Sudah dua bulan. Sudah dua minggu. Sudah dua hari dan sudah dua jam, saya mencoba menulis lagi di sini. Di Kompasiana. Tapi apa yang saya bisa? Tulisan belum juga ada.
Padahal, banyak ide di kepala. Tentang apa yang saya suka. Tentang bola; Timnas, Erick Thohir dan Argentina. Tentang jelang pemilu; Ganjar yang diusung; Anies yang diasong, Prabowo yang mengasong dan Jokowi yang tetap disanjung.
Banyak ide. Pokoknya, banyak ide. Belum lagi yang lainnya. Sampai akhirnya, inilah tulisan yang jadi. Sejadi-jadinya. Tanpa susah mikir dan butuh waktu khusus.
Saya merasa inilah buah tak istiqomah. Tak konsisten. Mau memulainya lagi males, jadi ribet dan gayanya doang.
Kadang merasa kebanyakan mikir dan mau sempurna serta bagus. Padahal niat awalnya saya gabung di Kompasiana adalah bukan ingin ngetop, eksis dan nyari duit.
Saya cuma ingin menyalurkan hobi. Menolak lupa dan bego dengan menulis. Sebagaimana tagline saya, "Setidaknya saya menulis".
Perkara orang mau suka, mau diapresiasi dan di hargai itu nomor sekian. Saya suka ucapan seorang seniman musik daerah Yogyakarta. Saya lupa namanya. Nanti deh, saya input edit menyusul.Â
Dia pernah berucap kepada saya saat interview. Katanya, "Seniman itu sebaiknya kalau ingin berkarya ikhlas saja. Mau ada yang menonton atau tidak. Mau orang suka atau tida suka, masa bodo saja. Yang penting kita berkarya. Karya itu tidak melukai orang lain. Kita puas. Urusan orang apresiasi, itu hanyalah bonus."
Bagi saya, penulis adalah seniman. Seniman kata-kata. Bener, kan?
Sudah. Jangan kebanyakan mikir, jangan males, jangan sok sibuk, tetap pada niat dan bergembiralah. Itulah akhirnya temuan yang saya rasakan ketika saya mulai jarang menulis dan ingin memulainya lagi.
Saya kebanyakan mikir, memilih apa topik yang lebih dulu ingin saya tulis, menduga-duga enaknya diapain itu topik pilihan Kompasiana yang ada. Yang terjadi malah tak ada satupun tulisan yang saya buat. Hati dan otak ini berebut tampil duluan.