Mohon tunggu...
Yusuf Senopati Riyanto
Yusuf Senopati Riyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Shut up and dance with me
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saat ini sebagai buruh di perusahaan milik Negara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PT PLN (Persero) Menjadi Korban dari Oligarki Politik? Oligarki Ekonomi?

26 Agustus 2022   08:00 Diperbarui: 26 Agustus 2022   08:04 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan menggunakan permainan-permainan konyol,diksi-diksi sontoloyo, narasi-narasi ngawur dan isi sama, tetapi tetap ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Maka artinya ; bahwa telah dilakukan Privatisasi Listrik oleh Pemerintah saat ini. Apakah demikian?.

Baiklah , untuk kesekian kalinya tulisan mengenai PT PLN(persero) ini digulirkan, untuk apa?, untuk membuka wawasan kita,dan mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi. mari kita lihat perjalanannya terlebih dahulu:

Lebih dari Satu Tahun lamanya, proyek pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) di gaung-gaungkan sebagai tajuk "head line" pemberitaan Sektor Ketenagalistrikan, sekaligus seolah-olah sebagai primadona, yang seakan-akan paling urgent, karena apa? , tentu saja karena menyangkut perihal lingkungan hidup. Bahwa itu merupakan issue penting karena sudah menjadi "Protokol Paris" yang harus di laksanakan secara internasional memang benar. Apalagi mengingat pembangkit Energi Baru Terbarukan di Indonesia (PLTA, PLTP, PLTGU) masih relatif kecil , masih dibawah 5.000 MW, apalagi apabila dibandingkan daya terpasang, total dikisaran 61.000 MW ( saat ini INA mayoritas masih PLTU ).

Yang kita akan lihat bukanlah dari sisi "Protokol Paris ataupun dari sisi lingkungan hidup maupun issue Internasional. Kita akan lihat PT PLN(persero) sebagai kepentingan umum Nasional dan kepentingan orang banyak, merupakan penghasil energi primer. Namun, dari sisi ekonomi, ada faktor penting yang mengancam biaya operasional ketenagalistrikan nasional Indonesia, mengingat saat ini 85% System ketenagalistrikan assetnya sudah tidak dikuasai oleh PT PLN(persero). PLN saat ini hanya sebagai pelayan alias Event Organizer. Kenapa ?, karena hampir tidak ada lagi asset yang dimiliki oleh PT PLN(persero)., Kecuali hanya jaringan transmisi dan distribusi (itu pun mulai tahun 2020 sudah di sewa rugi oleh pihak Listrik swasta).

Kembali ke Tahun 2004

 Pada tahun 2004 soal ketenagalistrikan nasional masuk dalam Sidang Mahkamah Konstitusi, dan telah dibahas bahwa; apabila aset-aset PT PLN(persero) sudah dikuasai swasta secara menyeluruh maupun lebih dari 50%, maka PLN dalam hal ini Pemerintah tidak dapat  mengendalikan lagi biaya operasi kelistrikan. Dan secara tiba-tiba,namun pasti karena regulasinya dalam proses pembuatan oleh Kementerian terkait akan menagih ongkos kelistrikan tahun terkait ke Pemerintah lewat PT PLN(persero). Semua ini terjadi karena karakter "Execlusive Right" yang pada awalnya dimiliki PLN kemudian berpindah ke swasta. Kenapa demikian?, karena alasan kerugian yang dialami oleh PT PLN(persero), apakah demikian?, berarti dua tahun terakhir bahwa PT PLN(persero) dinyatakan untung adalah "semu" demi pemasaran guna kelancaran privatisasi?, "windows dressing" semata?. Dan kemudian "pihak" listrik swasta akan memberlakukan kelistrikan dengan berbagai cara yang tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional INA. Bagaimana pihak swasta yang "mengambil" alih pembangkit listrik di INA tersebut melakukan pelanggaran konstitusional ?., Yaitu dengan menerapkan biaya operasi serendah mungkin dan mengambil keuntungan sebanyak mungkin.

Execlusive Right 

Oleh karena monopoli PLN sudah berpindah ke tangan pihak swasta, maka permainan harga listrik tidak memiliki lagi pengendalian Pemerintah melalui PT PLN(persero) dan tentu saja  akan terjadi Tarif Listrik yang mungkin saja melebihi biaya per/kapita per/ daerah untuk mendapatkan keuntungan setinggi mungkin tanpa melihat lagi kepentingan masyarakat,rakyat INA.

Subsidi Listrik Butuh. Tetapi Dijadikan kambing Hitam ?

Hal tersebut diatas diantaranya yang menyebabkan subsidi listrik setiap tahun makin membengkak. Ini dapat dilihat bahwa sebelum tahun 2010 subsidi hanya berkisar pada angka Rp 50 triliun, tetapi begitu ritail dijual ke pihak swasta , maka subsidi listrik membengkak menjadi diatas Rp 100 triliun . Kemudian pada laporan keuangan PLN tahun 2020 di beritakan oleh pejabat Kemenkeu ( Repelita Online 8 Nopember 2020) bahwa PT PLN(persero) untuk tahun 2020, PT PLN(persero) memerlukan subsidi sebesar hingga Rp 200,8 triliun , meskipun PLN melaporkan pada laporan keuangan 2020 untung Rp 5,95 triliun. 

Kemudian, pada tahun 2021 Menteri keuangan mengumumkan subsidi energi mencapai Rp 350 triliun ( ada perbedaan,di beberapa media memuat subsidi listrik Rp 200,9 triliun), meskipun PT PLN(persero) mengatakan untung Rp 13,7 triliun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun