Menurut World Health Organization (WHO), 100.000/tahun anak Indonesia meninggal karena diare, dan terdapat 120 juta kejadian penyakit setiap tahunnya karena air dan layanan sanitasi yang buruk.
Kekeringan ini juga menyebabkan naiknya angka kejadian "stunting". Pada Oktober 2016, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang P.S. Brodjonegoro juga menyampaikan bahwa: "Sepertiga anak balita Indonesia mengalami stunting, atau gangguan pertumbuhan waktu masa kecilnya, tidak hanya karena gizi buruk, tetapi juga karena buruknya sanitasi dan minimnya ketersediaan air bersih". Kondisi ini cukup beresiko terutama jika dikaitkan dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia.
Statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta balita stunting adalah balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan anak kekurangan asupan gizi dalam dua tahun usianya, ibunya kekurangan nutrisi saat kehamilan, keterbatan ketersediaan air minum, layanan sanitasi yang buruk, dan menjaga kebersihan tempat tinggal dan lingkungan.
Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%, sementara target yang ingin dicapai adalah 14% pada Tahun 2024. Untuk itu, diperlukan upaya bersama untuk mencapai target yang telah ditetapkan, salah satunya dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga.
Itulah beberapa dampak buruk yang akan diakibatkan oleh kerusakan sebuah DAS. Makin tahun dampak tersebut akan makin parah dan meningkat daya rusaknya apabila tidak ada kesadaran dan upaya pemulihan DAS oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H