Peringatan kemerdekaan yang dilakukan rakyat Papua pada hari Kamis (1/12/2011) semakin meningkatkan eskalasi konflik antara rakyat Papua dan Jakarta. Konflik Papua menemukan spektrum baru ketika Freeport dilibatkan secara langsung dalam konflik ketika buruh-buruh mereka melakukan mogok yang berdampak secara politik sampai ke tingkat nasional. Salah satunya adalah gugatan terhadap kepolisian yang secara nyata menerima kucuran dana dari Freeport dalam jumlah yang mencengangkan.
Keterlibatan Freeport secara langsung jelas mengundang respon Amerika. Di tengah krisis Amerika, stabilitas produksi Freeport sangat diandalkan untuk menjaga agar Amerika tidak kekurangan likuiditas dollarnya. Karena itu, patut dicurigai bahwa scenario pelibatan Freeport ini merupakan bagian dari kontra intelegen untuk melegitimasi kehadiran pasukan tempur Amerika di Indonesia.
Di sisi lain, Papua bukan hanya menjadi kepentingan Amerika. Rencana Rusia yang akan menempatkan system peluncur pesawat ruang angkasa di Biak patut menjadi perhatian. Di samping itu, kepentingan China juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Salah satunya adalah investasi dalam skala besar dalam penguasaan lahan di sepanjang perbatasan Indonesia-Papua New Gunea.
Jelas sekali bahwa persoalan Papua menjadi semakin rumit. Di Jakarta sendiri, terdapat dua kelompok besar dalam menyikapi Papua. Pertama adalah kelompok yang secara radikal menyatakan bahwa NKRI harga mati dengan menempatkan isu kemerdekaan sebagai langkah yang tidak bisa diterima, apapun situasi dan alasannya. Sementara kelompok moderat lebih focus pada isu pembangunan dan kesejahteraan sebagai langkah yang harus dilakukan untuk menghindari kemerdekaan rakyat Papua.
Hal ini ditambah elit-elit Papua yang juga belum menunjukkan satu kata. Penembakan terhadap kongres rakyat Papua juga dapat dipahami sebagai bagian dari ketidaksepakatan elit-elit Papua terhadap masa depan mereka. Elit rakyat Papua yang mengambil jalan tengah saat ini percaya bahwa masuk ke dalam struktur pemerintahan akan memberikan dampak cukup signifikan dalam rangka melakukan lobby untuk kepentingan Papua, berbanding terbalik dengan kelompok yang menyatakan bahwa mereka tidak percaya sama sekali terhadap politik Jakarta, dan kemerdekaan sebagai satu-satunya opsi. Peta elit Papua ini juga seringkali dikaburkan dengan tindakan-tindakan pragmatis dari elit yang mengambil keuntungan isu kemerdekaan sebagai tindakan kepentingan ekonomi pribadinya.
Kolaborasi
Setiap actor ini memiliki lingkaran yang saling bersinggungan. Kelompok radikal mendapat sokongan logistic, baik dari kelompok moderate elit Papua, faksi militer di Jakarta maupun kekuatan asing. Sokongan ini tidak melulu dianggap sebagai dukungan kemerdekaan, banyak di antaranya hanya sebagai bagian dari bargain politik untuk kepentingan atas pembagian asset ekonomi Papua.
Jika kita perhitungkan, kekuatan asing sendiri mendua dalam soal kemerdekaan Papua. Kestabilan politik jelas sangat diperlukan sehingga opsi kemerdekaan bagi mereka bisa menjadi keuntungan yang sangat besar: melakukan bargain terhadap Jakarta sekaligus menempatkan pengaruh yang kuat di kelompok radikal Papua jika suatu saat Papua benar-benar merdeka.
Saling tarik menarik pengaruh ini juga terjadi dalam pertarungan antara Amerika, China dan Rusia. Selain terus melakukan tekanan terhadap Jakarta agar menjaga system sekarang tetap berlangsung, mereka juga berkepentingan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu pengaruh terhadap geopolitik Asia. Tak bisa kita sangkal bahwa “4 titik utama” saat ini menjadi sangat strategis: Myanmar; Laut China Selatan; Aceh dan Papua.
Peralihan ketua dari Indonesia kepada Myanmar menjadikan Asean berada dalam titik bahaya. Peralihan itu diikuti dengan disepakatinya perjanjian Asean sebagai wilayah bebas senjata pemusnah missal, yang justru akan semakin menarik kekuatan-kekuatan nuklir dunia bermain di Asean. Posisi Myanmar yang strategis ini terlihat dari kedatangan dua tokoh utama minggu ini: Hillary dan Xi Jiping. Ke dua Negara jelas menempatkan Myanmar sebagai pion strategis untuk saling melakukan bargain.
Penempatan Marinir di Darwin berada dalam kerangka tersebut. Selain menekan politik Jakarta dan mengamankan Freeport, mobilitas mariner di Darwin cukup mampu memberikan ancaman kepada China agar tidak terlalu arogan di Laut China Selatan, dan hal ini juga membawa pengaruh cukup kuat kepada Filipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam untuk melakukan perlawanan terhadap China.
Selesaikan Masalah dengan Dialog
Tidak ada jalan lain. Penyelesaian masalah Papua hanya bisa dilakukan dengan Dialog. Tetapi harus diingat bahwa dialog yang dimaksud harus berdasarkan prinsip-prinsip yang jelas dari Jakarta, yaitu kesediaan untuk memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyat Papua. Jika Jakarta masih menganggap rakyat Papua yang ingin menyatakan kemerdekaan sebagai musuh yang harus ditumpas, maka dialog apapun menjadi tidak berguna. Elit-elit Jakarta harus menghargai dan menghormati sepenuh hati bahwa rakyat Papua memiliki hak untuk hidup aman dari rasa takut dan hak untuk hidup sejahtera.
Yang kedua, diperlukan ketegasan dari Jakarta terhadap kepentingan Amerika, China, Rusia, maupun kepentingan asing lain yang bermain di Papua. Selama ini, Jakarta bersikap tegas terhadap rakyat tapi memble terhadap kepentingan asing. Ketegasan ini diperlukan sebagai syarat dialog, karena salah satu opsi yang akan muncul dalam dialog adalah posisi Freeport, jika Jakarta tidak memiliki sikap tegas, maka soal Freeport tidak bisa selesai, dus permintaan rakyat Papua tidak bisa dipenuhi sehingga dialog menjadi hambar dan tak berguna.
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H