Mohon tunggu...
Yusuf Ali
Yusuf Ali Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku Ada adalah Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Afi, Menujulah Puncak karena Menulis itu Tidak Mudah

3 Juni 2017   11:14 Diperbarui: 3 Juni 2017   11:25 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Selamat datang di Indonesia di mana orang-orang dewasanya dibikin heboh gara-gara anak kemarin sore yang nyebut-nyebut warisan."

Itu adalah status Facebook saya tanggal 25 Mei 2017 menggambarkan suasana dunia maya dan dunia nyata saat itu. Orang-orang dewasa benar-benar dibikin heboh sama "Warisan" yang ditulis oleh anak-anak yang sedang (hampir) menginjak dewasa, Afi Nihaya Faradisa.

Nama Afi mengingatkan saya pada sebuah acara pencarian bakat paling terkenal waktu itu: Akademi Fantasi Indonesia. Namun sayangnya sejak isu plagiarisme mencuat nama Afi malah diplesetkan menjadi Akademi Flagiat Indonesia. Yang sabar ya.

Afi, jika kamu pikir tulisan saya ini membelamu, kamu salah. Tapi bukan juga hendak membully kamu. Saya pun juga ikut-ikutan heboh lo gara-gara "Warisan". But that's not the point of this note. The point is, menulis itu tidak mudah.

Saya contohkan satu nama penulis: Dewi 'Dee' Lestari. Di millennium ketiga ini siapa yang nggak kenal Dewi 'Dee' Lestari? Penyanyi mantan anggota RSD ini full menjadi penulis sejak novelnya yang pertama "Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh" (meskipun sebelumnya dia juga banyak menulis di beberapa media).

Saya yang saat itu bahkan lebih muda dari umurmu, 16 tahunan, yang juga sering membaca karya sastra Indonesia masih belum bisa mengapresiasi karyanya. Betapa tidak? Isi novelnya tidak berbeda dengan novel-novel maupun karya sastra pada saat itu yang berisi prostitusi, cheating, hingga hubungan sesama jenis. Sangat biasa untuk tidak disebut norak.

Sekedar diketahui bahwa saat itu, bersamaan dengan jaya-jayanya film bioskop "Ada Apa Dengan Cinta?" adalah masa yang dipenuhi dengan karya sastra bertema 'sangat dewasa' atau kalau boleh saya katakan "trans-kultur". Sebut saja misalnya Moammar Emka punya Jakarta Undercover, Iip Wijayanto punya Campus Fresh Chicken, dan bahkan majalah sastra Horizon pun kerap memuat cerpen-cerpen yang dibumbui hal senada. (Koreksi jika saya salah).

Tapi apa yang dilakukan Dee untuk menghargai tulisannya? Dia menerbitkan bukunya sendiri. Mendistribusikan sendiri. Bahkan demi bisa merambah kalangan rakyat jelata (seperti saya), dia rela 'membajak' bukunya sendiri dengan mencetaknya di atas kertas buram. Hasilnya? Terjual lebih dari 12 ribu eksemplar hanya dalam 35 hari dan statistiknya terus naik.

Lihatlah dia sekarang. Kini Dewi benar-benar seorang penulis dengan karya tulis yang berkualitas tinggi dibandingkan dahulu. Karya-karyanya juga tidak jarang diangkat ke layar kaca. Filosofi Kopi, Madre, Perahu Kertas, untuk menyebut beberapa.

Kekaguman orang pada tulisanmu itu wajar, mengingat pemikiranmu sangat maju dibandingkan anak-anak seusiamu. Kalaupun kamu mengaku diancam diteror sana sini, itu hal yang wajar karena kamu menyentuh ranah yang 'sangat mengancam mereka'. Tapi itu belum cukup untuk menjadi penulis yang berkualitas.

Menjadi penulis berkualitas tidak hanya sekedar menulis satu dua tulisan, tapi bagaimana seorang penulis itu menghargai tulisannya dan juga orang lain. Adalah kesalahan besar mengaku-ngakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Lebih salah lagi dengan menempatkan tanda copyright (hak cipta) pada tulisan yang bukan tulisannya.

Karena itu saya dan mungkin juga beberapa kawan sesama penulis amatiran meminta dengan hormat agar dek Afi segera meminta maaf kepada masyarakat dan dengan jujur mengakui kesalahan. Mengingat sudah jelas dek Afi telah melakukan tindakan plagiat.

Saya tidak ingin munafik mengatakan bahwa jujur itu enak. Jujur itu nggak enak, beneran! Jujur mengakui kesalahan di depan banyak orang itu rasanya seperti 'mengaku kalah menyerah di depan banyak musuh'. Namun rasa plong itu akan kamu dapatkan setelah melewati proses itu.

Percayalah, setelahnya kamu akan dapat menulis dengan lebih plong. Kami juga menunggu tulisan-tulisanmu untuk kami kritisi. Bukankah kritik itu bagaikan kripik singkong bagi seorang penulis? Dan menulis sambil ngemil itu asik. Saya yakin konflik yang kamu alami (apalagi kamu masih muda) akan membuat tulisanmu makin berkualitas.

Setiap penulis pasti akan terasah dengan adanya konflik. Meskipun begitu jangan pernah sengaja mencari-cari konflik. Dan kalau ada, segera selesaikan. Misalnya seperti Dee yang saya ceritakan tadi. Dia juga pernah punya masalah dengan orang Hindu karena telah menggunakan lambang Om pada sampul novelnya.

Ngomong-ngomong soal plagiarisme, saya, seorang penulis tidak terkenal, juga pernah melakukannya kok. Saat itu usia saya masih 16 tahun. Di perpustakaan saya menemukan sebuah buku berjudul "Kisah-Kisah Mesir" yang merupakan antologi cerpen para penulis berkebangsaan Mesir. Orang awam pasti mengira itu buku Islami padahal tidak. Salah satu cerpennya berjudul "5=25". Cerpen inilah yang menjadi inspirasi saya menulis cerpen islami "Berkah Tawakkal".

Menurut history peminjaman buku ini tidak terlalu banyak peminatnya. Ditambah kondisi kertasnya yang kemuning termakan usia dan sampul buku yang tidak menarik. Dalam penulisan novel "Berkah Tawakkal" saya sama sekali tidak mencontek cerpen "5=25" karena memang jalan ceritanya sangat sederhana sehingga mudah diingat sehingga bisa sama persis. Hanya nama-nama pelaku yang saya samarkan.

Tak disangka response dari teman-teman sungguh luar biasa. Banyak yang salut dan kagum dengan cerpen yang saya buat. Padahal mereka tidak tahu kalau itu cuma cerita adaptasi dari buku di perpustakaan yang tidak banyak dijamah siswa di sekolah saya. Kemudian ada satu orang yang protes dengan tulisan saya. Saya jadi waswas karena mungkin dia tahu saya melakukan plagiat.

Di luar dugaan, dia protes bukan soal plagiarisme tapi karena namanya saya gunakan sebagai tokoh cerita tersebut. Meski sempat menuntut saya meminta maaf di muka umum akhirnya dia kasihan juga pada saya dan dia sudah memaafkan secara kekeluargaan.

Itu 'konflik kecil' dan pertama yang saya alami di dunia tulis menulis. Apakah berhenti sampai di situ? Tidak!

Di saat Indonesia sedang kemasukan tradisi merayakan Valentine's Day, saya termasuk orang yang tidak setuju. "Karena tidak sesuai dengan Islam", pikir saya waktu itu. Maka saya bikin selebaran tentang bahaya Valentine's Day dari sudut pandang Islam. Selebaran itu kemudian saya sebarkan saat ada pagelaran seni sekolah! Apa ada apresiasi buat saya? Tidak! Buntutnya saya dan teman-teman yang ikut menyebarluaskan diminta untuk meminta maaf kepada teman-teman Kristen karena telah menyinggung agama mereka.

Apakah saya malu? Ya! Saya malu sekali. Merasa kalah? Ya! Tapi begitulah. Saya kemudian tersadar bahwa sebenar-benarnya diri kita, kita harus menyampaikan kebenaran itu dengan cara yang benar. Saya sadar tujuan saya benar tapi cara saya salah telah menyinggung ajaran agama lain padahal seharusnya tidak perlu. Saya berjabat tangan dengan teman-teman Protestan, meminta maaf, dan saling berpelukan dengan mereka (sesama pria). Siapa sangka salah satu dari mereka sekarang menjadi artis cukup terkenal setelah memenangi ajang pencarian bakat bergengsi di tanah air.

Itu adalah 'konflik agak besar' yang saya alami di dunia tulis menulis. Apakah ujian saya berhenti sampai di situ? Tidak!

Konfik yang paling besar saya alami kertika saya menulis buku tentang oksidentalisme-apologetik, yakni studi untuk meng-counter pendapat-pendapat orientalis (Barat) tentang Ketimuran dalam hal ini Islam. Buku sudah terlanjur dicetak dan siap untuk disebarkan.

Namun apa yang terjadi? Buku saya malah ditolak mentah-mentah oleh beberapa distributor buku Islam. Alasannya karena buku saya dikhawatirkan membuat bingung umat Islam! Sedih sekali! Padahal tujuan saya menulis buku ini adalah sebagai pedoman umat Islam agar tidak mudah terkecoh dengan logical fallacy (kecacatan logika) orang-orang yang hendak mengajak umat Islam untuk murtad pindah agama.

Buku saya justru banyak diapresiasi oleh orang-orang non-Muslim karena melalui buku saya mereka sadar bahwa ternyata Islam itu begini dan begini. Tidak sejelek yang selama ini mereka pikirkan. Aneh memang. Buku saya yang saya tujukan kepada orang-orang Islam untuk membantu mereka yang sedang bingung menghadapi orang-orang yang ingin memurtadkan, malah dianggap berbahaya oleh orang Islam sendiri! Padahal buku itu saya angkat dari pengalaman saya sendiri.

Kalau memang ada salah, bisa diberi tahu mana kesalahan saya agar bisa saya koreksi. Berkali-kali saya minta penjelasan tapi hanya satu jawaban yang saya dapat: buku saya berbahaya.

Sama sekali tidak ada maksud untuk mendahului langkah para ustadz dan ulama. Karena yang saya bahas sebenarnya adalah problem yang sangat awam yang hanya bermain-main dengan logical fallacy.

Meski akhirnya ada distributor yang mau mendistribusikan buku saya, saya pun urung untuk mengurus buku saya itu lebih lanjut. Kemudian sebisanya saya hapus semua jejak di Internet tentang buku itu seakan tidak pernah ada. Lagipula enam tahun berlalu dan beberapa tulisan sudah tidak lagi mewakili pemikiran saya. Dan lagi, salah satu narasumber yang saya jadikan bahan ternyata sudah menjadi atheist dan antipati terhadap Islam padahal sebelumnya sangat loyal. Di situlah saya merasa bersyukur.

Selama beberapa waktu saya masih sempat menulis tentang oksidentalisme dan berperan aktif dalam debat apologetika sampai akhirnya saya dituduh liberal dan Syiah. Bagaimana bisa? Tidak pernah saya ketemu orang Syiah kecuali berdebat dengannya di dunia nyata. Tapi di dunia maya saya malah dituduh Syiah. Hanya gara-gara berbeda pendapat saja saya dituduh liberal. Dan yang menuduhnya adalah orang-orang yang saya kenal baik. Sejak saat itu dan karena sebab-sebab lainnya saya memutuskan benar-benar berhenti menulis tentang oksidentalisme sampai saat ini.

Itulah pengalaman saya dulu yang mungkin bisa jadi pelajaran buat Afi. Semakin besar konflik yang kamu alami, maka akan semakin berkualitas dirimu. Menulislah untuk Indonesia. Jangan pernah berhenti menulis untuk Indonesia. Menulislah maka kamu semakin dewasa.

Berbahagialah menerima kritik karena dari kritik itu kita bisa tahu mana yang harus kita perbaiki. Cintailah orang-orang yang membully kamu sebab mereka sudah meluangkan waktu buatmu untuk mencari-cari kesalahan kamu agar kamu lebih baik.

Oh iya, satu lagi. Melarang orang untuk merasa menjadi Tuhan sama saja kamu sedang merasa menjadi Tuhan. Dan tolong, buka kembali akunmu supaya kami bisa melihat lagi tulisan-tulisanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun