Selat Solo yang merupakan kuliner kebanggaan dari Kota Surakarta konon adalah warisan sejak era kolonial Belanda.Â
Saat mendengar kata selat sempat terpikir bahwa itu serupa dengan salad yaitu makanan yang terdiri dari campuran sayur-sayuran dan bahan-bahan makanan yang dinikmati dengan dressing (sauce). Nah, ternyata selat Solo lebih kepada perpaduan antara bistik dan salad.
Selat Solo dapat dikatakan sebagai menu ‘kompromi’ yang lahir dari modifikasi selera sekaligus akulturasi kebudayaan tradisional Indonesia dan Eropa.
Selat diambil dari bahasa Belanda yaitu ‘slachtje’ yang artinya salad. Selain itu kata ‘slachtje’ berarti hasil penyembelihan daging yang dibuat dalam bentuk kecil. Masyarakat pada masa itu sulit untuk menyebutnya sehingga kata yang terucap adalah ‘selat’. Â
Jika berkunjung ke kota Solo rasanya ada yang kurang bila belum mencicipi selat Solo, hidangan yang awalnya dulu menjadi konsumsi elit kaum ningrat dari Kasunanan Surakarta.
Selat Solo yang banyak dikenal berisi daging olahan yang dimasak dengan kuah dan dimakan bersama dengan rebusan wortel, buncis, timun, tomat, daun selada, telur, dan kentang goreng. Saus mustard diberikan untuk menambah cita rasa.Â
Terdapat rumah makan yang menyajikan variasi isian selat Solo. Nama rumah makannya adalah Selat Solo Tenda Biru dan Gudeg Ceker Pak Bejo.
Sesuai dengan namanya, rumah makan ini didominasi dengan nuansa warna biru. Rumah makan ini memiliki dua outlet.
Salah satu outlet yang berada di Jl. Dr. Wahidin No. 26 memiliki area makan yang sangat luas dan nyaman. Tempat ini cocok bagi pengunjung yang datang secara rombongan. Ditambah lagi dengan area parkir yang luas.