Jika ada hal lain yang dapat membuat anak-anak berhenti bermain saat sedang asyik bermain di siang bolong selain disuruh pulang oleh ibunya, itu adalah Film Dono.
Ya. Kami masih kecil saat itu sekitar usia 7-9 tahun atau sedikit lebih besar (usia anak-anak SD). Kami tidak kenal siapa itu Warkop DKI tapi kami tahu siapa Dono, Kasino, dan Indro. Jika salah seorang dari kami membawa kabar gembira "ada Film Dono di TV", kami langsung stop bermain dan duduk anteng di depan televisi sambil tertawa terbahak-bahak melihat aksi mereka. Sosok Dono yang selalu apes tapi kalau urusan wanita dia selalu "menang banyak", Kasino yang sok pintar tapi memang pintar, serta Indro kami kenal sebagai Dono-Kasino-Indro bukan Warkop DKI.
Kami tidak perlu tahu dan tidak pernah cari tahu apa judul film yang kami tonton. Pokoknya tahunya "Film Dono". Titik. Kami masih sangat kecil untuk tahu bahwa di film itu banyak sekali cewek-cewek cantik, seksi, bahenol, dan hal-hal berbau dewasa lainnya.
Hanya ada dua judul film yang kami hapal (Kata "kami" yang saya maksud adalah saya dan teman-teman di masa kecil): "Chips" dan "Manusia 6 Juta Dolar". Itu pun karena dua film itu adalah film mengadaptasi dari film Barat yang sudah terkenal.
Itulah masa kecil kami yang diceriakan oleh film-film komedi dewasa, baik itu oleh Warkop DKI, Kadir-Doyok, Ateng-Iskak. Ada pula sinetron komedi: Jinny oh Jinny, Putri Duyung, Putri Salju. Tidak ada masalah bagi kami dan kami pun tidak pernah meniru hal-hal buruk yang diadegankan pada film-film tersebut. Lebih tepatnya, nyaris tidak pernah. Itu karena masih banyak acara anak lainnya sebagai penyeimbang.
Itu dulu. Sayang seribu sayang. Hari ini, di era yang semakin individualis berkedok media individual eh maksudnya media (sok) sosial, di mana solidaritas berwujud like, share, tanda tangan petisi, tuntunan hanya menjadi tontonan dan tontonan kini beralih menjadi tuntunan.
Baru-baru ini saya baca tulisan/curhatan tentang kekecewaan sang orang tua karena terlanjur mengajak anaknya nonton Warkop DKI Reborn. Saya juga orang tua lo! Dan saya juga mengajak anak saya nonton Warkop DKI Reborn, lo! Jadi yang saya alami juga sama dengan yang dia alami, lo! Jadi saya juga berhak berkomentar, lo!
Seharusnya sebelum dia mengajak anaknya nonton Warkop DKI Reborn, dia cari tahu apakah film ini cocok untuk tontonan anak-anak. Sementara alasan saya mengajak anak sana nonton karena tidak ada pilihan lain.
Dia tidak pernah nonton "Film Dono" semasa mudanya kali ya? Atau dia pikir reaksi anaknya nanti akan sama dengan kami yang lahir tahun 80-90 an?
"Jangkrik Bos!" Itulah kata yang akan sering kita dengar saat nonton film Warkop DKI Reborn di bioskop. Memang saya pribadi agak sedikit kecewa karena pada film sebelumnya (CHIPS), kata "jangkrik" tidak diucapkan sebegitu seringnya. Tapi di film "Jangkrik Bos!" kata itu digunakan sebagai umpatan di mana-mana. Berkali-kali pula. Pada akhirnya banyak sekali orang tua yang mengeluh karena anaknya sekarang sering mengumpat dengan kata "Jangkrik!"
Bagaimana dengan anak saya? Alhamdulillah ini juga merupakan karunia dari Allah. Tidak sekalipun anak saya mengumpat saat nonton film tersebut karena saya selalu tanamkan kepada anak saya untuk berkata yang baik. Sekali saja anak saya ada hal jelek bahkan jika itu di film anak-anak sekalipun, saya langsung menasihati sebagai seorang ayah yang menasihati anaknya. Alhasil, sekalipun anak-anak lain yang juga ikut nonton Warkop DKI Reborn terus-terusan mengumpat "jangkrik! jangkrik!" anak saya hanya ketawa menikmati komedinya. Persis seperti ayahnya dulu hehehe.
