Mohon tunggu...
Yustisia Kristiana
Yustisia Kristiana Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Mendokumentasikan catatan perjalanan dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Singkawang: Potret Keberagaman

30 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 3 Maret 2022   17:25 3647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Raya Imlek sudah semakin dekat. Perayaan ini mengingatkan akan salah satu kota di Indonesia yang didominasi etnis Tionghoa yaitu Kota Singkawang. Kota Singkawang dikenal sebagai kota yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Di Kota Singkawang dapat ditemukan tiga suku besar yaitu suku Tionghoa, Dayak, dan Melayu (Tidayu). Dari tiga suku tersebut dapat disaksikan kehidupan yang selaras di Kota Singkawang. Lokasi Singkawang dekat dengan ibukota Kalimantan Barat yaitu Pontianak, berjarak 151 km atau tiga hingga empat jam perjalanan darat. Kota Singkawang secara administrasi terbentuk tahun 2001, sebelumnya kota ini termasuk dalam wilayah administrasi Kota Sambas.

Kota Singkawang adalah destinasi wisata yang terkenal memiliki daya tarik wisata budaya. Keanekaragaman budaya inilah yang membuat wisatawan berkunjung ke Kota Singkawang.

Wisata Budaya
Mengunjungi Kota Singkawang, bukan hanya dimanjakan dengan suasana salah satu etnis yang dominan, namun juga dapat merasakan suasana keberagaman. Sebagai kota yang multietnis, daya tarik wisata budaya berikut dapat menjadi pilihan untuk dikunjungi.

Masjid Raya Singkawang, mengutip dari buku Singkawang Heritage: Sebuah Kajian Arkeologi Benda-Benda Cagar Budaya yang ditulis oleh Timur Triono (2014), Masjid Raya Singkawang dibangun oleh Kapitan Bawasahib Marican pada tahun 1885 di kawasan pusat kota. Pada masa itu, tempat ibadah umat Islam di Kota Singkawang masih berukuran kecil dan tidak mempunyai menara. Kapitan Bawasahib Marican membangun Masjid Raya di tanah miliknya, dan di dekat masjid tersebut terdapat juga Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang merupakan tempat ibadah umat Budha yang didirikan seorang kapitan dari Tiongkok. Pada tahun 1927 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan banyak bangunan, termasuk Masjid Raya Singkawang dan Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Pada tahun 1936 Masjid Raya Singkawang didirikan kembali di lokasi yang sama sedangkan Vihara Tri Dharma Bumi Raya dibangun tidak pada tempat awal didirikan.

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Rumah Adat Melayu adalah bangunan yang biasanya digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan. Mengutip dari buku Singkawang Heritage: Warisan Budaya Takbenda yang ditulis oleh Timur Triono (2017), Suku Melayu merupakan salah satu suku mayoritas di Kota Singkawang sehingga budaya dan sosial terlihat begitu mencolok. Salah satu budaya yang unik adalah budaya makan saprahan. Dalam perspektif sosial, tradisi makan saprahan melambangkan kesederhanaan hidup dengan rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi tanpa memandang status sosial, rasa solidaritas, dan gotong royong. Dalam perspektif etika, tradisi saprahan memliki tata cara tertentu dalam menyajikan hidangan. Mulai dari pengangkatan sajian hingga menyodorkan saprahan, penyurung (tim penyaji) beranggotakan lima orang mengambil bawaan masing-masing dan menyusun menurut tugasnya. Berawal dari memasuki ruangan, berjalan, duduk dan lain-lainnya. Tradisi makan saprahan terus dilestarikan dengan tujuan untuk mempererat kebersamaan dalam bermasyarakat. Berdasarkan filosofi yang tinggi, penyajian makan saprahan menjadi media pendidikan etika table manner versi Melayu.

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Rumah Adat Dayak yang berlokasi di Jl. Baru, Kelurahan Sanggau Kulor, Kecamatan Singkawang Timur ini diresmikan pada tahun 2007. Rumah adat ini disebut Rumah Betang dengan ciri khas motif kembang tarung, motif hutan, bunga dan hewan serta batang garing. Pada umumnya Rumah Betang dibuat hulunya menghadap timur dan hilirnya menghadap barat. Ini merupakan simbol bagi suku Dayak. Biasanya rumah ini hanya menyediakan satu tangga untuk masuk keluarnya anggota keluarga. Bentuk rumah yang memanjang dapat menampung lima sampai 30 keluarga atau bahkan lebih. Hal ini membuat suku Dayak yang menetap di satu atap mudah untuk berkomunikasi dan saling melindungi.

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Rumah Marga Tjhia adalah bangunan yang sudah berdiri dari tahun 1902. Bangunan yang langsung dihuni oleh keturunan langsung Xie Shou Shi berdiri di atas tanah pemberian dari kolonial Belanda karena Xie Shou Shi merupakan seorang pendatang dari Fujian. Bangunan ini terdiri dari dua lantai dan memiliki dua ruangan besar di bagian depan dan belakang yang penuh dengan ornamen dan ukiran maupun tulisan berwarna emas di setiap ambang pintu. Di dalam ruangan depan tersusun satu set meja kursi dengan tatahan nirmala, sebuah taman bunga kecil memisahkan bagian ruangan depan dan ruang belakang. Ruang belakang merupakan altar abu leluhur, terpajang patung Budha dan dewa beserta papan nama para leluhur. Terdapat juga taman kecil di bagian belakang ruangan yang mengelilingi belasan kamar tidur bagian barat yang tersusun bentuk huruf U.

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Di Kota Singkawang terdapat banyak vihara, dan salah satu yang tertua adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang didirikan pada tahun 1878. Dalam buku Singkawang Heritage: Sebuah Kajian Arkeologi Benda-Benda Cagar Budaya yang ditulis oleh Timur Triono (2014) tertulis bahwa menurut kepercayaan orang Tionghoa, konon setiap hutan memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan tersebut sehingga didirikan vihara untuk Dewa Bumi Raya (Tua Peh Kong) sebagai pelindung. Setiap hari perayaan Imlek dan Cap Go Meh, vihara ini didatangi ribuan umat Tri Dharma baik dari dalam maupun luar Kota Singkawang. Selain itu, sebelum para tatung atau lau ya melakukan arak-arakan keliling kota untuk menjalankan ritual membersihkan kota dari roh jahat, semua wajib meminta restu Tua Peh Kong di Vihara Tri Dharma Bumi Raya.

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Salah satu magnet wisata budaya di Kota Singkawang adalah Festival Cap Go Meh. Cap Go Meh adalah acara perayaan yang menandakan bahwa hari Imlek telah memasuki hari terakhir, yaitu hari ke-15. “Cap” memiliki arti sepuluh, “Go” memiliki arti lima, dan “Meh” memiliki arti malam sehingga Cap Go Meh memiliki arti malam ke-15. Upacara ini dirayakan setiap tahun pada tanggal 15, bulan pertama menurut sistem penanggalan kalender Imlek. Acara Cap Go Meh dahulu hanya dilakukan di dalam lingkungan istana dan belum dikenal secara umum oleh masyarakat Tiongkok. Upacara ini dilakukan pada malam hari sehingga dilakukan persiapan pemasangan lampu-lampu sebagai penerangan. Hal ini yang membuat lampion menjadi pelengkap utama pada saat hari Imlek. Tujuan diadakannya Cap Go Meh adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas semua yang telah diberikan pada sepanjang tahun. Cap Go Meh merupakan salah satu event tahunan terbesar yang dilakukan di Kota Singkawang. Terdapat beberapa kegiatan yang dapat dinikmati pada saat mengunjungi Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang seperti ucapan syukur, parade barongsai, parade naga, parade lampion, arak-arakan tatung atau yang lebih dikenal dengan sebutan lau ya.

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Tahun 2021 saat pandemi masih berlangsung, Pemkot Singkawang meniadakan Festival Cap Go Meh dan pada tahun 2022 ini perayaan Cap Go Meh akan dilaksanakan secara terbatas, tanpa arak-arakan tatung. Panitia perayaan Imlek dan Festival Cap Go Meh 2022 Kota Singkawang fokus menghiasi Kota Singkawang sehingga suasana kota tetap menarik bagi wisatawan.

Sukacita perayaan Imlek bukan hanya bagi etnis Tionghoa, namun juga bagi seluruh masyarakat Indonesia yang mengharapkan keharmonisan antar etnis. Ini merupakan gambaran keberagaman. Keberagaman dalam Imlek kiranya dapat menjadi semangat untuk bangkit melawan pandemi.

Referensi:
Kristiana, Y., Erviana, N., dan Hartanti, T. M. (2019). Singkawang Kota Wisata Budaya. Bandung: Rasibook.

Triono, Timur (2014). Singkawang Heritage: Sebuah Kajian Arkeologi Benda-Benda Cagar Budaya. Singkawang, Kalimantan Barat: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Pemerintah Kota Singkawang.

Triono, Timur (2017). Singkawang Heritage: Warisan Budaya Takbenda. Singkawang, Kalimantan Barat: Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Pemerintah Kota Singkawang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun