[caption id="attachment_368729" align="aligncenter" width="500" caption="heidi-facetomorrowtoday.blogspot.com"][/caption]
RANDOM (Adj.) Indiscriminate, sporadic, casual, unsystematic, disorganized, unplanned, change, accidental.
10.05
Sporadic
Aku berusaha menemukan maksudmu di sana. Oxford Mini Dictionary & Thesaurus di atas meja segera kubuka. Sebelumnya, kamu mengirimkan pesan itu kepadaku yang samar-samar kubaca saat mengendarai mobil dalam perjalanan ke kafe ini.
“Aku terlalu “random” untuk menjelaskannya. Pusing. Gelap.”
Setelah itu kamu tak meneruskan lagi pembicaraan kita yang sudah dimulai sejak pagi. Seolah kamu menghilang begitu saja. Aku masih menunggu tanda-tanda di screen smartphoneku, kalau-kalau kamu muncul lagi dengan kata-kata yang lain seperti biasanya.
Kosong. Hampa. Sepi
Lalu aku bermain-main dengan perasaanku sendiri. Campur aduk dan larut begitu saja seperti aku melarutkan brown sugar ke dalam Coffee Americano ini. Kamu kenapa? Baik-baik sajakah? Adakah aku bisa memberimu ketenangan saat ini? Dapatkah aku...? Lalu akhirnya aku ditampar sendiri dengan kenyataan yang ada. Aku bukan siapa-siapanya kamu. Bahkan aku pernah bilang kalau aku bukan seseorang yang harus kamu prioritaskan. Tetapi kenapa aku masih menuntut untuk kamu memberi waktu untukku? Barangkali aku terlalu egois.
Selanjutnya aku berusaha untuk tidak mengingatkanmu (untuk sejenak) meski ini hanya pura-pura saja. Membaca novel demi novel mungkin cara terbaik untuk mengalihkan duniaku tentangmu. Kupandangi Marina Keegan yang menjadikan potret dirinya sendiri menjadi cover novelnya, “The Opposite of Loneliness.” Dan kebodohan itu datang lagi. Sesaat senyuman Marina berubah menjadi senyumanmu dalam anganku.
Sayup-sayup terdengar lirik lagu Daughtry, “What about now” menyapu seisi kafe ini.
What about now?
What about today?
What if you’re making me all that i was meant to be?
What if our love never went away?
What if it’s lost behind words we could never find?
Baby, before it’s too late, what about now?
Hei, bukankah ini lagu kesukaanmu? Gumamku dalam hati. Ya ampun, sekarang kamu ada di mana-mana. Loh? Kenapa justru sekarang aku yang merasa “random” tentang kamu. Ah, persetan dengan semuanya ini. Aku benar-benar merindukanmu saat ini. Sejenak jempolku mulai bergerak kesana-kemari di atas touch screen smart phone-ku.
“Aku berharap untuk bertemu denganmu walau sesaat saja. Sore nanti. Jika harapanku ini kamu anggap wajar, jangan bikin aku mati dengan perasaanku sendiri.”
Kalimat itu pergi begitu saja bersama angin dan rintik hujan, mengarungi gedung-gedung pencakar langit di belantara ibu kota ini.
Entah kamu membacanya. Entah kamu menanggapinya. Entah kamu tak menganggapnya. Aku hanya bisa berharap yang sewajarnya.
-------------
19.17
Unplanned
“Aku tak setuju dengan postinganmu .” Katamu saat aku baru saja meletakkan tas kerjaku di samping kursi.
“Postingan yang mana?” tanyaku.
“Siang tadi, di akun Path-mu.”
“Postinganku banyak, tiap menit sepertinya ada deh. Maksud kamu yang mana?”
“Yang ini!” Kamu kemudian menunjukkan layar smartphone-mu padaku.
“Adakah batu karang menyalahkan ombak yang mengikisnya tiap hari ataukah daun menyalahkan angin yang meniupnya hingga jatuh?”
Sejenak aku menatap wajahmu. Seperti ada keraguan dan tanya terbesit di benakmu. Inikah yang kamu katakan random itu? Tolong jelaskan.
“Menurutmu?” Tanyaku sambil mencoba mengalihkan perhatianku pada wajah Marina Keegan di atas meja. Ah, kali ini wajah Marina tidak berubah seperti pagi tadi.
“Memangnya kamu tahu batu karang sama daun hanya menerima nasibnya begitu saja? Ya engga donk. Pasti dia protes.” Kamu mengeryitkan alismu. Sepertinya ini serius untuk dibahas.
“Kamu terlalu memakai logikamu. Batu karang dan daun tidak pernah merencanakan untuk itu. Bahasa lainnya ini takdir. Yaa, aku percaya setiap orang punya takdirnya sendiri-sendiri. Tapi aku ngga punya hak untuk menyalahkan logika berpikirmu itu.” Aku berusaha memberikan argumentasi. Aku tahu kamu perempuan cerdas yang segala sesuatu terjadi di sekitarmu tidak serta –merta kamu terima begitu saja. Segala sesuatu menurutmu ada sebab-akibatnya. Tidak bisa berdiri begitu saja. Tapi sejujurnya, ini yang membuatku tertarik akanmu. Kamu cerdas. Kamu perempuan dengan sejuta alasan untuk dicintai. Hanya laki-laki bodoh yang melepaskanmu begitu saja.
“Jadi kamu percaya takdir?” Kamu seolah belum berhenti akan rasa penasaranmu dengan menghujamku berulang kali dengan pertanyaanmu. Aku tahu, kamu akan berhenti saat kamu merasa itu sudah cukup.
“Yaa, aku percaya. Karena takdir bagiku itu sesuatu yang ngga pernah kita rencanakan. Ngga pernah kita pikirkan. Terjadi begitu saja.” Aku meladeni pertanyaanmu. Tapi aku tidak memakai logika sepertimu.
“Misalnya?” Untuk kesekian kalinya kamu melepas tanya. Kamu seperti belum puas.
“Seperti kita berdua sekarang ini.”
Kata-kataku barusan laksana matahari yang menamparmu saat pagi. Sekejap raut wajahmu berubah. Dari musim semi ke musim gugur.
“Yaa, seperti keadaan kita sekarang. Adakah aku merencanakan dari jauh-jauh hari untuk suatu saat bertemu denganmu? Tidak! Bagiku ini takdir, kita dipertemukan walau dalam situasi dan kisah yang salah.”
Diam. Hening. Sepi.
----------
23.11
Change
Malam tidak seperti malam-malam sebelumnya. Hujan menari-nari di luar seperti orang kerasukan. Merebas apa saja. Dan aku masih melihat daun mangga yang menyapu kaca jendela ini. Di kamar ini. Bagai orkes rusak suaranya. Terlalu pilu untuk didengarkan.
Aku membuka lagi buku catatan usangku. Menulis lagi kisah kita untuk hari ini. Dan aku mulai menggores cerita tentangmu. Untuk hari ini, ya untuk hari ini saja. Biarkanlah esok dengan keindahan dan kesusahannya sendiri. Aku tidak peduli. Karena aku hanya mencintaimu untuk hari ini saja.
Dan aku mulai menggoreskan huruf demi huruf, kata demi kata. Untukmu Daniela.
Kamu tahu Dani, ada banyak hal yang bisa diubah di dunia ini, tapi hanya satu yang tak bisa diubah yaitu waktu. Bahkan Tuhan sekalipun tak bisa mengubah masa lalu seseorang.
Tapi kamu tahu Dani, ada satu hal juga yang tak bisa diubah, yaitu cintaku padamu meski aku tahu kenyataannya berat untuk aku hadapi karena waktu telah mengubah segalanya.
Bahkan jika kamu mengubah caramu atasku, entah benci atau kecewa sekalipun, aku tak pernah mengubah rasa cintaku padamu meski aku sadar memilikimu adalah harapan yang tak pernah akan bisa diwujudkan.
Kamu tahu Dani, aku hanya mau katakan terima kasih karena telah menginjinkanku mencintaimu dalam sunyi. Mencintaimu dalam sepi.
Kamu tahu Dani, sunyi itu kamu. Sepi itu kamu. Di sini, aku menemukanmu. Tapi begitulah, seperti katamu, hidup memang sedemikian “random”nya. Tiada yang bisa menebak, esok jadi apa.
(Jakarta, Goed koop, Hujan bulan Februari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H