Di tengah galaunya diri ketika memiliki identitas pekerjaan yang jelas,terngiang kata kompasianer. Kata itu sepertinya cukup lugas untuk disematkan sebagai jawaban bilamemang dibutuhkan. Ya, menjadi bagian dari keluarga besar penulis diblog kroyokan rasanyatak ada istilah kesepian. Kesepian atas nama keprihatinanuntuk menjadi makhluk sosial yang ber identitas “ Pekerjaan”. Mungkin tak hanya saya saja yang merasakan galau,ketika semua tempat duduk dan ruang bagi sebuah pekerjaan itu jauh dari jangkaun diri.Seperti makluk yang tak sempurna dalam metamorfosisnya. Semestinya setelah menempuh sekolah yang berjenjang, gelar terhormat itu laku. Namun faktanya, tidak semua lolos untuk mendapatkan akhir yang indah. Justru beban berat dipundak disandang.Sudahlah, itu urusan nasib, kerja keras juga pilihan hidup yang tak penting untuk diperdebatkan.Saya ingin kembali meruangkan kata kompasianer itu lebih jauh.
“ Kerja dimana mas Bro?” begitu sering kudengar. Nah sudah kumulai dengan menjawabnya.Di kompasianer.Dahinya berkerut dengan bibir monyong untuk secepatnya mengetahui istilahitu.“ Apa itu? Bergerak dibidang apa?”.Saya terdiam.Sungguh manusia itu kecenderungannya ingin selalu mengerti lebih dari pengertian yang sudah diberikan.“Menulis” jawab saya singkat.Kini bola matanya yang menaik.“ Menulis?????”Gajinya berapa Bro? Lumayana pasti lha wajahmu terlihat sumringah begitu.“ Tidak digaji sama sekali..” Jawabku.Wah kamu pasti berguarau ini, dijaman sekarang, mana ada sebuah pekerjaan non gaji, itu hanyamilik sukarelawan.Jelasnya setengah mengejek.
“ Suer,tidak ada gaji, yang ada hanyakepuasan batin..” jawabku.Dia terdiam.jawabankumembuatnya kebingungan untuk mengintrogasi lagi.“ oke aku tidak ingin bergurau hari ini,pekerjaanmu itu sungguh jauh dari pengertian.Sekali lagi. Berapa gajinya?”tanyanya kembali. Kini giliran saya yang terdiam.bagaimana memilih kata yang paling akurat hingga dia tak lagi bertanya kembali atau meragukan jawabanku yang sungguh teramat jujur ini.” Gajinya pahala” jawabku.Wajahnya mendingin.Seperti kecewa untuk lebih tahu dari sebelumnya perihal pekerjaanku.“ Oke,terserah..itu urasanmu, yang penting kau tetap bergembira bro... kapan kapantraktir aku dengan pahalamu itu, terserah dimana saja, angkringan boleh,restoran boleh. Itu mungkin jawaban yang lebih bisa aku pegang. Oke bro, akukerja dulu...” Ucapnya sumringah sambil menepuk pundakku dan menghilang bersama mobilnya yang mengkilat.
Terpojokkah aku?Terhinakah aku? Mugkin.Dia teman kuliah yang lama tak berjumpa. Kini ia sukses meniti karir dengan kemewahan yangbaru beberapa potong yang terlihat.Tak kuasa aku membayangkan rumahnya,pekarangannya, lalu istrinya yang mungkin secantik bidadari dengan balutan kemewahan yangiaberikan. Sedang aku? Terpuruk bersama waktu.Sudahlah. Aku tak ingin mendramatisir semua hal. Mungkin benar, logika sukses selalu mengarah kepada berapa pencapaian itu di dapat.Namun aku tak inginmelingkari logika itu sebagai kebenaran di atas segalanya. Sebab sukses itu muaranya harus di hati juga. Seberapa bahagia ia menimati apa yang diperolehnya.
Kompasianer.Bolehlah aku pinjam itu untuk identitas pekerjaanku.Masalah gaji, itu bisa aku kamuflasekan dengan apapun yang telah melekat pada kehidupanku.Kompasianer itu tak jauh beda dengan relawan. Mereka yang menyandang tanggung jawab membantu jika ada sesuatu yang dibutuhkan.Dan kompasianer bisa berperan disitu.Ketika tulisannya banyak membantu, mencerahkan, mendidik,menghibur, menginspirasi, menggugah semangat, menyadarkan,mendamaikan,,aku kira kompasianer adalahbagiandari relawan meski takdikomando,tak bergerombol dan mungkin juga nyaris tak ada pergerakan.
Proses menjadi kompasianer adalah pembelajaran dimana setiap saat ia menjadi lebih peka, lebih tergugah untuk menulis apapun yang terjadi disekitarnya. Berbagi dalam tulisan yangmakin hari makin renyah dan mengalir.Mengabadikan peristiwabaik yang terlihat maupun yang hanya bisa tertangkap oleh rasa.
Ah...sudah paham akuseklaigus mantab untuk meneguhkan diri bahwa pekerjaanku kini adalah kompasianer.Jika kelak sewaktu waktu iadatang kembali menanyakan gaji,aku bisa memanfaatkan ruang yang disediakan oleh blog ini. Banyak rupiah, banyak hadiah yangditawarkan untukdipungut, asalkan mampu menyuguhkan tulisan yang berkualitas sesuai permintaan.Biarlah istilah gaji untuk melegalkan sebutan pekerjaaan itu menjadi pemikiran temanku itu.Aku jadi heran, bagaimana seadainya kata gaji selalu tergiang di dalam ruang batinnya tiap detik. Saat bekerja, saat bersama istri dan anak,saat liburan, saat sakit bahkan saat iatengah beribadah.Dia pasti lupa untuk menyematkan rasa bahagia di hati.Sudahlah aku tak ingin menjustifikasi kebenaran dengan sudut pandang apapun.Hanya satu tekadku, aku ingin bekerja di kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H