Jika ada adegan vulgar yang terpaksa dia tonton pun, seperti adegan Nikita Mirzani duduk di atas meja, saya tutup pandangannya dengan tangan. Begitu pun saat ada adegan agak ngeri, misalnya ketika Indro melepas wajah yang dia kira topeng saya tutup matanya agar dia tidak melihatnya.
Ingat! Adegan vulgar dan kata-kata kasar/jorok tidak hanya ada di film dewasa atau film dengan rating 18+ tapi juga film anak-anak. Lihat saja film Frozen, misalnya. Yang pernah nonton pasti tahu ada adegan ciuman antara Kristoff dan Anna. Tapi apakah ada yang protes? Ga ada kan? (anggap saja gak ada). Saya sebagai orang tua juga tidak protes, justru di situlah orang tua berperan sebagai pembimbing.
Seharusnya lebih banyak orang kecewa dengan film Frozen daripada Warkop DKI Reborn karena ratingnya jelas! Sudah tahu Warkop DKI Reborn itu film dengan rating 13+ (bahkan sempat 17+), mestinya tahu resiko mengajak anak-anak nonton. Sudah tahu gitu, protes!
Itulah cara saya melindungi anak-anak saya dari tontonan yang tidak mendidik, disturbing, kasar, jorok, sensual, nanyian dewasa, sentimentil, cinta monyet, dan sebagainya. Saya selalu arahkan pada apa yang memang pantas untuk anak seusianya.
Selain unsur nostalgila alias nostalgendeng tidak sedikit orang yang penasaran, berhasilkah Abimana, Vino, dan Tora menjadi Dono, Kasino, dan Indro. Setidaknya itulah pertanyaan saya.
Reinkarnasisasi Dono, Berhasilkah?
Benar saja. Buat yang pernah nonton Film Dono pasti mengenal karakter Dono. Memang ada kemiripan dengan yang diperankan Abimana, misalnya saat dia menang telak dari Kasino dan Indro saat berhasil mencium tangan Sophie, si gadis cantik dari Chips cabang Perancis, Â dan Sophie dalam tugasnya ikut bersama Dono. Ini Dono banget menurut saya. Saya sempat mengira pemeran Sophie adalah Meriam Bellina. Hahaha...
Namun, satu hal yang tidak bisa disembunyikan Abimana adalah gigi tongos palsu. Ini jelas kentara ketika dia mengintonasikan huruf "s". Coba Anda ingat-ingat adegan di bandara saat Dono berhasil menjual taplak meja Katty Perry seharga "Lima belas juta". Atau ketika dia berjoget dan ikut bernyanyi saat pak polisi bernyanyi lagu dangdut "Cinta karena dasi". Dengarkan bagaimana dia mengucapkan "s". Perbedaan bunyi itu bisa jadi karena dia pakai gigi palsu sehingga suara "s" stuck di gigi aslinya.
Lepas itu semua dari awal saya tidak berekspetasi Abimana akan menjadi 100% Dono. Usahanya yang keras sudah bisa saya hargai minimal dia sudah berusaha sebaik yang dia bisa.
Kalau Reinkarnasisasi Kasino, Gimana?
Ada tiga huruf yang sama dalam nama Kasino dan Vino. Kebetulankan? Saya rasa tidak! Hahaha... Ini sih namanya cocoklogi. Kalau acting Abimana menghadirkan sosok Dono yang "baru" (setidaknya menurut saya), Vino nampaknya berusaha menjadi Kasino 100%. Namun yang terjadi kemudian adalah Kasino a la Vino. Perilakunya mirip Kasino tapi wajah dan bicaranya 100% Vino. Kasino yang paling pintar di antara yang lain dan punya talenta bernyanyi dengan bahasa asing berhasil direinkarnasisasikan oleh Vino. Plus hewan-hewan peliharaan Kasino: monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus, kirik, juga dibawakan not bad.
Kekurangannya apa? Ada dong pastinya. Suara Vino yang khas tidak bisa menggantikan suara Kasino yang jelas dan tidak serak seperti Vino. Saya pun sempat tidak memahami ucapan Kasino meski diulang-ulang sebanyak tiga kali (adegan di teras rumah). Ada yang tahu dia ngomong apa?
Yang paling saya suka itu saat Kasino nyanyi lagu plesetannya Kyu Sakamoto - Sukiyaki. Kebetulan lagu Sukiyaki adalah lagu favorit saya.
Ada Dua Indro. Lho?
Seperti kita tahu satu-satunya personil Warkop DKI asli yang masih hidup adalah Indro. Lalu kenapa sosok Indro kena jatah reinkarnasisasi? Tentu dong karena Bang Indro kan sudah tua. Masak digandengin sama Abimana dan Vino. Maka jadilah Tora Sudiro memerankan Indro. Meski begitu bang Indro yang asli juga ikut di film ini. Sebagai apa?
Sebagai saksi hidup Warkop DKI tentu saja Indro memiliki peranan besar dalam pembuatan film Warkop DKI. Dan sebagai "narasumber utama" bang Indro tidak harus dapat peran. Untungnya peran Bang Indro cukup masuk akal (mungkin), yakni sebagai Indro Masa Depan.
Namanya juga film komedi. Nyambung gak nyambung yang penting ketawa. Dan yang paling penting, "tertawalah sebelum tertawa itu dilarang".
Saya sangat berharap Bang Indro yang asli menjadi pemain utama bukan hanya asal ada. Sekalipun menjadi Indro Masa Depan lagi juga tidak masalah. Saya rasa ini akan lebih menghidupkan kembali film Warkop DKI Reborn.
Komika. Komika Everywhere!
Banyak sekali komika yang dapat pemeran tambahan, misalnya (untuk tidak menyebut semua, dan maaf kalau salah sebut): Bintang Bete, Yudha Keling, Ari Kriting, Arif Didu, Ge Pamungkas, Mc Danny dan mungkin yang lainnya.
Meski hanya sekadar figuran di film ini saya merasa bahwa acara berbentuk stand-up comedy adalah acara ajang pencarian bakat tersukses. Bisa dilihat hampir semua komika selalu muncul di layar televisi. Ini tidak terjadi pada jenis ajang pencarian bakat yang lainnya.
Lebih Berani
Ada kode tersembunyi di balik pesan "Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang". Ini menunjukkan bahwa ada hal lain selain 'tertawa' yang dilarang/dikekang pada waktu itu, yaitu kebebasan berpendapat. Kalau kebebasan pendapat sudah tidak ada, kita hanya bisa tertawa. Dan kalau tertawa itu sudah dilarang juga, lalu kita bisa apa? Maka tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Itulah produk kontemplasi saya yang sok tahu.
Di masa sekarang orang lebih bebas mengutarakan pendapatnya dibandingkan zaman Order Baru. Karena itu film Warkop DKI Reborn juga tampil lebih berani mengangkat isu-isu sosial masyarakat terutama masyarakat urban. Pelanggaran lalu lintas, misalnya.
Diskursus berat semisal tentang hakim yang memberi vonis bebas terhadap pembakar hutan yang seharusnya bikin orang bosan karena terlalu serius, tapi di Warkop DKI Reborn malah bikin orang tertawa. Agus Kuncoro yang bagi saya tidak lucu-lucu amat, menjadi sangat laughable ketika berperan sebagai "hakim yang baperan" di film Warkop DKI Reborn.
Harapan saya isu-isu sosial ini lebih diangkat lagi di sekuel kedua. Tentu dengan tingkat kelucuan yang, minimal sama dengan sekuel pertamanya.
Sangat Tidak Puas!
Jika Anda bertanya apakah saya tertawa dan terhibur nonton Warkop DKI Reborn pasti jawabannya: iya, saya tertawa. Setiap menit pasti tertawa. Para penonton lainnya pun pasti setuju. Tapi kalau Anda tanya apakah saya puas nonton Warkop DKI Reborn dengan tegas saya jawab: Tidak puas! Ini bukan karena film Warkop DKI Reborn tidak bagus. Bagus banget kok! Menghibur!
Kalau ada yang bilang jalan ceritanya amburadul, saya sih mengiyakan. Tapi bukankah memang film-film Warkop ceritanya seperti itu? "Yang penting bisa ketawa" kata dalangnya OVJ.
Saya bukan penggila Warkop DKI tapi saya selalu terkenang kenangan masa kecil. Setiap kali nonton Film Dono pun tak pernah puas. Pokoknya pinginnya nonton Film Dono terus.
Sepertinya rasa ketidakpuasan orang-orang seperti saya ini sengaja dimanfaatkan Falcon Pictures untuk membuat film Warkop DKI Reborn tidak utuh. Produser seakan 'berjanji' untuk membuat kami puas di sekuel selanjutnya. Tapi benarkah kami benar-benar terpuaskan? Atau malah semakin tidak puas?
Kita lihat saja kelanjutannya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H