Pasal 298 UU 23 Tahun 2014 khususnya Ayat 5 tentang Hibah digugat sejumlah kalangan di Yogyakarta. Alasannya, pasal ini dianggap menyimpan potensi terjadinya “bencana nasional” akibat ketakutan pemerintah daerah dalam mengaplikasikannya. Bahkan jika tidak segera diubah, diperjelas, atau dicabut, semua bantuan sosial dan hibah dari pemerintah mulai tahun anggaran 2016 bakal tidak akan tersalurkan. Aturan itu dinilai menghambat dan menghalangi hak kelompok masyarakat kurang mampu dan pelaku usaha kecil untuk mendapatkan bantuan pemerintah.
[caption caption="Suasana Sosialisasi UU 23 2014 Ps 289 Yang Diikuti SKPD dan Biro Hukum Pemda se-DIY"][/caption]Gugatan tersebut mengemuka saat diadakannya Sosialisasi Pasal 298 UU Nomor 23 Tahun 2014 yang diadakan di Hotel Bifa Yogyakarta, kemarin. Kegiatan dalam bentuk FGD (focus group discussion) tersebut dihadiri berbagai kalangan di DIY yang terkait dengan pelaksanaan UU tersebut. Dari instansi pemerintah hadir dari SKPD, Biro Hukum, dan inspektorat. Juga hadir anggota DPRD, asosiasi usaha, dan sejumlah kelompok usaha bersama (KUBE).
“Selama ini banyak daerah yang mengeluhkan hambatan penyaluran hibah akibat adanya aturan Pasal 298 ayat 5 UU 23 Tahun 2014 itu. Karena itulah kita berkumpul di forum ini untuk bersama-sama mencarikan jalan keluar yang terbaik,” kata anggota DPR RI H. Ambar Tjahyono SE MM dalam sambutan tertulisnya saat membuka kegiatan tersebut.
Anggota dewan dari daerah pemilihan DIY ini mendorong agar hambatan atau kendala menyangkut aplikasi UU 23 Tahun 2014 tersebut mendapat solusi yang tepat. Hal ini penting agar bantuan sosial (bansos) dan hibah dari pemerintah dapat disalurkan kepada masyarakat kurang mampu dan pelaku usaha kecil tanpa mengalami hambatan.
Judicial Review atau Perpu?
Potensi “bencana nasional” tersebut terutama merujuk pada sejumlah fakta di lapangan yang dialami aparat pemerintah daerah tersebut. Seperti dikatakan Hidayat, Kepala Disperindakop dan ESDM Kabupaten Gunung Kidul, hingga tahun anggaran 2015 semua program bansos dan hibah masih bisa dijalankan karena mendapat payung hukum dari Peraturan Gubernur DIY. Namun mulai tahun anggaran 2016, pihaknya terpaksa menolak program bansos dan hibah karena pemberlakuan UU 23 Tahun 2014 tersebut.
[caption caption="Fasilitator Mukhtarudin Nidojanor (ketiga dari kiri) Memimpin FGD"]
Peserta FGD juga mempertanyakan tidak adanya petunjuk pelaksanaan teknis dari UU tersebut. Keluarnya Surat Edaran Mendagri tentang SKT (Surat Keterangan Terdaftar) sebagai pengganti badan hukum yang disyaratkan UU tersebut dinilai lemah. “Mestinya ada Peraturan Pemerintah yang mengatur hal itu dan bukan lewat surat edaran menteri,” tambah Hardono, anggota DPRD Gunung Kidul.
Menghadapi kenyataan banyaknya hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan UU 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 298 ayat 5, peserta FGD mendesak dan mengajukan 2 opsi untuk mengatasinya, yaitu dilakukan judicial review atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Namun ketika opsi ini ditawarkan Mochtarudin Nidojanor yang memandu FGD, peserta lebih mengutamakan Perpu sebagai pilihan utama. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H