Karena itu saya dan mungkin juga beberapa kawan sesama penulis amatiran meminta dengan hormat agar dek Afi segera meminta maaf kepada masyarakat dan dengan jujur mengakui kesalahan. Mengingat sudah jelas dek Afi telah melakukan tindakan plagiat.
Saya tidak ingin munafik mengatakan bahwa jujur itu enak. Jujur itu nggak enak, beneran! Jujur mengakui kesalahan di depan banyak orang itu rasanya seperti 'mengaku kalah menyerah di depan banyak musuh'. Namun rasa plong itu akan kamu dapatkan setelah melewati proses itu.
Percayalah, setelahnya kamu akan dapat menulis dengan lebih plong. Kami juga menunggu tulisan-tulisanmu untuk kami kritisi. Bukankah kritik itu bagaikan kripik singkong bagi seorang penulis? Dan menulis sambil ngemil itu asik. Saya yakin konflik yang kamu alami (apalagi kamu masih muda) akan membuat tulisanmu makin berkualitas.
Setiap penulis pasti akan terasah dengan adanya konflik. Meskipun begitu jangan pernah sengaja mencari-cari konflik. Dan kalau ada, segera selesaikan. Misalnya seperti Dee yang saya ceritakan tadi. Dia juga pernah punya masalah dengan orang Hindu karena telah menggunakan lambang Om pada sampul novelnya.
Ngomong-ngomong soal plagiarisme, saya, seorang penulis tidak terkenal, juga pernah melakukannya kok. Saat itu usia saya masih 16 tahun. Di perpustakaan saya menemukan sebuah buku berjudul "Kisah-Kisah Mesir" yang merupakan antologi cerpen para penulis berkebangsaan Mesir. Orang awam pasti mengira itu buku Islami padahal tidak. Salah satu cerpennya berjudul "5=25". Cerpen inilah yang menjadi inspirasi saya menulis cerpen islami "Berkah Tawakkal".
Menurut history peminjaman buku ini tidak terlalu banyak peminatnya. Ditambah kondisi kertasnya yang kemuning termakan usia dan sampul buku yang tidak menarik. Dalam penulisan novel "Berkah Tawakkal" saya sama sekali tidak mencontek cerpen "5=25" karena memang jalan ceritanya sangat sederhana sehingga mudah diingat sehingga bisa sama persis. Hanya nama-nama pelaku yang saya samarkan.
Tak disangka response dari teman-teman sungguh luar biasa. Banyak yang salut dan kagum dengan cerpen yang saya buat. Padahal mereka tidak tahu kalau itu cuma cerita adaptasi dari buku di perpustakaan yang tidak banyak dijamah siswa di sekolah saya. Kemudian ada satu orang yang protes dengan tulisan saya. Saya jadi waswas karena mungkin dia tahu saya melakukan plagiat.
Di luar dugaan, dia protes bukan soal plagiarisme tapi karena namanya saya gunakan sebagai tokoh cerita tersebut. Meski sempat menuntut saya meminta maaf di muka umum akhirnya dia kasihan juga pada saya dan dia sudah memaafkan secara kekeluargaan.
Itu 'konflik kecil' dan pertama yang saya alami di dunia tulis menulis. Apakah berhenti sampai di situ? Tidak!
Di saat Indonesia sedang kemasukan tradisi merayakan Valentine's Day, saya termasuk orang yang tidak setuju. "Karena tidak sesuai dengan Islam", pikir saya waktu itu. Maka saya bikin selebaran tentang bahaya Valentine's Day dari sudut pandang Islam. Selebaran itu kemudian saya sebarkan saat ada pagelaran seni sekolah! Apa ada apresiasi buat saya? Tidak! Buntutnya saya dan teman-teman yang ikut menyebarluaskan diminta untuk meminta maaf kepada teman-teman Kristen karena telah menyinggung agama mereka.
Apakah saya malu? Ya! Saya malu sekali. Merasa kalah? Ya! Tapi begitulah. Saya kemudian tersadar bahwa sebenar-benarnya diri kita, kita harus menyampaikan kebenaran itu dengan cara yang benar. Saya sadar tujuan saya benar tapi cara saya salah telah menyinggung ajaran agama lain padahal seharusnya tidak perlu. Saya berjabat tangan dengan teman-teman Protestan, meminta maaf, dan saling berpelukan dengan mereka (sesama pria). Siapa sangka salah satu dari mereka sekarang menjadi artis cukup terkenal setelah memenangi ajang pencarian bakat bergengsi di tanah air.