Mengapa kebanyakan puisi, lirik lagu, prosa dan tulisan memuji senja? Jarang yang menyebut subuh. Di kolom pencarian Kompasiana ini pun begitu. Hampir semuanya tergila-gila senja. Tak ada yang memeluk subuh.
Ada yang menjawab, saat subuh itu orang kebanyakan di dalam rumah. Masih gelap, dingin dan sepi. Kecuali pasar.Â
Lainya menjawab, apa indahnya subuh? Selain tenang dan ada suara kokok ayam? Pesona langitnya kalah dengan senja.
Sementara penulis pernah membaca, entah di internet-entah di koran. Ada yang menulis, "Rata-rata seniman dan penyair suka berkarya malam hari. Usai subuhan kebanyakan mulai berangkat tidur. Jarang yang melek lalu ke luar peraduannya." Laahh...?
Apa benar selalu begitu? Hanya gara-gara masih gelap, dingin, sepi, dan kebanyakan orang di dalam rumah, subuh jauh dari pujian para kreator kata-kata?
Apa subuh tidak indah? Kurang elok dipuji? Tidak memberikan kenyamanan?Â
Padahal dzikir saja, ada dzikir pagi dan petang. Dzikir senja dan dzikir subuh. Keduanya waktu sakral untuk dikabulkannya do'a-do'a. Keduanya waktu turun dan naiknya malaikat membawa keberkahan dan mengakut catatan kebaikan dan keburukan manusia. Tuhan lewat kitab suci memuliakan keduanya. Begitu tulisan di kitab-kitab orang sholeh.
Senja memang indah. Cantik dipandang, nyaman dirasa. Nuansanya mampu membuai hati jadi romantis.Â
Lukisan matahari pada langit senja selalu memukau dari hari ke hari. Kata-kata tak pernah habis memuji kecantikan senja sejak dahulu kala.
Namun, rasakanlah subuh. Nikmatilah subuh. Pahamilah subuh. Pada subuh juga ada keindahan dalam temaram cahaya terang-tanahnya.
Subuh itu memang dingin. Tapi dinginnya adalah keseksiannya.Â