Di sepanjang Taman Tua berbaris pohon-pohon 'ambas'. Sudah kulihat barisan pohon yang sama itu di masaku. Tak ada doktrin perlawanan yang dapat menerangkan kalau mereka berada di urutan terdepan.
Di antara jejeran pohon-pohon itu, berkelompok anak-anak duduk melingkar pada tiap potongan kayu, depan bus rongsokan.
Mereka terbiasa menciptakan rencana di situ. Itulah yang dilakukan sebagian orang di kampusku ketika menjelaskan kondisi sosial di sekitar mereka.
Aku dapat terus menulis keadaan semacam ini. Dan aku hanya memilih yang lebih mudah dipahami. Melewatkan kasus-kasus lain yang lebih rumit.
Di taman, kita dapat menebak-nebak orang-orang yang terlambat menyadari, kagum melihat orang-orang bercakap-cakap dengan buku, juga orang-orang yang hampir saja memaksa diri mereka meninggalkan buku dan memilih berbicara lebih banyak.
Sesungguhnya, saya memungut nama-nama filsuf dan penulis dari taman dekat gerbang kampusku itu. Saya sadar, dialektika yang terjadi di taman itu adalah sebuah pengaplikasian dari meditasi manusia-manusia kampus.
Aku barangkali terpengaruh oleh gambaran anak-anak. Ketika mendengar ungkapan-ungkapan mereka yang keluar tanpa ragu-ragu itu.
Aku membaca halaman kecil itu terus-menerus, meski seolah-olah ada yang tidak tertarik untuk mengetahui lebih banyak. Tetapi setelah beberapa kali
aku menjumpai taman, kertas buku tulisku selalu penuh. Dari berbagai lakon yang terlewatkan.
IAIN, 29 Januari 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H