Mohon tunggu...
Yusuf 1005045
Yusuf 1005045 Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Murid

Saya murid dari SMAK 5 Penabur yang minat ekonomi, geografi, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Berhubungan dengan Negeri Beruang Merah

18 September 2024   11:37 Diperbarui: 18 September 2024   11:56 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2020, Indonesia mengikuti acara dengan Rusia untuk merayakan 70 tahun hubungan antara kedua negara tersebut. Dihitung sejak tahun 1950, Indonesia dan Uni Soviet (sekarang Rusia) memiliki hubungan yang naik-turun. Seringkali dianggap bahwa Uni Soviet tidak dekat dengan Indonesia, tetapi pada kenyataannya, Uni Soviet telah mendukung Indonesia sejak dulu.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, Uni Soviet menyambut baik perjuangan Indonesia, mengingat Soviet sendiri lahir dari revolusi melawan pemerintahan monarki. Pada 21 Januari 1946, Dmitry Manuilsky mengkritik agresi militer Belanda dan menyerukan penghentian kekerasan dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB. Tindakan ini disambut baik oleh Indonesia, dan Soekarno segera menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. 

Namun, pada 1947, ketika Perang Dingin mulai mengemuka, Indonesia memilih untuk tetap netral meski tetap menjalin hubungan dengan kedua Blok. Untuk memperjuangkan kemerdekaan di Eropa Timur, Indonesia mengutus Suripno untuk mengelola hubungan dengan Uni Soviet secara tertutup agar menjaga hubungan dengan Amerika Serikat. Pada Mei 1948, Indonesia dan Uni Soviet sepakat menjalin hubungan konsuler, yang kemudian diumumkan ke publik dan menimbulkan polarisasi di masyarakat. Polarisasi ini diselesaikan setelah Agus Salim menyatakan bahwa Indonesia netral. 

Pada 28 Desember 1949, setelah Konferensi Meja Bundar, Menteri Luar Negeri Soviet, Andrei Vyshinsky, mengakui kemerdekaan Indonesia secara lisan dan resmi. Pengakuan tertulis diberikan pada 25 Januari 1950.

Pada 16 Mei 1950, Indonesia dan Uni Soviet sepakat membuka kedutaan besar di ibu kota masing-masing, memulai hubungan bilateral yang berkembang pesat dalam politik, ekonomi, sosial budaya, dan kemanusiaan. Selama 1950-an, proyek Soviet seperti RSUP Persahabatan, Stadion Gelora Bung Karno, dan Hotel Indonesia dibangun, serta bantuan finansial Soviet digunakan untuk membangun Monas. Kerjasama ini diperkuat dengan berbagai kesepakatan, termasuk kontrak peralatan militer pada 1960 yang membantu Indonesia mempertahankan Irian Barat dari Belanda.

Namun, setelah peristiwa G30S dan Soeharto mengambil alih kekuasaan melalui Supersemar, hubungan Indonesia dengan Uni Soviet memburuk. Soeharto membubarkan PKI dan, saat menjadi presiden pada 1967, ia berkomitmen untuk mempererat hubungan dengan Barat. Sikap anti-komunis Orde Baru juga dipicu oleh fakta bahwa Uni Soviet melindungi wakil-wakil PKI di Moskow dan mengancam pemerintahan Orde Baru agar tidak membubarkan PKI.

Pada 1973, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Uni Soviet kembali dimulai setelah Duta Besar Surjono Darusman menilai bahwa perbedaan ideologi tidak menghalangi hubungan antarnegara. Hubungan membaik sepanjang 70-an meskipun terdapat perbedaan pandangan terkait isu seperti Timor Timur. Namun, pada 1982, hubungan memburuk ketika beberapa diplomat Soviet dituduh melakukan kegiatan mata-mata di Indonesia, diperburuk oleh siaran radio Soviet yang menyampaikan ucapan selamat dari komite sentral PKI di Moskow. Pemerintah Indonesia merespons dengan menutup kantor penerbangan Soviet dan memulangkan diplomat Soviet. Meski demikian, pada 1989, kerja sama baru mulai terjalin melalui kunjungan timbal balik.

Pada 1991, Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, dan Indonesia mengakui Rusia sebagai penerus hubungan diplomatinya. Hubungan kedua negara juga mulai menjadi semakin erat, didukung oleh kesepakatan antara Presiden Soeharto dan Mikhail Gorbachev dulu, yang menjadi fondasi kerjasama di berbagai bidang.

Tetapi, pada akhir abad ke-20, Indonesia dan Rusia menghadapi krisis ekonomi dan politik. Di Indonesia, Orde Baru berakhir dan era Reformasi dimulai, sementara di Rusia, Presiden Boris Yeltsin diturunkan dan Perang Chechnya II mulai, menghambat upaya untuk menandatangani kesepakatan baru.

Memasuki abad ke-21, hubungan Indonesia dan Rusia meningkat signifikan akibat krisis akhir 1990-an. Kedua negara saling mendukung di forum internasional dan PBB, dengan berbagai persetujuan penting ditandatangani. Pada 2003, Megawati menyepakati kerja sama dalam bidang antariksa dan teknik militer. Dilanjutkan pada 2006, SBY memperkuat kerja sama nuklir, bebas visa, dan kemitraan dirgantara. Pertemuan bersejarah pada 2007 menghasilkan persetujuan dalam bidang pendidikan, kebudayaan, olahraga, investasi, perbankan, dan pariwisata, serta pemberian dana sekitar 1 miliar USD oleh Rusia untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan bagi Indonesia.

Era baru hubungan ini ditandai dengan perluasan sektor kerja sama, termasuk militer, legislatif, yudikatif, sektor usaha, masyarakat, media, dan tokoh agama, mencakup seluruh elemen masyarakat. Dalam bidang ekonomi, Rusia menjadi pasar besar bagi Indonesia, dengan perdagangan yang semakin kuat, termasuk impor gandum, teknologi, dan alat militer dari Rusia. Di bidang militer, Rusia mengekspor peralatan militer ke Indonesia dan mengadakan pelatihan bersama, sementara dalam legislatif dan yudikatif, kedua negara membentuk Grup Kerja Sama Bilateral dan menyepakati perjanjian ekstradisi untuk menangani kejahatan lintas negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun