Mohon tunggu...
Yusuf Bahtimi
Yusuf Bahtimi Mohon Tunggu... profesional -

Dilahirkan di Kandangan, Kalimantan Selatan. Saat ini aktif di bidang Biological and Cultural Diversity, serta environmental/forestry education. Professional muda di IUCN, Communication and Education Commission.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Banjarmasin; Venesia dari Nusantara, Akankah terwujud?

4 November 2009   14:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:26 2150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendahuluan

Kota Banjarmasin terletak pada daerah dataran rendah, tanahnya terjadi dari endapan (aluvial), dialiri oleh banyak sekali sungai-sungai yang saling berpotongan. Sungai Barito di sebelah Barat kota merupakan sungai terbesar (utama), serta Sungai Martapura yang mengalir dari Timur Laut ke arah Barat Daya. Sungai Martapura membelah Kota Banjarmasin melalui 5 (lima) wilayah kecamatan yang bermuara ke Sungai Barito. Disamping itu ada berpuluh-puluh sungai lain yang berpotongan satu sama lain, semuanya bermuara ke Sungai Martapura dan atau ke Sungai Barito.

Semua sungai dan anak sungai merupakan urat nadi kehidupan dan perekonomian masyarakat Kota Banjarmasin karena berfungsi sebagai pembuangan air (outlet) drainase dan prasarana transportasi air disamping prasarana transportasi darat yang berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Suatu Kota yang diidamkan oleh masyarakat adalah permukiman yang layak huni, produktif dan berjati diri. Kota Banjarmasin, seperti kota-kota lainnya sedang berbenah diri menuju kota yang diidamkan oleh masyarakatnya. Pertambahan penduduk yang cepat menjadikan Kota Banjarmasin memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tergolong kategori Kota Besar (> 500.000 tepatnya 624.089 jiwa) dengan luas kota yang hanya 80,00 Ha. Pertambahan penduduk yang pesat tersebut seharusnya diikuti dengan penyediaan prasarana dan sarana dasar kota, salah satu prasarana dasar kota yang dinilai cukup penting adalah sistim drainase. Semakin pesat pertumbuhan perkotaan maka permasalahan drainase perkotaan semakin meningkat pula.

Pada umumnya penanganan drainase masih bersifat parsial, sehingga tidak menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan secara tuntas. Pengelolaan drainase perkotaan harus dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai dari tahap perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan, serta ditunjang dengan peningkatan kelembagaan, pembiayaan serta partisipasi masyarakat.

Peningkatan pemahaman mengenai drainase kepada pihak yang terlibat baik bagi pelaksana maupun masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan agar penanganan drainase dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ada dua permasalahan yang paling menonjol yang berhubungan dengan sistim drainase di kota Banjarmasin, yaitu masalah rumah di atas rawa dan rumah di bantaran atau di dalam badan sungai. Mengenai rumah di bantaran atau di dalam badan sungai dan masalah rumah di atas rawa, semula diharapkan dapat dikupas dan disorot dalam program Pemerintah. Sebagaimana yang dimaklumi pada umumnya Banjarmasin terdiri atas rawa-rawa yang sebagian diurug pada saat mendirikan rumah di atasnya.

Permasalahan Sungai di Banjarmasin

Permukiman tepi sungai Banjarmasin “Kota Seribu Sungai” Kalimantan Selatan kini semakin tua dan semakin semrawut. Selain disebabkan belum jelasnya orientasi tata ruang kota, juga disebabkan minimnya perhatian pemerintah terhadap arti pentingnya bantaran sungai. Bahkan, pemerintah sendiri ikut-ikutan menguruk bantaran Sungai Martapura sampai 30 meter ke arah badan sungai.

Pemandangan di permukiman penduduk di sepanjang Sungai Barito dan Sungai Martapura kini semakin beranjak menjadi kumuh. Beberapa rumah tua bahkan sudah miring dan rawan roboh, sehingga membahayakan penghuni dan tetangganya. Di pinggir-pinggir sungai kecil lainnya permukiman penduduk yang mayoritas berbahan kayu sudah berjubel layaknya permukiman tua di bantaran sungai Jakarta. Lanting- lanting (rumah terapung) yang menjadi ciri khas budaya dan bisa menarik wisatawan itu kini semakin tak tertata dan tak sedap dipandang mata (Kompas, 2003). Air sungainya berwarna coklat dan kadang kehitam-hitaman. Enceng gondok, ranting, dahan kayu, dan pelbagai jenis sampah serta bangkai pelbagai jenis binatang yang berserakan di sungai itu, makin menambah buruknya kualitas air. Belum lagi soal pendangkalan dan kehilangan garis pantai sehingga sungai menjadi pendek dan menyempit.

Masyarakat sekitar mengeluhkan buruknya kualitas air sungai tersebut, juga akibat berbagai limbah pabrik yang beroperasi di tepi sungai. Pelebaran Jalan Piere Tendean dan Jalan Sudirman telah memakan badan sungai Martapura. Di antara ratusan anak-anak sungai Martapura terdapat puluhan yang cuma tinggal nama, sungainya sudah berubah menjadi permukiman, badan jalan, bangunan kantor, dan peruntukan lainnya.

Sungai yang hilang antara lain Sungai A Yani di kiri-kanan Jalan Jenderal A Yani, sepanjang 15 kilometer lebar 15 meter sudah menjadi badan jalan (Baldi Fauzi, Kompas). Masalah pengerukan alur Barito sepanjang 14 kilometer, lebar 55 meter, dari muara Sungai Barito menuju dermaga pelabuhan yang memakan anggaran Rp 6-7 milyar per tahun lantaran endapan lumpurnya sangat tinggi 2,5 juta-3 juta meter kubik per tahun sampai saat ini belum juga tuntas dan selesai. Hal ini jelas mengganggu arus transportasi dan distribusi barang ke dan dari Banjarmasin. Dan persoalan pengerukan sungai Barito tersebut, sampai saat ini masih menjadi polemik dan masalah yang serius yang melibatkan para pejabat tinggi pemerintah termasuk Gubernur yang sebenarnya kalau diperhatikan lebih lanjut permasalahan pendangkalan sungai terletak pada pengelolaan pengatur siklus hidrologi di hulu yang kebanyakan selama ini pemerintah dan berbagai pihak lainnya terlena, hal ini terlihat dari mengeruhnya sungai yang selama ini digunakan masyarakat banjar sebagai alat transportasi, maraknya penebangan-penebangan pohon di daerah hulu sehingga menyebabkan abrasi pada daerah aliran sungai yang akhirnya menyebabkan terjadinya endapan di daerah hilir.

Permasalahan yang datang dalam pengelolaan sungai di Banjarmasin seringkali datang dari kurangnya kesadaran masyarakat pinggir sungai dalam pengelolaan kebersihan sungai tersebut, selain itu kurang terpadunya metode yang dipakai dalam pembangunan bangunan yang ada di Kota Banjarmasin, sebagaimana dikemukakan sebelumnya umumnya pembangunan di Banjarmasin yang dibangun di atas rawa dengan cara mengurug tanah dengan cara yang tidak tepat, sehingga hal ini menyebabkan matinya aliran sungai dan seringkali menyebabkan air pasang yang naik ke permukaan. Permasalahan lainnya datang dari perusahaan terutama dalam pengaturan tata letak pelabuhan serta pembuangan limbah, hal ini seringkali permasalahan yang kadang diabaikan namun merupakan faktor serius.

Ditinjau dari ilmu sosial budaya, permasalahan sungai terkait pada ekologi, yaitu hubungan manusia dengan lingkungannya, dimana dalam hal ini manusia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sungai sebagai tempat hidup serta kegiatan sehari-hari mereka, selain itu dalam permasalahan ini terkait juga hubungan manusia dengan Penciptanya atau biasa disebut dengan Emotional Spiritual Question, yang telah diketahui mayoritas masyarakat banjar adalah penganut agama Islam yang kental sungguh ironis sekali saat ajaran agama ini mengajarkan kebersihan adalah salah satu faktor pondasi iman, namun dalam kesehariannya dalam hubungan manusia atau masyarakat tersebut dengan lingkungannya yaitu sungai malah sangat tidak harmonis, utamanya dari segi kebersihan.

Sampah

Sampah merupakan persoalan lingkungan klasik di perkotaan. Namun, sampai saat ini, masih menjadi masalah yang serius. Di samping rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan, upaya yang dilakukan pemerintah juga belum optimal. Kalau kita lihat di beberapa tempat pembuangan sampah sementara (TPS), pada siang hari masih banyak tumpukan sampah yang tidak terangkut. Belum lagi, berapa banyak anak sungai yang “mati” akibat adanya sampah yang terus menumpuk. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola kota adalah masalah sampah.

Berdasarkan data-data BPS pada tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235, 87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar 37,6%, yang dibuang ke sungai 4,9%, dan tidak tertangani sebesar 53,3%. Di Kalimantan Selatan, dengan jumlah penduduk kota 1.347.527 yang tersebar di 11 kota, cakupan yang terlayani oleh adanya pelayan pemerintah dalam pengelolaan sampah hanya 550.017 jiwa atau 40,8% (Bappenas, 2002).

Kesehatan

Kawasan yang kumuh dan lingkungan yang tidak higienis menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Berdasarkan laporan Banjarmasin Post, 23 September 2004, setidaknya ada 4 jenis penyakit yang masih menjadi masalah Kota Banjarmasin, karena selalu ada sepanjang tahun. Demam berdarah, sampai bulan September 2004 telah ditemukan 111 kasus dengan 1 kematian. Diare selalu terjadi sepanjang tahun, setiap bulan selalu ada ditemukan kasus diare dan selalu mengalami peningkatan di musim kemarau.

Penggunaan air sungai untuk konsumsi dan kebutuhan sehari-hari, termasuk membuang kotoran biologis dan non-biologis memicu tumbuh kembangnya kuman penyebab diare. Berdasarkan penelitian Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Banjarmasin pada bulan Mei 2004, menunjukkan adanya kuman tersebut pada badan air sungai maupun air bersih yang menjadi obyek penelitian. TBC, di kota Banjarmasin sampai bulan September 2004 ada 650 penderita dan diobati dengan angka kesembuhan 87,5%. Artinya, masih 12,5% yang tidak tersembuhkan. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat polusi udara ditambah dengan kondisi perumahan yang kurang sehat dan kekurangan gizi cenderung meningkat pada tahun 2004. Peningkatan tersebut sangat dipengaruhi oleh asap kendaraan bermotor, industri, asap rokok, asap bakaran sampah, asap kebakaran hutan dan lahan, asap dapur, dan lain-lain.

Tata Ruang Kota

Tata ruang kota merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perkembangan kota yang cenderung mengabaikan kawasan hijau kota, berupa ruang terbuka hijau, hutan kota, dan taman kota, sangat disayangkan. Ketiadaan hutan kota yang mestinya dapat berfungsi sebagai penyerap karbon, peredam kebisingan, pengatur tata air, dan peredam kebisingan, makin membuat kondisi lingkungan kota Banjarmasin makin parah.

Pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan kota Banjarmasin yang notabene adalah kawasan rawa sangat berpengaruh terhadap tata air. Akibat adanya pengurukan kawasan rawa menyebabkan kemampuan kawasan rawa sebagai kawasan penyangga yang mampu menyerap air di musim hujan dan mendistribusikannya kembali di musim kemarau menjadi rusak. Saat ini, sudah dirasakan oleh masyarakat kota Banjarmasin di mana terjadi banjir atau genangan air pada musim hujan dan masuknya air laut lebih jauh ke daratan (infiltrasi air laut). Hal ini diperparah dengan tidak tertatanya drainase sebagai pengatur keluar masuknya air. Kawasan industri yang lokasinya berada di bantaran sungai dan di tengah-tengah masyarakat tidak dilakukan penataan kembali. Padahal, hal ini sangat mengganggu bagi kesehatan masyarakat sekitar, misalnya, pabrik karet dan stock file batubara di Pelambuan.

Pembangunan perkotaan yang dilakukan masih tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan hidup dan penataan ruang kota yang ramah lingkungan. Polusi udara, pencemaran air, masalah sampah, buruknya pengelolaan sungai merupakan penyebab utama berbagai penyakit yang menyerang penduduk kota terutama kalangan bawah. Mesti dilakukan perubahan mendasar paradigma dan kebijakan dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ke depan di Kalimantan Selatan. Masyarakat mesti mendorong kerja-kerja Gubernur dan para Bupati serta para wakil rakyat yang baru duduk di DPRD, baik Propinsi maupun Kabupaten, agar bekerja lebih optimal dalam membangun “manusia seutuhnya Kalimantan Selatan” dengan bersandar pada aspek lingkungan hidup, sosial-budaya, selain aspek ekonomi.

Solusi

Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan. Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis (kecil ke besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih, dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus digiatkan.

Banjarmasin sebagai kota sungai, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan harus merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah mengatur tata pemukiman daerah agar tertata rapi sebagai ciri khas objek Kalimantan Selatan, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser (bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif yang sesuai dengan tatanan kota secara terpadu.

Pemerintah daerah, pengembang besar, dan perancang kota bersama membangun kawasan terpadu yang terencana matang dan layak huni. Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan. Jika tidak, warga yang tergusur pasti akan berpindah menghuni ruang hijau kota lainnya (bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang, dan tepian situ) di lain lokasi yang memang banyak tidak terawat. Begitu seterusnya. Setelah itu, bantaran sungai, warga dapat menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian (kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai. Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Banjarmasin.

Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat menggelar acara rekreasi bersama keluarga atau teman di tepi sungai setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk koperasi masyarakat cinta sungai. Berbagai perhelatan turisme seperti Festival Sungai digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota. Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, pemerintah kota harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.

Sebagai pengelolaan kota air, Banjarmasin dapat bercermin pada satu kota yang terletak di Italia, yaitu Venesia. Kota Venesia sangat terkenal sebagai kota air yang menjadikannya kota pariwisata, dikunjungi oleh ribuan wisatawan setiap tahunnya dengan pemasukan devisa yang sangat besar. Nusantara mempunyai Venesia dari Timur, yang belum dipoles, sehingga belum dapat dipromosikan. Kota Banjarmasin telah mempunyai infrastruktur sebagai kota sungai, yang jika dikembangkan secara konsisten akan menjadi tujuan wisata mancanegara alternatif selain Bali, Lombok, Yogyakarta, Danau Toba dan lain lain. Sebelum sempat dikembangkan sebagai kota sungai, perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, malah semakin menjauhkan Banjarmasin dari substansinya sebagai kota sungai dengan memusatkan pembangunan melulu pada infrastruktur darat dan membiarkan penghunian di bantaran dan di dalam badan sungai, pada banyak sungai, terutama di pusat kota, sehingga keindahan sungai menjadi hilang sama sekali, diganti dengan pemandangan yang kumuh. Demikian juga alokasi dana pembangunan kota Banjarmasin yang tidak seimbang antara pembangunan infrastruktur darat dan infrastruktur sungai. Padahal jika benar-benar ingin mengembangkan kota sungai Banjarmasin, alokasi dana pembangunan infrastruktur harus seimbang, antara infrastruktur darat dan infrastruktur sungai. Beberapa hal yang perlu diperhatikan jika ingin membangun kota sungai Banjarmasin adalah kelembagaan dengan mewujudkan terbentuknya Dinas Penataan Sungai, sumberdaya manusia dengan meningkatkan kualitas SDM pada dinas sungai tersebut, dana dengan memberikan alokasi dana yang seimbang antara pembangunan daratan dan sungai, dan infrastruktur dengan membenahi pemukiman-pemukiman kumuh di sepanjang bantaran dan di dalam badan sungai, melalui penerapan Perda Sungai.

Kelak bantaran sungai pun bernilai estetis (indah, bersih, tertata rapi), ekologis (meredam banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air, transportasi ramah lingkungan). Perubahan perspektif ini semoga dapat mengubah keseluruhan lanskap hunian kota Banjarmasin yang berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai) ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota tepian air sehingga dapat menunjukkan citra Banjarmasin sebagai Venice dari Nusantara.

Referensi

Anonim. 2009. Banjarmasin:Kota Seribu Sungai, Seribu Masalah. http://zhamboes.blogspot.com/2008/05/banjarmasin-kota-seribu-sungai-seribu.html. Akses Tanggal 13 Mei 2009, Pukul 16.30 WITA.

Joga, Nirwono. 2009. Membangun Kota (Sungai) Ramah Air. http://bksdakalsel.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=633&Itemid=77. Akses Tanggal 13 Mei 2009, Pukul 16.05 WITA.

Tim Teknis Program Pengembangan. 2008. Strategi Sanetasi Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota Banjarmasin, Banjarmasin.

Zainuddin, Hasan. 2009. Haruskah “Tertawai” Banjarmasin, Kota Terkotor Indonesia. http://hasanzainuddin.com/2008/08/31/haruskah-%E2%80%9Ctertawai%E2%80%9D-banjarmasin-kota-terkotor-indonesia-2/. Akses Tanggal 13 Mei 2009, Pukul 16.17 WITA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun