Saat disederhanakan, marketer hanya
punya kemungkinan jawaban: Ya,
atau tidak!
Menurut buku negosisasi yang sedang
saya pelajari, Â waktu kata "tidak"
didapat, itu tidak berarti penolakan,
melainkan pembuka komunikasi.
Marketerlah yang memiliki kesempatan untuk
mengubahnya menjadi peluang dan kuntungan.
Muslim akan ingat Al-Insyirah (Q.S ke -94
ayat 5-6), "Maka sesungguhnya di balik
kesulitan itu ada kemudahan".
Kata "tidak", mesti  diperlakukan sebagai
pembuka bukan penolakan, yang akan
diikuti kata "ya" sebagai persetujuan.
Kendala ditemui saat marketer segera
memblow-up eksistensi kata tidak
sebagai penolakan.
Ibu muda yang peroleh kata "tidak" dari
anak, buru-buru mengatakan, "sudah
dicoba segala cara, anak saya tetap tidak mau
makan sayur". Â Kalau Ibu muda itu
mau sedikit bersabar, pikirkan berapa
cara makanyang sudah dicoba.
Apakah semu cara makan sudah dicoba?"
Kalau kita evaluasi, ternyata Ibu muda itu
baru mencoba dua cara makan, tapi dia blow-up
menjadi semua cara makan. Hati-hati,
perlahan saja untuk untuk menemukan
kebenaran.
Begiu pula marketer. Kadang terlalu cepat sampai ke
kesimpulan ketika baru saja mendapat kata "tidak".
Dia segera simpulkan, saya memang
tidak punya talenta untuk menjadi penjual.
Padahal tindakan marketing belum tuntas diusahakan.
Belum saatnya marketer tersebut sampai ke kesimpulan.
Bersabarlah untuk menjadi marketer jempolan
perlu menggali kata "ya" (persetujuan), di balik
kata "tidak".