kuliner khas Bogor yang legendaris. Rasanya tak sabar ingin mencicipi laksa Gang Aut Mang Wahyu, soto kuning Pak M. Yusuf, baso kikil Pak Jaka, hingga pencuci mulut yang manis seperti martabak Encek.
Bagi warga Jabodetabek pada umumnya, bila mendengar Suryakencana, kita akan langsung terbayang kelezatanKawasan Suryakencana adalah satu dari kawasan pecinan terkenal yang ada di Indonesia, yang kini dikenal sebagai pusat kuliner, dan telah menjadi sentra perniagaan sejak zaman kolonial Belanda.
Pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan lokalisasi yang mengontrol suatu etnis masyarakat agar tidak bercampur dengan golongan masyarakat yang lain secara fisik (khususnya pribumi) dengan tujuan mengantisipasi potensi terjadinya persekongkolan untuk pembangkangan kepada pemerintah.
Kebijakan ini dikenal dengan Wijkenstelsel dan Passenstelsel yang berpengaruh terhadap terciptanya pemukiman Tionghoa di Suryakencana.
Rumah-rumah komunitas Tionghoa berfungsi sebagai pusat perniagaan Buitenzorg (Bogor). Jalan ini dikenal dengan Post Weg atau Jalan Pos yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Daendels tahun 1808.
Pada tahun 1905, Pemerintah Kota Bogor mengubah nama jalan menjadi Handelstraat, lalu diubah menjadi Jalan Perniagaan dan pada akhirnya menjadi Jalan Suryakencana pada tahun 1970-an.
Saat menyusuri kawasan Suryakencana, kita akan menemukan bangunan cagar budaya seperti Rumah Kapitan Tan. Rumah ini adalah rumah peninggalan Kapitan Tan atau Tan Goan Piauw, seorang keturunan Tionghoa yang dihormati oleh pemerintah Belanda pada masa itu. Kita juga akan menjumpai Kelenteng Hok Tek Bio (Vihara Dhanagun), yang diperkirakan dibangun pada tahun 1872.
Dalam Peraturan Daerah Kota Bogor No. 8 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2031, kawasan Suryakencana ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Kota (KSK) berdasarkan sudut kepentingan cagar budaya dan diperuntukkan sebagai kawasan wisata budaya. Kawasan Suryakencana dikembangkan menjadi Kawasan Pecinan Kota Bogor.
Mengutip dari Handinoto, kawasan pecinan merupakan kawasan yang mana atmosfer yang diciptakan mengikuti pola yang diatur dengan fengsui, terdapat klenteng sebagai tempat ibadah dan aktivitas sosial masyarakat, keberadaan rumah toko, dan bentuk bangunan yang khas. Kawasan pecinan muncul karena masyarakat Tionghoa yang melakukan emigrasi.
Suryakencana menjelma menjadi kawasan heritage atau pusaka. Hal ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Wali Kota Bogor No. 17 Tahun 2015 Tentang Kota Pusaka yang menetapkan kawasan Suryakencana sebagai kawasan pusaka.
Pertimbangan kawasan Suryakencana sebagai kawasan pusaka dikarenakan kawasan ini memiliki nilai sejarah dan budaya yang perlu dilestarikan serta terdapat aset yang harus dilindungi.
Layaknya di berbagai daerah di Indonesia maupun negara lain, kawasan pecinan atau Chinatown secara tradisional identik dengan berbagai produk makanan dengan tema dan cita rasa oriental. Wisata kuliner tentulah menjadi tujuan utama ketika kita mengunjungi area ini.
Pengunjung yang datang ke kawasan Suryakencana akan merasakan suasana dengan akulturasi budaya masyarakat Sunda dan Tionghoa. Gapura berwarna merah dengan tulisan “Lawang Suryakencana” menjadi ikon kawasan ini, didukung dengan lampion-lampion cantik yang bergelantungan.
Kawasan Suryakencana cukup nyaman untuk pejalan kaki karena terdapat trotoar yang lebar, rapi, dan aman untuk dilewati.
Sejumlah gang menjadi lorong cantik dan ruang publik yang menarik sehingga sering dijadikan spot foto favorit bagi pengunjung yang datang, khususnya kaum muda.
Bangunan-bangunan dengan arsitektur masa lalu yang menjadi kediaman masyarakat Tionghoa kini banyak yang telah berubah fungsi menjadi kedai kopi atau toko dengan sentuhan kekinian, tanpa meninggalkan kesan vintage.
Visualisasi merupakan salah satu elemen penting yang berkaitan dengan dunia kuliner dan proses menikmatinya, berkeliling di kawasan pusaka ini tentunya bukan hanya perut yang merasa kenyang, namun mata kita juga dimanjakan dengan indahnya warisan budaya yang terdapat di Suryakencana.
Referensi:
Handinoto (1999). Lingkungan “pecinan” dalam tata ruang kota di Jawa pada masa kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur, 27(1), 20-29.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H