Wacana untuk menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen akan memakan biaya sosial dan politik yang sangat mahal. Karena itu keinginan untuk mengembalikan fungsi GBHN tidak bisa diperlakukan secara tunggal melainkan harus dilakukan secara holistik. Kajian tentang GBHN harus dibarengi dengan kajian terhadap peran dan kedudukan MPR, DPD, Presiden, maupun Kepala Daerah sehingga diperoleh grand design yang obyektif dan komprehensif.
[caption caption="Prof Jawahir (kanan) Saat Menerima Plakat Usai Acara"][/caption]
“Banyak ahli hukum tata negara yang tidak setuju jika kita harus kembali ke GBHN karena hal ini akan mengubah sistem pemerintahan presidensiil saat ini. Namun GBHN bisa dihidupkan kembali asalkan dibarengi dengan melakukan revitalisasi terhadap fungsi dan peran konstitusional MPR,” kata Prof Jawahir Thontowi SH PhD, guru besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) saat berbicara pada Rapat Dengar Pendapat di kampus Fakultas Hukum UII di Yogyakarta, Rabu (20/4).
Kegiatan yang diselenggarakan anggota MPR RI, H. Ambar Tjahyono SE MM itu mengambil tema “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Model GBHN”. Selain diikuti para mahasiswa dan civitas Fakultas Hukum UII juga hadir mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa UGM, UNY dan UIN Yogyakarta.
Sementara itu Ambar Tjahyono pada kesempatan itu mengatakan bahwa sebuah sistem perencanaan pembangunan sangat dibutuhkan sebagai acuan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh sebuah pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan mampu memenuhi keadilan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
“Tentunya ada sisi positif maupun negatifnya dari penerapan sistem perencanaan pembangunan yang dijalankan masing-masing pemerintahan sebelumnya. Namun penting sekali adanya sebuah haluan negara yang dapat menjadi pedoman dan panduan dalam proses pembangunan nasional yang berjangka panjang,” katanya.
Soal Kedudukan MPR
Menurut Prof Jawahir Thontowi, peran dan kedudukan MPR saat ini tidak menentu. Peran strategis MPR berubah utamanya sejak masa reformasi. Jika MPR hendak mengembalikan fungsi dan perannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengeluarkan produk hukum yang kuat maka status MPR perlu diteguhkan dalam Undang – Undang Dasar sebagai Lembaga Tinggi Negara. Namun konsekuensinya, hal ini akan merubah sistem ketatanegaraan menjadi Tri-Kameral.
Begitu juga dengan status Tap MPR dalam hirarkhi sumber hukum saat ini yang sangat lemah karena Tap MPR tidak masuk dalam landasan yuridis peraturan perundang-undangan. “Agar keputusan hukum MPR memiliki kekuatan sebagai sumber hukum, maka Tap MPR perlu dimasukkan sebagai sumber hukum kedua setelah UUD,” katanya.
[caption caption="Prof Jawahir (pegang mike) Sedang Menyampaikan Materi GBHN"]
Wacana tentang upaya mengangkat kembali GBHN dinilai guru besar Hukum Tata Negara ini bukan langkah yang tepat jika tujuannya untuk mengembalikan peran dan fungsi MPR. Sebab masalah sistem perencanaan pembangunan nasional sudah diatur dalam UU nomor 25 tahun 2004. Masalah ini juga sudah diatur dalam beberapa peraturan lain, seperti UU nomor 23 tahun 2014, UU nomor 17 tahun 2003, UU nomor 33 tahun 2004, UU nomor 17 tahun 2007, PP nomor 39 tahun 2006, PP nomor 40 tahun 2006, serta Perpres nomor 2 tahun 2015.
Jika ingin melakukan penyempurnaan terhadap sistem perencanaan pembangunan nasional, Jawahir menyarankan untuk dimulai dengan melihat UU nomor 25 tahun 2004 dan mencermati permasalahan penerapan yang terjadi di Pusat maupun Daerah. “Langkah praktis agar Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menjadi acuan setiap kebijakan adalah memasukkan UU nomor 25 tahun 2004 ke dalam UU nomor 12 tahun 2011 dengan status sebagai landasan yuridis dalam setiap peraturan perundang-undangan,” ujarnya.