Sebenarnya kalau kita mau Fairplay  kata "dikuasai" secara harfiah tentu saja tidak sama dengan "dimiliki". Pemilik adalah tetap rakyat INA yang menguasai tanah tersebut secara turun-temurun. Jelas bahwa negara tidak berpihak kepada rakyat, tetapi kepada para kapitalis multinasional dan sekelumit,sekelompok,kelompok tertentu yang saat ini menguasai bagian terbesar dari tanah rakyat itu. Situasi Kondisi saat ini , yang namanya tanah rakyat, tanah adat atau kita kenal dengan sebutan Tanah Ulayat. Tanah ulayat ialah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat.
Sekali tanah ulayat menjadi tanah negara, kendati sudah habis masa pakai ataupun tak lagi dipakai, tak juga bisa dikembalikan ke pemiliknya : Masyarakat Umum,Publik, Rakyat. Hal itu hanya karena penafsiran Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang sangat negara-sentris, harfiah, bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".Â
Kata "dikuasai" secara harfiah tentu saja tidak sama dengan "dimiliki". Pemiliknya tetap adalah rakyat. Â Demikian juga penanganan BUMN yang menjalankan fungsi PSO, menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33 seharusnya ditangani oleh Koperasi, dan pembenahan koperasi tersebutlah yang seharusnya dilaksanakan oleh Negara (Siapapun Pemerintah Terpilih) bukan hanya mencari "Pundi-pundi uang Material" sesaat dan mengorbankan rakyat serta Kepentingan Kedaulatan Negara dan Bangsa Republik Indonesia.
Mau apa Tidak. Bukan Bisa Atau Tidak.Â
Yusuf Senopati Riyanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H