Mohon tunggu...
Yosef Budiman
Yosef Budiman Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pembelajar

Mengabdi sebagai guru di MAN 2 Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Literasi Kunci Toleransi

13 November 2017   09:39 Diperbarui: 13 November 2017   09:47 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini isu tentang perbedaan pandangan keberagamaan yang bersifat furu'iah (bagian cabang dalam beragama) mengemuka kembali. Dulu hal ini terjadi pada tataran elit seperti ustad dan kyai namun saat ini lebih terbuka karena berkembangnya internet melalui youtube dan media sosial. Pertentangan saat ini memang masih dalam tataran ide namun jika pergerakan ini tidak dibendung dengan bijak bisa meluas dari tataran elit menuju akar rumput yang pada akhirnya membuat konflik sosial.

Jika dicermati yang berkembang saat ini sebenarnya topik tempo doeloe yang sering diperdebatkan oleh faksi tradisionalis yang diwakili oleh nahdiyyin dan yang sejenis vis a vis faksi modernis yang sering disematkan kepada Muhamadiyyah dan Persis yaitu, seputar hukum tahlilan, fidayah, ziarah kubur, qunut dan yang sejenis. Lebih menarik lagi saat ini perdebatan tersebut ditambah pemain baru yaitu faksi Salafi (wahabi). Mereka begitu massif berdakwah melalui media elektronik dan digital menyebarkan pemahaman keberagamaan yang mereka yakini. Masifnya gelombang dakwah ini secara diametral bertentangan satu sama lain. Akhirnya masyarakat mengalami kebimbangan baik dikalangan elit maupun akar rumput dengan perbedaan ini.

Menghadapi situasi ini seyogyanya semua pihak terutama para ulama harus bijak dan bisa membaca peta konflik yang terjadi dengan mengedepankan toleransi (tasamuh). Sikap ini tentu saja tidak akan terwujud secara instan bilamana pemahaman masyarakat masih dangkal. Pemahaman merupakan kunci terwujudnya tasamuh karena dengannya manusia bisa berfikir kemudian bisa bertindak secara bijak.

Salah satu upaya meningkatkan pemahaman adalah gerakan literasi umat terhadap ajaran islam baik yang berkaitan dengan hal yang pokok dan cabang. Antara yang tswabit (tetap) dan mutaghoyyirat (berubah). Literasi bisa diartikan kemampuan umat untuk menumbuhkan budaya mengkaji lewat membaca dan menulis. Literasi umat berbanding lurus dengan rendahnya literasi bangsa ini dalam hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh hasil berbagai survey. Misalnya, literasi kemampuan sain dan membaca di negara-negara OECD menempatkan Indonesia diurutan 60-an secara konstan dari 65 negara dalam beberapa tahun terakhir.  Begitupula, jumlah publikasi riset yang terindex tahun 1996-2013 oleh jurnal Internasional misalnya, Scopus urutan Indonesia sekitar 62 dari 239 negara.

Lemahnya budaya membaca berkaitan pula dengan rendahnya membaca literatur keislaman. Karena itu, masalah-masalah yang sebenarnya sudah ada jawabannya namun seolah hal baru karena minimnya budaya membaca. Sebagai contoh, para kyai dan ustad didaerah sering terjebak dalam perdebatan fiqhiyyah yang sebenarnya jawabannya sudah ada.  Misalnya, shadaqoh fidyah sebagai pengganti shalat yang tertinggal oleh yang orang telah meninggal menurut Imam Syafi'i tidak perlu dilakukan cukup dengan qodlo oleh keluarganya. 

Namun, faktanya kaum muslimin khususnya di Bogor terbiasa membayar fidyah. Kebiasaan ini sering disandarkan kepada referensi terbatas yang ada dalam kitab Fathul Mu'in karangan ulama India Selatan Syeikh Zainuddin Almalibari. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Imam Subqi sering memberikan fidyah ketika kematian kerabatnya (Hal 13). Uniknya nukilan ini tidak populer ditempat penulis kitab tersebut. Ketika penulis studi di India Selatan selama kurang lebih dua tahun, tidak ditemukan kebiasaan ini.

Selain masalah diatas, jika kita merujuk kitab Ar-ruh karangan Ibnul Qoyyim Azzauji, salah satu ulama rujukan kaum wahabi-salafy menyatakan bahwa mengirim pahala itu diperbolehkan dan akan sampai ke ahli mayyit. Sebaliknya, Imam Syafi'i dan Imam Mazhab lainya berpendapat pahala tersebut tidak akan sampai. Berdasarkan tersebut bisa disimpulkan bahwa Tahlilan diperbolehkan jika menggunakan pendapat rujukan Kaum Wahabi namun sebaliknya tidak dianjurkan dalam perspektif mazhab Syafi'i.  Namun, yang fakta yang terjadi kelompok wahabi sering menyatakan tahlilan dan kirim doa itu bid'ah sedangkan kelompok tradisionalis bersikukuh boleh karena ada landasannya.

Selain itu masih banyak perbedaan pendapat yang sering mengemuka dan berpotensi merusak persatuan dan kesatuan terutama menjelang ageda pemilu baik legislatif maupun eksekutif. Perbedaan tersebut harus disikapi dengan bijak agar umat tidak terombang ambing. Dalam hal ini peran elit seperti Kyai dan Ustad sangat dinantikan. Bahkan dalam kenyataannya sumber konflik pun berasal dari elit ini juga. Mereka sering menonjolkan ego pribadi dan entitas kelompok yang disebabkan pemahaman yang terbatas akibat budaya literasi yang masih rendah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun