Pemuda pesakitan ini diminta jongkok oleh petugas di tengah sungai yang tingginya selutut orang dewasa. Arus tidak begitu deras tapi aku bisa membayangkan betapa dinginnya berada disana. Belum lagi rasa malu ditonton banyak orang dengan kondisi nyaris bugil. Belum cukup sampai disitu, “siksaan” berikutnya sudah menunggu. Sejurus pemuda ini masuk ke tengah sungai, beberapa orang dari kerumunan penonton melempari si pesakitan dengan batu. Bak buk bak buk. Darah mengucur dari pelipis si pemuda yang tampaknya sia-sia saja menghalau lemparan batu dari kerumunan. Bukannya kasihan orang-orang ini mulai mengumpat dan menghadiahi pemuda ini dengan sumpah serapah bertubi-tubi. Ini pertama kalinya aku melihat modal penghukuman seperti ini. Dan ini cukup membuatku merinding sampai keesokan harinya.
Agaknya nyawa si pemuda terselamatkan karena massa tampak segan untuk merajam pemuda ini sampai mati di depan petugas koramil. Si pemuda pasrah menjadi tontonan. Rasa sakit akibat lemparan batu agaknya tidak seberapa dibanding rasa malu ditonton banyak orang di kecamatan kecil yang orang-orangnya saling mengenal satu sama lain. Aku tidak tahu berapa lama si pemuda “dikeeum” di sungai. Lonceng sekolah berbunyi tak lama setelah petugas koramil menghardik mereka yang melempari si pemuda dengan batu. Menjelang siang, saat berjalan pulang dari sekolah kulihat pemuda itu sedang berdiri dalam sikap hormat di depan kantor koramil. Masih dengan sempak lusuh dan badan kurus kering terjemur matahari yang panas menyengat. Belakangan aku mendengar si pemuda kepergok mencuri barang di rumah tetangganya. Warga melapor ke koramil, dan dijatuhkanlah “hukuman sosial” a la koramil. Entah apakah si pemuda mendapatkan haknya untuk diproses secara hukum di kantor polisi setelah “diproses” di kantor Koramil. Yang jelas ini bukan untuk terakhir kalinya aku melihat warga berkerumun untuk melihat orang “dikeeum”.
Ini adalah masa dimana harga-harga belum mencekik leher. Masa dimana warga merasakan keamanan karena “diskresi” serdadu yang menjalankan dwi fungsi ke hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Termasuk diantaranya menjadi polisi, jaksa dan hakim sekaligus untuk mengatasi masalah kriminal (kecil) seperti yang (diduga) dilakukan si pemuda malang tadi. Boleh sepakat boleh tidak. Tapi di masa itu rasa aman terasa nyata. Senyata represi pada mereka yang bersuara berbeda dari narasi negara, yang diperlakukan macam pariah layaknya si pemuda malang dari Cikalongkulon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H