Mohon tunggu...
Yusuf Risanto
Yusuf Risanto Mohon Tunggu... -

penikmat buku-buku sastra, pengamat budaya populer, serta menyukai sejarah

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Piala Dunia, Jabulani, dan Vuvuzela

30 Juni 2010   01:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:12 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Piala Dunia 2010 untuk pertama kalinya diadakan di Benua Afrika, tepatnya di negara Afrika Selatan. Dipilihnya benua Afrika sebagai host penyelenggaraan event terbesar olah raga sepak bola tersebut bisa jadi adalah sebagai upaya FIFA untuk pemerataan. Selama ini Piala Dunia selalu identik dengan benua Eropa dan Amerika. Tahun 2002 Asia telah memperoleh “jatah” pemerataan tersebut lewat Korea Selatan dan Jepang sebagai tuan rumah bersama. Dan untuk Piala Dunia pertama di “Benua Hitam” ini negara Afrika Selata berkesempatan menjadi tuan rumahnya. Tentu tidak sulit untuk menebak kenapa Afrika Selatan yang dipilih untuk menjadi tuan rumah. Di sana tinggal sosok kharismatik yang dikagumi banyak orang di planet ini, seperti halnyasuporter sepak bola seantero dunia mengagumi sosok Messi ataupun Ronaldo. Sosok itu tidak lain adalah Nelson Mandela, seorang kulit hitam yang menjadi tokoh sentral pendobrak sistem Apharteid di Afrika Selatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sosok Nelson Mandela telah ikut berperan besar dalam menjadikan Afrika Selatan sebagai negara pertama yang menjadi tuan rumah di Afrika. Dia adalah ikon perubahan di benua Afrika, dan bahkan di dunia. Selain tentu saja kesiapan pemerintah setempat untuk menyelenggarakan even yang akbar ini.

Piala Dunia adalah momen pencapaian puncak prestasi sebuah negara ataupun bagi para pemain sepak bola. Sebuah negara tidak akan diakui kualitas sepak bolanya jika belum bisa mencapai final Piala Dunia yang diselenggarakan selama satu bulan tersebut. Akan banyak analisis yang menjadikan sebuah negara memiliki kualitas untuk lolos dalam even tersebut. Kompetisi dalam negeri, pembinaan pemain usia muda, hingga dukungan dari pemerintah. Sementara bagi pemain sepak bola even Piala Dunia adalah impian. Setiap pemain selalu mengharapkan dan mengimpikan bisa ikut serta dalam turnamen 4 tahun sekali tersebut. Keikutsertaan pemain dalam ajang Piala Dunia adalah indikator sebuah kualitas. Setidaknya pemain tersebut adalah bagian dari 23 orang terbaikdiantara ribuan atau bahkan jutaan pemain sepak bola di negaranya. Tidak hanya itu, lewat Piala Dunia para pemain bisa berharap menaikkan harga transfernya ataupun punya kesempatan dilirik oleh klub-klub tenar, utamanya klub-klub Eropa.

Konsekuensi diselenggarakannya Piala Dunia di Afrika Selatan maka pernak-pernik Piala Dunia tentunya harus berbau yang terkait dengan Afrika Selatan ataupun Afrika. Logo, maskot hingga lagu Piala Dunia semuanya mengandung unsur hal-hal yang terkait dengan Afrika Selatan. Namun dari sekian pernak-pernik Piala Dunia yang terkait langsung dengan para pemain adalah bola. Tidak mau kalah dengan pernak-pernik yang lain bola pun juga memiliki keterkaitan dengan Afrika Selatan. Keterkaitan tersebut merujuk pada nama yang dimiliki oleh bola resmi yang dipakai pada Piala Dunia 2010 ini, yakni Jabulani. Nama Jabulani mengambil dari bahasa di Afrika Selatan yang artinya membawa kebahagiaan. Pemberian nama pada bola merupakan tradisi yang telah lama dilakukan oleh pihak pembuat bola, yakni Adidas, sejak Piala Dunia tahun 1970 di Meksiko.

Namun rupanya arti nama Jabulani ini tidak sebanding dengan kinerjanya di lapangan hijau. Banyak pemain yang mengeluhkan liarnya arah gerak bola ini. Robert Green, penjaga gawang kesebelasan Inggris, menjadi korban pertama liarnya Jabulani di ajang Piala Dunia 2010. Tendangan lirih dari pemain USA yang semestinya dengan sangat mudah dia kuasai malah tiba-tiba terlepas dari dekapannya dan “tanpa merasa berdosa” masuk ke gawang Inggris. Poin tiga yang sudah didepan mata akan dapat diraih oleh Inggris lepas begitu saja akibat dari keliaran bola ini. Terlihat jelas raut penyesalan dari Green. Tapi nasi sudah menjadi bubur dan sudah bisa ditebak pada laga berikutnya Fabio Capello, sang arsitek, mempercayakan posisi kiper tidak lagi ke dia tapi berpindah ke David James. Benar-benar bola yang tidak membahagiakan bagi Robert Green. Jabulani benar-benar menjadi momok bagi beberapa kiper yang berlaga di Piala Dunia kali ini. Bahkan sampai-sampai Jabulani dijadikan alibi bagi para pemain atau bahkan pelatih atas ketidakmampuan tim mereka meraih kemenangan.

Selain bola Jabulani yang dijadikan alasan atas jeleknya permainan dan ketidakmampuan meraih kemenangan ada satu lagi benda yang juga menjadi keluhan para pemain. Benda itu sebenarnya tidak terkait langsung dengan jalannya pertandingan di lapangan. Namun bagi pemain keberadaan benda ini sangat mengganggu mereka dalam melakukan koordinasi. Benda itu adalah alat tiup yang menjadi alat musik khas bagi rakyat Afrika Selatan, namanya Vuvuzela. Vuvuzela merupakan alat musik yang fungsinya sebenarnya sama halnya fungsi kentongan di desa-desa di Indonesia, yaitu sebagai alat untuk mengumumkan rapat desa. Suara yang dihasilkan oleh Vuvuzela ini mirip dengan suara sekawanan gajah yang mendengung-dengung serta melengking. Dengungan dan lengkingan itulah yang kemudian menjadikan para pemain kesulitan melakukan koordinasi akibat teriakan mereka tidak terdengar tertelah oleh suara Vuvuzela. Para suporter sendiri seakan menikmati alat musik ini dan tidak peduli dengan keluhan para pemain meski dari negara mereka sendiri.

Itulah hiruk-pikuk Piala Dunia dengan pernak-perniknya yang selalu mewarnai dalam setiap momen empat tahunan tersebut. Jabulani dan Vuvuzela akan menjadi penandan dan pengingat sebuah sejarah telah berlangsungnya Piala Dunia untuk pertama kalinya di Benua Afrika. Para pemain akan mengingat liarnya si Jabulani sementara suporter akan mengenang uniknya Vuvuzela. Benda-benda ini kemudian juga akan menjadi ikon sekaligus simbol keunikan budaya sebuah masyarakat yang selalu melekat dalam even-even Piala Dunia. Globalitas, lokalitas, modernitas, maupun ketradisionalan melebur dalam sebuah momen Piala Dunia yang kemudian menciptakan karakteritas momen itu sendiri. This Time for Africa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun