungan kalau dibeli cash. "Jangan mimpi, deh!" kata istri saya. Hahahaha....!
Saya pun, sebenarnya tahu diri. Maksa kalau diwujudkan. Gila aja zaman begini, beli mobil baru cash hampir 600 juta, atau bekas 400 jutaan. Emang siape gue..!?
Di usia sudah kepala lima lebih 3 bulan, saya sudah tidak mau punya kredit bank. Saya mau beli cash saja. Tak apa merek lain asal saya suka dan sesuai isi kantong.
Modal 100 juta dari sisa jual mobil sebelumnya dan dikasih istri 200 juta dari uang pensiun dini, sampai sekarang masih saya timang-timang buat beli mobil cash. Karena masih timbang-pikir mencari yang pas dan cocok sama kantong.
Sebenarnya banyak mobil baru seharga dibawah 300 juta. Sejauh ini saya maunya sedan atau SUV. Macam Camry atau Pajero. Tapi sekali lagi harga mobil bekas yang saya suka rata-rata berharga 400 jutaan. Dana saya tidak cukup.
Pikir punya pikir. Tiba-tiba ada kawan yang sangat baik menawarkan mobil koleksinya untuk saya pakai. Kebetulan dia lagi jadi Boss kerja part-time saya di masa pensiun. Orang kaya yang baik hati.
"Bro, uda simpen aja duitluh. Pake tuh mobil sedan Merci gue. E 240 Avantgarde tahun 2000. Masih mulus dan mesin OK. Gak usah gaya-gayaan. Uda tua, luh. Pake aja mobil tua gue. Ekonomi zaman belom stabil," begitu saranya.
Busyet. Saya disuruh pakai mobil berumur 23 tahun. Iya sih, Mercedez-Benz. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Tapi seumur-umur saya punya mobil paling tua umurnya 8 tahun. Nah ini, 23 tahun. Lagi pula, selama ini saya lebih mengerti perawatan mobil Jepang dari pada Eropa.
Namun, setelah mobil sedang tua Mercedez-Benz E 240 (W210) Avantgarde dihadirkan di depan saya, entah mengapa saya lantas suka. Mobil itu tidak terlihat tua. Masih kokoh dan garang tongkrongannya.
Mobil Mercedes Benz jenis itulah yang ternyata saya suka pelototin di jalan pada zamannya. Saat saya berumur 30 tahunan. "Ini kan mobil yang suka dipakai Dubes-dubes dan ada di film Man in Black. Ini New Eyes!" Bisik hati kecil saya.
Seminggu saya coba pakai mobil Merci koleksi teman itu, tiba-tiba saya ingin memilikinya. Kondisinya masih sangat oke walau tua. Terpikir, kalau harganya reasonable, ingin rasanya saya beli.
Melihat harga mobil sejenis di internet rasanya saya mampu. Kisaran 100 - 150 juta kalau kondisinya ori semua dan kondisi baik.
Namun apa jawab kawan saya ketika mobilnya, Mercedes Benz E 240 (W210) Avantgarde tahun 2000 itu saya tawar 100 juta? Â
"Big No! Mobil itu nggak di jual. Priceless itu mobil. Lagian, lu bukan anak Merci. Gak paham luh ngerawatnya. Mending lu pake aja sewajarnya. Buat ngantor kalo harus ke kantor, ke Masjid dan nongkrong ngopi sama kawan wartawan luh yang uda pada pensiun. Selama lu bermitra kerja sama gue, pakai aja. Kalau ngadat telepon gue. Tinggal cemplongin ke bengkel langganan gue."
Saya tersenyum dan berusaha paham. Lagi-lagi saya berusaha mengikuti sarannya.
Mengapa saya yang bukan anak Merci dan tak pernah punya sedan Merci, tiba-tiba suka Merci?
Sebenarnya bukan karena alasan teknis dan Mercedez-Benz adalah brand besar. Itu jelas tak diragukan. Mercedez Benz adalah mobil berkelas. Mobil mahal. Mobil orang kaya. Mobil Boss. Walau sudah jadi mobil tua sekalipun, orang tetap meliriknya.
Yang menjadi catatan, pemilik mobil Mercedes bekas, pemilikinya harus sudah tidak punya masalah dengan urusan dapur rumah tangga. Paling tidak. Â
Lalu, apa kabar dengan keuangan pemilik model terbaru Merci, yah? Enggak usah diceritain. Hanya para CEO, Sultan dan Sultana yang bisa cerita.
Balik lagi, mengapa tiba-tiba saya merasa suka dengan mobil tua E 240 (W210) Avantgarde Mercedes Benz keluaran tahun 2000 itu?
Saya merasa mobil tua itu, walau sudah berumur, sepertinya gue banget (Cieee...). Tongkrongannya tetap keren. Kokoh. Gagah. Lecet-lecet dan kisut-kisut dikit di sana-sini justru bikin berarti tahan banting. Terkesan kaya pengalaman dan enggak cengeng.
Selain itu, nama besar Mercedes Benz itu, layaknya nama besar profesi wartawan. Ada yang bilang, wartawan itu ratu dunia. Lainya menyebut, Anjing Penggongong; Watch Dog! Sementara Mercedes Benz, Â ada yang sering sebut rajanya mobil. Penguasa jalan protokol kota besar. Â
Agak cucoklogi. Tapi itulah yang ada dalam pikiran saya. Karakter mobil sedan Mercedes Benz tua itu seperti karakter wartawan tua. Seperti saya, walau belum tua-tua amat saya tetaplah wartawan selama saya masih aktif berkarya jurnalistik. Walau saya sudah ambil pensiun dari sebuah media TV besar di Kawasan Epicentrum Kuningan, Jakarta.
Sekali lagi, menurut saya, karakter penampilan antara mobil tua Mercedes Benz dan wartawan tua itu mirip dan berefleksi. Terlihat renta tapi sebenarnya masih garang. Terlihat ujur tapi sebenarnya masih disegani. Selama masih sehat dan masih bisa diajak beraktifitas alias jalan.
Omongan wartawan tua yang kaya pengalaman itu masih suka dipegang. Lihat aja Karni Ilyas, Panda Nababan dan Dahlan Iskan. Mereka semua sudah sangat berumur. Tapi orang masih memandangnya. Menyimak bicaranya.Â
Sama halnya dengan mobil tua berlambang bintang pendar tiga dalam lingkaran, Mercedes Benz. Walau sudah lawas, tetap dipandang orang jika melintas diantara mobil-mobil kekinian yang terbaru. Disain dan deru mesinnya masih bikin merinding pengemudi mobil bermerek lain.Â
Sejarah, reputasi, kontribusi, pengalaman, mapan, updated dan integritas pada nama besar mungkin itulah kuncinya mengapa yang dinilai tua itu masih diakui dan dihargai. Â
So, bolehlah kalau saya bilang The Old Journalist is The Old Mercedez-Benz.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H