Mohon tunggu...
Yustisia Kristiana
Yustisia Kristiana Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Mendokumentasikan catatan perjalanan dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Lipstick Effect, Mengapa Wisata Tetap Ramai di Tengah Penurunan Daya Beli?

29 Januari 2025   11:11 Diperbarui: 29 Januari 2025   15:34 13896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencicipi kuliner lokal saat berwisata (foto: dokumentasi pribadi)

Ekonomi sedang lesu, daya beli masyarakat menurun, namun tempat wisata tetap penuh sesak. Fenomena ini menarik perhatian Prof. Rhenald Kasali yang menyebutnya sebagai contoh nyata dari lipstick effect. Lalu, apa sebenarnya lipstick effect dan bagaimana kaitannya dengan tren berwisata di masa kini? Mari kita telaah lebih lanjut.

Memahami Lipstick Effect

Konsep lipstick effect pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Lauder, Chairman Estee Lauder, yang mengamati peningkatan penjualan lipstik di Amerika Serikat setelah tragedi 11 September 2001. Meski ekonomi mengalami krisis, masyarakat tetap membeli produk kecil yang mampu memberikan rasa nyaman dan kepuasan.

Fenomena ini juga terjadi saat pandemi Covid-19, di mana penjualan kosmetik, termasuk lipstik, melonjak tajam. Di tengah ketidakpastian ekonomi, orang mencari cara sederhana untuk meraih kebahagiaan, meskipun dengan pengeluaran yang lebih kecil dan terjangkau.

Secara psikologis, lipstick effect menggambarkan kecenderungan manusia untuk tetap membelanjakan uang pada hal-hal yang memberi kepuasan emosional, kendatipun dalam kondisi keuangan yang sulit. Ini merupakan respons alami dalam menghadapi tekanan dan ketidakpastian.

Lipstick Effect dan Tren Berwisata

Jika lipstick effect berkaitan dengan membeli produk kecil sebagai bentuk kepuasan, apakah konsep ini juga berlaku dalam dunia pariwisata? Jawabannya: ya.

Libur panjang atau long weekend yang berdekatan dengan hari libur nasional, seperti Isra Miraj dan Imlek 2025, mendorong lonjakan perjalanan domestik. Destinasi wisata yang dekat, seperti Bogor, Bandung, Semarang, Solo, hingga Yogyakarta menjadi pilihan favorit bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya.

Tak heran jika kemacetan parah terjadi di berbagai titik, menandakan tingginya mobilitas masyarakat. Dalam kondisi ekonomi yang menantang, liburan singkat ke lokasi terjangkau dianggap sebagai ‘kemewahan’ baru. Kemewahan di sini bukan dalam arti materi, melainkan kesempatan untuk melepaskan diri sejenak dari tekanan hidup dan memperoleh ketenangan.

Implikasi Lipstick Effect dalam Pariwisata

Berikut beberapa hal yang dapat kita pelajari terkait lipstick effect dalam dunia pariwisata:

Kemewahan yang terjangkau

Saat kondisi keuangan terbatas, masyarakat cenderung memilih pengalaman wisata yang singkat dan terjangkau namun tetap menyenangkan. Mengunjungi destinasi lokal, berburu kuliner khas, atau mencoba rumah makan baru menjadi pilihan utama.

Mencicipi kuliner lokal saat berwisata (foto: dokumentasi pribadi)
Mencicipi kuliner lokal saat berwisata (foto: dokumentasi pribadi)
Faktor psikologis

Lipstick effect menunjukkan adanya kebutuhan psikologis untuk merasa lebih baik, bahkan ketika kondisi ekonomi sulit. Wisata menjadi salah satu cara masyarakat untuk ‘melarikan diri’ sejenak dari tekanan kehidupan sehari-hari.

Peluang bagi industri pariwisata

Tren perjalanan singkat ini membuka peluang besar bagi pelaku industri pariwisata. Destinasi wisata dapat beradaptasi dengan menawarkan produk wisata yang lebih fleksibel, seperti paket staycation, peningkatan kualitas daya tarik wisata dengan harga tiket masuk yang terjangkau seperti museum, hingga pengembangan pasar tradisional sebagai daya tarik wisata berbasis kearifan lokal.

Mengunjungi pasar tradisional saat berwisata (foto: dokumentasi pribadi)
Mengunjungi pasar tradisional saat berwisata (foto: dokumentasi pribadi)

Penutup

Fenomena lipstick effect membuktikan bahwa dalam kondisi ekonomi sulit sekalipun, masyarakat tetap mencari cara untuk menikmati hidup.

Wisata menjadi salah satu bentuk eskapisme yang dapat memberikan kebahagiaan dengan cara yang lebih terjangkau.

Bagi industri pariwisata, memahami tren ini adalah kunci untuk terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan perilaku wisatawan.

Jadi, meskipun dompet sedang ketat, menikmati liburan yang terjangkau tetap bisa menjadi pilihan, bukan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun