Mohon tunggu...
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Yustinus Hendro Wuarmanuk Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sikap terhadap Pasien Terminal dalam Beberapa Pertimbangan dan Keputusan Moral

27 April 2015   13:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:38 2388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sikap terhadap Pasien Terminal

dalam Beberapa Pertimbangan dan Keputusan Moral

Pendahuluan

Sungguh mengagumkan bahwa manusia dalam segala keberadaannya mampu menciptakan pelbagai kemudahan dalam hidupnya melalui teknologi. Berbagai kemudahan diperoleh melalui penggunaan hasil-hasil teknologi. Hal ini menyiratkan adanya kesejahteraan yang dicapai melalui teknologi yang ada. Eksplorasi dan eksploitasi terhadap alam secara tidak langsung mengarahkan dunia kepada suatu bentuk yang tak terselubung bagi akal manusia. Hampir semua hal dapat dijelaskan berdasarkan kemampuan akal budinya.

Namun penelusuran lebih lanjut akan mengungkapkan bahwa pencapaian spektakuler ini dapat pula membawa manusia kepada bencana dan malapetaka. Eksplorasi dan eksploitasi yang berlebihan dan tanpa arah yang jelas akan menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap ekosisten alam. Senjata-senjata nuklir membawa manusia semakin dekat dengan kehancuran.Dalam hal ini, penggunaan teknologi yang dapat membawa hasil yang positir dan negatif membuat mansia sadar akan peranan dan kedudukan tekonogi di dalam keseluruhan keberadaannya.

Dalam dua puluh tahun terakhir ini ilmu kedokteran banyak mengalami kemajuan. Teknologi telah mampu melahirkan bermacam-macam peralatan kedokteran yang canggih. Namun demikian, wajah ganda dari teknologi tetap dibawa serta. DI satu pihak, penelusuran diagnosis dan penyebab penyakit rupanya tidak lagi menjadi masalah besar. Angka penyakit dan angka kematian dapati diturunkan, sedangkan angka harapan hidup rata-rata dapat lebih ditingkatkan.

Di lain pihak, perkembngan teknologi menimbulkan pelbagai konflik nilai. Melalui teknik genetic engineering, dunia medis sudah mampu menciptakan “manusia duplikat”, yakni dengan cara penyambungan gen-gen yang telah dipotong-potong. Pada saat ini kita dapati mengadakan pembuahan tanpa persetubuhan melalui artficial insemination (ensiminasi buatan). Dengan adanya alat life support system, hidup seorang pasien dapat diperpanjang untuk waktu yang tak menentu lamanya. Penggunaan teknologi yang disebutkan terakhir ini telah mengundang problem moral seputar akhir hidup manusia.

I. Fokus masalah

Di antara para penderita sakit, terdapat penderita sakit yang menurut perhitungan tenaga medis tidak akan dapat sembuh lagi. Mereka inilah yang disebut sebagai pasien terminal. Keadaan sedemikian secara tak langsung membawa seseorang kepada situasi di mana ia merasa kehilangan harapan untuk hidup. Sedangkan keadaan vegetatif merupakan keadaan di mana seseorang berada dalam keadaan koma (tidak sadar) secara berkepanjangan, namun belum dapat dikategorikan sebagai telah mati karena aktivitas elktrik otaknya masih ada, meskipun minimal.

Secara medis, orang yang mengalami keadaan seperti ini belum dapat dinyatakan telah mati karena tubuhnya adakalanya masih menunjukkan reaksi terhadap beberapa rangsangan tertentu. Jika keadaan ini berlangsung selama lebih dari sebulan, maka pasien itu akan memasuki tahap yang di sebut vegetatif yang persisten (persistent vegetative state). Kehidupannya dapat dipertahankan dengan bantuan makanan yang disalurkan melalui pembuluh darah. Apabila keadaan koma ini berlangsung lebih dari tiga bulan, maka semakain tipis harapan untuk pulih dari sakit yang dialami. Bahkan menurut Persatuan Dokter Sedunia, ketidak-sadaran yang mencapai lebih dari enam bulan akan mengkibatkan kerusakan yang lebih parah di otak penderita.

Dua situasi ini memiliki konsekuensi yang sama, yakni kecilnya kemungkinan untuk sembuh dari sakit yang diderita. Harapan bagi pulihnya kesehatan si pasien sangat tipis. Hal ini membuka kemungkinan untuk diambilnya keputusan: atau meneruskan upaya pengobatan atau memberhentikan tindakan pengobatan yang sedang dilakukan. Pada tataran inilah diperlukan pertimbangan-pertimbangan moral yang memadai untuk dapat melangkah pada pijakan yang benar.

II. Upaya Pemecahan Masalah dari Perspektif Moral

II.1. Pihak-Pihak yang Terkait

Dilema persolan di atas berawal ketika ilmu kedokteran belum mampu menyembuhkan penyakit yang mematikan, dan penyakit itu telah menimbulkan penderitaan yang berat pada pasiennya. Dalam situasi ini, bolehkah dicuatkan sebuah keputusan untuk memilih menghentikan penderitaan pasien melalui pemberhentian pengobatan yang sedang dilakukan? Jawaban terhadap pertanyaan ini melibatkan pihak-pihak yang secara langsung terkait dalam masalah ini. Peran dokter, keluarga dan pasien sendiri dalam mempertimbangkan dan memutuskan apa yang terbaik bagi kondisi manusiawi pasien adalah mutlak perlu.

II.1.1. Dokter

Tugas pelayanan seorang dokter meliputi pula tanggung jawab terhadap kehidupan pasien terminal atau mereka yang diperkirakan akan meninggal dalam waktu yang tidak lama. Apabila usaha untuk mempertahankan kehidupan itu sudah berakhir, maka dokter memiliki tanggung jawab untuk mendampingi pasien dengan mengusahakan perawatan medis “yang layak”.

II.1.1.1. Kewajiban dan Keterbatasan Dokter untuk Meneyembuhkan Penyakit Pasien

Sebagai tenaga medis, seorang dokter wajib untuk mengupayakan penyembuhan atas penyakit yang diderita oleh pasiennya. Tugas pelayanan seorang dokter selalu menyertakan kehendak untuk mengusakan sedapat mungkin suatu pengobatan yang layak bagi kesehatan dan kesembuhan pasien. Namun demikian perlu dikatakan pula bahwa kemampuan untuk menyembuhkan penyakit seseorang akhirnya terbatas pula. Ada saat di mana kenyataan berbicara bahwa tidak semua pasien dapat disembuhkan dari penyakitnya meskipun dokter sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Dalam situasi seperti ini, tercipta kemungkinan bagi pasien dan keluarga untuk lebih memilih kematian daripada harus menempuh pengobatan yang berkepanjangan. Secara moral dokter telah mengusahakan yang terbaik bagi pasien walaupun hasil yang terberi tidak sesuai dengan harapan yang ada. Kenyataan ini harus dipandang dari sudut penerimaan akan keterbatasan manusiawi.

II.1.1.2. Kewajiban dan Keterbatasan Dokter untuk Memperpanjang Hidup Penderita

Fakta bahwa ada orang sakit yang datang kepada dokter merupakan penegasan akan kewajiban dokter untuk memperpanjang hidup pasien tersebut. Kenyataan ini dihayati sebagai peletakan kepercayaan ke pundak sang dokter. Dalam hal ini, sumpah Hipokrates mengikat dokter secara nyata dalam usaha menyelamatkan dan memajukan kehidupan. Dalam situasi apapun dokter harus mengusahakan kehidupan yang layak bagi pasien.

Namun demikian, pada saat-saat tertentu kewajiban dokter untuk memperpanjang kehidupan menjumpai keterbatasannya. Apabila tidak ada lagi harapan akan pulihnya keadaan pasien dalam suatu tingkat hidup yang manusiawi, dokter tidak berhak memperpanjang suatu proses kehidupan yang akan segera berakhir. Tidak ada kewajiban bagi seorang dokter untuk memperpanjang hidup pasien dengan suatu upaya yang tidak akan memberikan harapan yang wajar baginya. Hal ini diperkuat oleh keyakinan agama bahwa Tuhan tidak akan menuntut dari manusia untuk berbuat melebihi kemampuannya.

II.1.1.3. Kewajiban Dokter untuk Memutuskan secara Tepat, Kapan Datangnya Saat Seseorang Dinyatakan Mati

Keputusan untuk menentukan secara tepat kapan seseorang sudah dinyatakan mati oleh dokter, melibatkan tanggung jawab moral yang tidak sepele, karena berhubungan erat dengan nilai kehidupan manusiawi seseorang. Tidak dapat dibenarkan adanya keputusan dari seorang dokter yang hanya dibuat bedasarkan naluri dan emosi pribadi. Kalau demikian, keputusan tentang saat kematian seseorang akan berbeda antara dokter yang satu dengan dokter yang lain.

Situasi di mana pasien dalam keadaan vegetatif dan seluruh organ tubuhnya hanya dapat berfungsi berkat topangan teknologi secara langsung menunjukkan beratnya beban moral dokter untuk mengambil keputusan tentang kematian seseorang. Membiarkan alat resusitasi digunakan pada seseorang tanpa batas dapat mengurangi hak pasien lain yang mungkin masih bisa ditolong. Sebaliknya, menghentikan alat resusitasi tanpa indikasi dan kriteria yang jelas jaga dapat dituduh melakukan pembunuhan atau sekurang-kurangnya eutanasia. Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan kriteria yang jelas dan tepat yang dapat menerangkan kapan datangnya saat kematian seseorang.

Kemendesakan untuk menetapkan kriteria mati menjadi menonjol ketika kemajuan teknologi kedokteran memungkinkan dokter untuk memperpanjang hidup manusia melalui bantuan mesin. Sejak dahulu kala orang menetapkan mati dengan melihat berhentinya pernafasan atau denyut jantung. Kematian ini disebut kematian klinis. Namun penemuan alat respirator membuat kriteria kematian klinis tidak relevan lagi karena jantung yang berhenti segera dapat digerakkan lagi. Apabila kriteria kematian klinis dipakai, maka walaupun manusia hanya dapat hidup secara vegetatif (seperti tumbuh-tumbuhan), kualitas hidupnya sama dengan manusia yang lain. Padahal otak sebagai faktor penggerak kehidupan rohani manusia sudah tidak berfungsi lagi (brain death). Para pakar kedokteran meletakkan dasar kriteria mati batang otak sebagai pedoman untuk menentukan saat kematian seseorang. Pusat-pusat penggerak berbagai fungsi organ tubuh manusia secara anatomi terletak di batang otak. Atas dasar itu ditegaskan bahwa manusia secara fisik dan sosial sudah mati apabila batang otak sudah mati.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memperkuat penegasan ini melalui pernyataannya tentang mati. Seseorang dinyatakan mati bilamana fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau bila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Selanjutnya, berangkat dari pendapat para pakar kesehatan bahwa otak orang hidup dapat memproduksi tenaga listrik bila terjadi rangsangan, maka penetapan diagnosis kematian akhir-akhir ini meliputi tiga hal, sebagai berikut: 1). Berhentinya pernapasan 2). Berhentinya jantung 3). Electroenchepalographi (EEG) menjadi datar. EEG merupakan alat yang dapat memonitor apakah otak masih dapat memproduksi listrik atau tidak.

II.1.2. Keluarga

Setiap orang berasal dari sebuah keluarga. Hal yang sama pula berlaku bagi pasien yang sedang dirawat. Ia adalah bagian dari anggota keluarga. Selain pihak medis, pihak keluarga juga mempunyai andil dalam permasalahan ini. Atas salah satu cara mereka turut mengambil bagian dalam menentukan dan memutuskan apa yang terbaik bagi pasien. Pertimbangan dan keputusan moral yang tepat menjadi cahaya bagi keluarga, seberapa jauh mereka bisa melangkah.

Teknik pengobatan yang tidak proporsional dan tidak manusiawi akan memicu dilakukannya pemberhentian pengobatan tersebut. Pihak keluarga tidak tega membiarkan pasien yang dalam keadaan vegetatif menjadi boneka dari peralatan canggih kedokteran. Mereka mengkhawatirkan keberadaan pasien yang dikendalikan oleh kuasa alat-alat kedokteran sehingga ia tidak dibiarkan mengalami kematian secara wajar. Dalam situai seperti ini, muncul permintaan dari pihak keluarga agar sanak keluarganya dilepaskan dari penderitaan sehingga ia dapat meninggal dengan terhormat secara manusiawi. Dalam kasus ini, permintaan keluarga dapat diterima karena mengandung implikasi moral yang dapat dipertanggung-jawabkan. Alasannya, apa yang diminta oleh keluarga adalah penghentian pengobatan yang tidak manusiawi lagi. Belum lagi ditambah dengan biaya perawatan yang akan membebani ekonomi keluarga. Apalagi jika yang sakit merupakan tulang punggung keluarga dalam hal mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara tidak langsung, waktu, tenaga, dan pikiran isteri akan tersita dalam hal perawatan dan pengobatan sang kepala keluarga. Sementara anak-anaknya tidak lagi mendapat perhatian yang semestinya.

Kewajiban memelihara hidup, entah hidup sendiri ataupun hidup orang lain merupakan prinsip dasar seorang manusia dalam menjalani kehidupannya. Perlulah untuk kembali menjadikan prinsip dasar ini sebagai pedoman dalam berhadapan dengan masalah seperti yang dipaparkan di atas sambil harus disertai dengan pertimbangan moral yang tepat. Adalah kurang bijaksana jika keluarga terus menerus membiayai pengobatan anggota keluarga sampai harus menghabiskan harta bendanya. Padahal sudah diketahui bahwa tidak ada harapan lagi bagi pasien untuk sembuh. Dalam hal ini keluarga perlu mempertimbangkan keseimbangan antara beban perawatan dengan manfaat yang diperoleh.

II.1.3. Pasien yang bersangkutan

Pasiaen adalah subyek yang memegang peranan paling penting terhadap keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Pada batasan-batasan tertentu, ia berhak mengatur segala sesuatu yang berkaitan erat dengan kehidupannya tanpa campur tangan pihak luar. Pada bagian ini akan diberikan pemaparan tentang otonomi pasien itu sendiri dan peran serta kehendaknya baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan di mana ia tidak sadarkan diri sehingga kehendaknya diprediksi ataupun ditentukan oleh pihak lain.

II.1.3.1. Otonomi Pasien

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, otonomi berari berdiri sendiri; dengan pemerintahan sendiri. Arti ini mau menjelaskan adanya suatu hak untuk mengatur diri sendiri atau apa yang menjadi ruang lingkup kekuasaan sendiri. Hak yang sama pula memberi afirmasi dalam perlakuan terhadap diri sendiri. Bila ditempatkan dalam konteks dunia medis, istilah ototnomi dimengerti sebagai prinsip yang mengakui hak setiap pribadi dalam penentuan diri terhadap masalah kesehatan, kehidupan dan kematiannya. Menjadi nyata bahwa otonomi mengandaikan adanya hak yang bila diterjemahkan secara universal, dimiliki dan melekat pada setiap pribadi.

Hak pasien merupakan hak asazi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidan kesehatan, the right of self determination. Itu berarti pula, penghargaan terhadap martabat orang lain sebagi manusia turut pula ditentukan oleh pengakuan akan otonomi berserta hak-haknya. Penelusuran lebih lanjut terhadap hal ini akan diperhadapkan kepada beberapa pertanyaan, dalam arti apa hak-hak seorang pasien bisa dipenuhi? Adakah batasan-batasan yang menentukan berlakunya hak-hak tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantar kita untuk meletakkan pijakan pada bagian berikutnya.

II.1.3.2. Sadar dan Dapat Menyatakan Kehendak

Peranan pasien dalam masalah ini sangat kentara apabila diperhadapkan dengan situasi konkret di mana ia ingin membebaskan dirinya dari pendiritaan yang ia alami. Seorang pasien yang sekarat namun masih bisa menggunakan kesadarannya, karena menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan disertai dengan rasa sakit yang tak tertahankan, biasanya menghendaki agar kematiannya dipercepat. Apalagi bila disertai dengan keadaan psikologis yang merosot yang diakibatkan oleh kesepian dan merasa kehadirannya tidak berharga lagi. Di sini pasien menghendaki untuk menolak perawatan yang sementara diberikan.

Bila dihubungankan dengan pnejelasan tentang otonomi seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka kehendak pasien tersebut bisa dibenarkan. Ia berhak untuk menentukan segala pilihan yang diperhadapkan kepadanya. Dalam hal ini, tenaga medis tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap pasien tersebut. Namun, dalam situasi dan kondisi yang sama, akan segera menyusul pertanyaan-pertanyaan dari sudut pandang yang berlainan. Sampai pada batasan mana otonomi dan kehendak pasien harus dituruti? Apakah hal ini mengindikasikan pasien memiliki “hak untuk mati”, sementara hak untuk menolak perawatan dengan sendirinya bukanlah “hak untuk mati?” bagi mereka yang tidak mengakui keabsahan “hak untuk mati” mempertanyakan, apakah penderita yang ingin lebih cepat dimatikan benar-banar menghendaki kematian itu?

Pertanyaan terakhir di atas menuntun kita memberi tampat pada kondisi psikologis penderita untuk dipertimbangkan. Aspek ini amat mempengaruhi keputusan dan kehendak yang akan diambil oleh pasien. Dalam menghadapi penyakit yang belum dapat disembuhkan dan ditambah dengan kesepian dan merasa kehadirannya tidak berharga lagi, reaksi pasien yang paling menonjol adalah reaksi depresif.

II.1.3.3 Tak Sadar dan Tidak Dapat Menyatakan Kehendak

Tak jarang kita menemukan pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak sebelumnya sehingga sangat sulit untuk memutuskan, entahkan harus meneruskan atau menghentikan suatu pengobatan yang sudah dimulai dan sedang berlangsung. Situasi seperti ini mempersulit kita untuk mengetahui apa yang menjadi kehendak pasien. Pada prinsipnya, dokter tidak berhak menghentikan kehidupan pasien apapun alasannya. Dokter yang berada dalam keragu-raguan harus memilih kehidupan. Dalam kasus ini, harapan pasien hanya bisa diduga.

Dalam situasi konkret, kehadiran pihak keluarga menjadi semacam titik terang dalam menemukan kehendak pasien. Keluarga dinilai paling mengetahui segala keberadaan bahkan harapan dari pasien. Keluarga berhak menentukan pendapat dan kehendak anggota keluarganya karena merekalah yang paling dekat dengan dia. Dalam hal ini, dokter perlu memperhatikan segala pertimbangan yang diberikan oleh pihak keluarga.

Dalam lingkup yang lebih luas dikenal istilah decision maker (pembuatan keputusan) yang dihubungkan dengan perlindungan terhadap hak pasien. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien sebagai manusia atas salah satu cara dituangkan melalui usaha seorang pembuat keputusan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien. Terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang pembuat keputusan. Pertama, pembuat keputusan harus memutuskan apa yang terbaik bagi pasien. Kedua, keputusan yang diambil sedapatnya bermanfaat bagi pasien. Ketiga, para pembuat keputusan berada dalam perlindungan hukum.

II.2. Keunggulan Manusia atas IPTEK

Selayaknyakah atau dapatkah suatu kemampuan langsung diterapkan semata-mata karena kemampuan itu, tanpa menghiraukan pertimbangan-pertimbangan lainnya? Atau secara lebih sederahana, apakah semua yang dapat dilakukan, boleh dilakukan? Pertanyaan moral ini muncul ketika manusia dihadapkan pada situasi khusus. Kemajuan pesat yang dicapai dalam bidang bio-teknologi mengakibatkan orang harus sungguh-sungguh dapat memilih; dan memilih merupakan sebuah masalah yang mendesak bagi manusia.

Pandangan antropologis yang mempertegas jiwa dan raga pribadi manusia membawa serta di dalam dirinya dimensi keunggulan manusia atau primat pribadi manusia atas ilmu pengetahuan dan tekonologi. Pandangan ini kemudian lebih dikristenkan dengan penekanannya pada makna kesatuan substansial jiwa raga, pribadi manusia yang sekaligus jasmani dan rohani. Berdasarkan kesatuan substansial ini, tubuh manusia dipandang sebagai sesuatu yang konstitutif bagi pribadi manusia yang menyatakan diri malalui tubuhnya itu. Untuk itu pribadi manusia tidak boleh diperlakukan sebagai sarana untuk sesuatu yang lain di luar dirinya, ia tidak boleh diperlakukan sebagai obyek. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor pada ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian begitu saja menjadi budak teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia.

Penghargaan terhadap primat manusia bukan hanya menyangkut unsur jiwa atau unsur rohaniah yang dimiliki oleh manusia tetapi juga menyangkut unsur badaniah, tubuh dan raganya. Hukum kodrati mengungkapkan tujuan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berdasarkan kodrat jasmani dan rohani manusia. Oleh karena itu tindakan-tindakan atau intervensi lain yang dianggap menjadikan tubuh manusia sebagai obyek, dinilai salah dan ditolak oleh magisterium Gereja.

II.3. Sifat Keramat Hidup Manusia

Manusia diciptakan menurut citra Allah. Penegasan ini memiliki dua macam arti yang terkandung di dalamnya. Pertama, manusia tidak dapat dimengerti dari dirinya sendiri saja. Segala apa yang ada padanya berasal dari Allah dan ia dapat berada dalam eksistensinya karena ditunjang oleh kehendak Allah. Maka hanya ada satu yang berhak untuk menuntut sesuatu dengan mutlak dari manusia, yaitu Allah. Manusia dikaruniai martabat yang amat luhur berdasarkan ikatan erat yang menyatukannya dengna Sang Pencipta: pada manusia terpancarkan pantulan Allah sendiri. Inilah yang dimengerti sebagai sifat keramat hidup manusia. (EV. 34).

Kedua, hanya manusia yang mampunyai akal budi dan kamuan, suara hati dan kebebasan (RH 12). Hanya manusia yang diciptakan agar dapat dan harus mempertanggung-jawabkan kehidupannya. Dengan segala kemampuannya, ia harus menjadi saluran yang benar bagi sifat hidupnya. Itu berarti manusia diwajibkan untuk menghormati kesucian hidup orang lain dan hidupnya sendiri. Menghormati martabat manusia berarti menghormati kedaulatan Allah, karena itu di pundak manusia dibebankan suatu tugas mulia, yakni memelihara hidup yang tak dapat diganggu gugat sebagai anugerah Sang Pencipta. Konsekuensinya, manusia tidak boleh memperlakukan kehidupannya dan orang lain sekendak hatinya karena hanya Tuhanlah yang berkuasa dan berdaulat atas hidup manusia.

II.4. Makna Penderitaan bagi Orang Kristen

Sakit yang berkepanjangan, usia lanjut, kesepian dan rasa ditinggalkan atas salah satu cara bisa mempengaruhi kondisi psikologis yang memedahkan orang untuk menerima kematian. Walaupun demikian, pengalaman sebagai orang sakit merupakan pengalaman pahit yang dapat sangat menggoncangkan manusia. Penderitaan fisik maupun psikis yang berat membuat orang tidak dapat tahan dan ingin mneghilangkannya. Orang beriman pun tidak luput dari pengalaman itu. Namun, berkat iman, orang sakit dapat lebih memahami makna penderitaan serta menanggungnya dengan lebih tabah.

Menurut ajaran Krsitiani, rasa sakit terutama pada saat-saat akhir kehidupan mempunyai tempatnya dalam rencana keselamatan Allah. Orang beriman memahami bahwa penderitaan mempunyai arti demi keselamatannya sendiri dan dunia. Setiap manusia mempunyai bagiannya sendiri dalam penebusan. Setiap orang juga dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus yang melaluinya penebusan terlaksana. Melalui penderitaan, setiap orang dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Krsitus, lewat mana semua penderitaan manusiawi telah di tebus (SD 19).

II.5. Pendampingan pada Akhir Hidup Manusia

Kematian merupakan bagian dari lembaran novel kehidupan setiap orang. Betapapun orang menjaga kesehatan dan mencegah segala penyakit, akhirnya ia juga akan meninggal dunia. Karena keterbatansannya sebagai makhluk, manusia harus menerima kenyataan yang tidak membahagiakan ini. Ketika berada dalam keadaan di mana sudah tidak ada harapan lagi untuk memperpanjang hidupnya, manusia diselimuti oleh perasaan tak berdaya dan kesepian yang mendalam.

Pasien yang menderita penyakit yang tak tersembuhkan biasanya mencoba mengingkari kenyataan yang menyedihkan itu. Padahal dengan mengingkarinya, ia kehilangan kesempatan untuk mempersiapkan diri menghadap Tuhan dengan bermodalkan ketenangan dan kebersihan jiwanya. Dalam situasi seperti itu, kebutuhan paling vital yang diharapkan oleh pasien pada saat menjelang akhir hidupnya ialah pendampingan yang penuh pengertian dan kesabaran. Melalui pendampingan, pasien diharapkan dapat dituntun secara bertahap untuk mau menyerahkan seluruh keberadaan diri-Nya kepada kehendak Tuhan.

II.5.1. Konseling bagi Pasien Terminal

Kompleksitas pengertian yang terkandung dalam istilah nyeri sering dilupakan sehingga kebanyakanorang mengartikannya sebagai penderitaan fisik saja. Bila ditinjau lebih dalam lagi, maka nyeri bukan hanya merujuk pada soal neurofisiologis saja tetapi juga segi psikologis yang tak kalah pentingnya. Dalam perawatan pasien terminal, segi psikologis mempunyai konsekuensi penting. Pasien bersangkutan harus mempunyai kepastian bahwa orang di sekitarnya tidak meninggalkan dia. Justru pada saat-saat pasien menjelang kematiannya, ia harus didekatkan dengan keluarganya dan dengan orang-orang yang ia cintai. Pasien tersebut ingin agar kematiannya disaksikan dan diantarkan oleh kita yang masih sehat, bukan malah diisolasikan dari kebutuhan sosialnya. Pengalaman berbicara bahwa orang yang akan meninggal biasanya menunggu orang-orang yang dicintainya, untuk kemudian menghembuskan nafas terakhir. Kesepian dan isolasi akan meningkatkan penderitaan. Ia masih butuh perhatian dan ketulusan untuk menerima kehadirannya walapun kemampuannya untuk berkomunikasi dengan baik sudah tidak tampak lagi.

Dengan konseling justru ditekankan pendampingan yang berorientasi pada soal memberi perhatian secara khusus, mengelilingi dengan suasana hangat dan menciptakan keadaan nyaman bagi pasien. Ia harus didampingi, dihibur, dan diberi pengertian pada perjalanan terakhirnya. Di sini peran pendamping, yakni dokter, perawat, sanak saudara dan para rohaniwan menjadi amat penting. Tidak perlu koseling pasien terminal selalu berlangsung secara formal. Lebih sering akan terjadi konseling informal dan spontan. Kualitas utama yang harus dimiliki seorang konselor adalah empati, di mana ia dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh pasien yang mendekati ajal. Tentu saja kualitas ini tidak mengenal batasan konseling, entah dalam bentuk formal ataupun informal.

II.5.2.Perawatan Paliatif

Kematian bagi manusia merupakan nilai hakiki bagi kehidupan manusia itu sendiri. Walaupun betapa menderitanya pasien pada tahap menjelang kematiannya, namun saat-saat tersebut tetap merupakan tahap kehidupan yang hakiki. Apabila kematian pasien tersebut dihalangi terus-menerus sampai pada batas yang tidak menentu dengan bantuan teknologi canggih kedokteran atau malah kehidupannya sengaja dipersingkat, maka berarti kita telah mencuri pengalaman hidupnya. Tahap-tahap menjelang kematiannya, walaupun diwarnai dengan penderitaan, mungkin pasien tersebut menikmati pengalaman unik yang berbeda dengan pengalaman-pengalaman hidup lain yang pernah dialaminya.

Dalam situasi seperti itu, jika nyawa pasien tidak bisa diselamatkan lagi, masih banyak yang dapat dan harus dilakukan. Kalau cure sudah tidak mungkin lagi, selalu masih bisa diberikan care. Pada suatu saat, pengobatan harus dihentikan, tetapi perawatan tidak pernah boleh dihentikan. Dalam rangka care, perawatan paliatif memegang peranan penting. Care di sini perlu dimengerti dalam arti memberi perhatian khusus, mengelilingi dengan suasana hangat dan menciptakan keadaan nyaman bagi pasien. Hal itu merupakan inti dari perawatan paliatif.

Dalam Evangelium Vitae no. 65, perawatan paliatif dimaksudkan sebagai usaha membuat penderitaan lebih mudah ditanggung pada tahap-tahap akhir kehidupan dan menjamin bahwa pasien dibantu dan didampingi dalam saatnya yang segawat itu. Prioritas tertinggi yang harus diberikan dalam pertolongan paliatif adalah mengurangi rasa sakit. Mengurangi nyeri merupakan suatu tujuan ilmu kedokteran yang semakin penting dan akibatnya merupakan kewajiban para tenaga medis juga. Konsekuensinya, dokter bertindak tidak etis bila ia membiarkan pasien terminal menderita lebih dari perlu. Namun, dapat terjadi bahwa pertolongan paliatif mempercepat kematian pasien terminal. Walaupun demikian, di sini tidak perlu timbul keraguan.

Dalam pemikiran etika klasik, kasus seperti ini merujuk pada ajaran tentang efek ganda. Dalam hal ini, mempercepat kematian pasien terminal dalam usaha menghilangkan nyeri bisa diterima sebagai efek samping yang tidak diakibatkan dengan sengaja. Merinngankan penderitaan pesien merupakan tujuan utama dalam usaha tersebut. Kematian pasien yang dipercepat diterima sebagai efek buruk yang diimbangi oleh efek baik yang dimaksudkan secara langsung, yakni menghilangkan nyeri pasien. Di sini dokter tidak mengakibatkan kematian secara langsung.

Penutup

Dunia medis merupakan bagian tak terelakkan yang dimasuki oleh teknologi. Perkembangan teknologi kedokteran begitu pesat. Namun, wajah ganda dari teknologi tetap menyertai perkembangan tersebut. Di satu pihak, orang yang membutuhkan pengobatan dapat disembuhkan melalui penggunaan sarana-sarana dan fasilitas kesehatan yang sudah demikian maju. Namun di lain pihak, berkat teknolgi yang sama kehidupan dari orang yang mengalami gangguan kesehatan dapat diperpanjang sampai pada batas yang tak menentu.

Dengan bantuan life support system, kehidupan orang bisa dipertahankan walaupun “daya hidup”nya telah hilang. Pada tataran ini, muncul dilema dan persoalan; entahkah harus membiarkan pasien tiu hidup dalam keadaan vegetatif ataukah diambil suatu tindakan untuk menghentikan kehidupan pasien yang bersangkutan. Seorang dokter memiliki wewenang untuk bertindak jika tindakan tersebut adalah berguna. Kalau tindakannya tidak ada gunanya lagi, maka terjadilah penganiayaan. Apabila menurut ilmu kedokteran penyakit yang diderita pasien tidak mungkin dapat disambuhkan lagi, serta pengobatan pun sudah dianggap tidak berguna, maka pengobatannya boleh dihentikan. Walaupun akhirnya pasien meninggal dunia, kematian pasien bukan disebabkan oleh penghentian pengobatannya, melainkan memang kematian itu sendiri sudah tidak dapat dielakkan lagi.

Persoalan mengenai akhir hidup manusia menyertakan ambivalensi antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia. Oleh Gereja, penderitaan di akhir hidup manusia hendaknya tidak disertai dengan usaha mengakhiri hidup manusia. Gereja menegaskan melalui penderitaan, setiap orang dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam penderitan Kristus, lewat mana semua penderitaan manusiawi telah ditebus. Kepedulian Gereja terhadap pasien terminal terungkap secara nyata melalui penegasan akan pentingnya pendampingan terhadap mereka yang menjalani tahap akhir kehidupannya. Pendampingan yang dilakukan dimaksudkan untuk menghibur pasien terminal dan mengarahkannya pada persiapan menghadap Sang Penciptanya.

DAFTAR PUSTAKA

Barry, Vincent. Applying Ethics. California, 1984.

Bayley, Corrine. “Terminating Treatment: Asking The Right Question”, dalam Hospital Progress. September, 1980.

Bertens, K. “Dunia Medis Menghadapi Akhir Kehidupan”, dalamT. Sintak Gunawan (ed. ). Pasien Terminal: Aspek Medis dan Etis. Jakarta: Grasindo, 1996.

Chalmers, G. “Dokter dan Eutanasia”, dalam Sketsa Studi Kehidupan dan Etika: Sintesis dan Analisis VI/10. 1990.

Go, Piet “Eutanasia”, dalam Analekta, VII/3. 1989.

Gunawan, Dr. Memahami Etika Kedokteran. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Hadiwardoyo, Al. Purwa. Etika Medis. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

------------------------------Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Haring, Bernard. The Low of The Christ, Vol. 3. The Mercier Press LTD, 1967.

Karyadi, Petrus Yoyo. Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.

Kubler, Elisabeth Ross. On Death and Dying. New York: Macmillan Publishing Company, 1969.

Lubis, Mochtar. “Dampak Teknologi pada Kebudayaan”, dalam Mangunwijaya, Y. B. (ed. ), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol II. Jakarta: Obor, 1989.

Magnis-Suseno, Franz. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 2001.

Mohamad, Kartono. Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika. Jakarta: Gramedia, 1992 .

Paus Yohanes Paulus II. Evangelium Vitae, Seri Dokumen Gerejawi No. 41. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996.

---------------------------Redemptoris Hominis, Seri Dokumen Gerejawi No. 38. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1979.

---------------------------Salvici Doloris, Seri Dokumen Gerejawi No. 29. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.

Purwadarminta, W. J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.

Soetarman, Dr. “Gereja di Tengah Perkembangan Ilmu dan Teknologi: Menjadi Bonsai?” dalam Fundamentalisme, Agama-Agama, dan Teknologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Steinbock, Bonnie. “Terminasi Kehidupan dengan Sengaja” dalam Etika Terapan. Yogyakarta: Tiara Wacana Togya, 2001.

Varga, Andrew. The Main Issue in Bioethics. New York: Ramsey, Paulist Press, 1984.

Wiradharma, Danny. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.

Zubair, Achmad Charris. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI, 2002.

Bdk. Vincent Barry, Applying Ethics (California, 1984), hlm. 198.

Bdk. Dr. Soetarman, “Gereja di Tengah Perkembangan Ilmu dan Teknologi: Menjadi Bonsai?” dalam Fundamentalisme, Agama-Agama, dan Teknologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 119.

Al. Purwa Hadiwardoyo, Etika Medis (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 102.

Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 19.

Ibid., hlm. 53-54.

Bdk. Elisabeth Ross Kubler, On Death and Dying (New York: Macmillan Publishing Company, 1969), hlm. 84-85.

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani: eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, sedangkan thanatos berarti kematian. Jadi, secara etimoliogis, eutanasia dapat diartian sebagai “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”. Dalam kalangan medis, istilah eutanasia berarti usaha meringankan penderitaan walaupun disertai bahaya hidup pasien diperpendek.

Bdk., Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika, hlm. 10-11.

Dr. Gunawan, Memahami Etika Kedokteran (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 91.

Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manusia (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hlm. 21.

Bdk. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), hlm. 80.

W. J. S Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 21.

Bdk. Bonnie Steinbock, “Terminasi Kehidupan dengan Sengaja” dalam Etika Terapan (Yogyakarta: Tiara Wacana Togya, 2001), hlm. 336.

Andrew Varga, The Main Issue in Bioethics (New York: Ramsey, Paulist Press, 1984), hlm. 267-268.

Bdk., Corrine Bayley, “Terminating Treatment: Asking The Right Question”, dalam Hospital Progress (September, 1980), hlm. 142.

Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 45.

Bdk. Mochtar Lubis, “Dampak Teknologi pada Kebudayaan”, dalam Y. B. Mangunwijaya (ed. ), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol II (Jakarta: Obor, 1989), hlm. 8-9.

Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 15.

Paus Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, Seri Dokumen Gerejawi No. 41 (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996).

Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Hominis, Seri Dokumen Gerejawi No. 38 (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1979).

Piet Go, “Eutanasia”, dalam Analekta, VII/3 (1989), hlm. 33.

Paus Yohanes Paulus II, Salvici Doloris, Seri Dokumen Gerejawi No. 29 (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993).

Al Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 41.

Bdk. K. Bertens, “Dunia Medis Menghadapi Akhir Kehidupan”, dalamT. Sintak Gunawan (ed. ), Pasien Terminal: Aspek Medis dan Etis (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 64-65.

Ibid., hlm. 70.

Bdk. Piet Go. “Eutanasia”, Analekta, hlm. 24.

Bdk. G. Chalmers, “Dokter dan Eutanasia”, dalam Sketsa Studi Kehidupan dan Etika: Sintesis dan Analisis VI/10 (1990), hlm. 26.

Bdk. Bernard Haring, The Low of The Christ, Vol. 3. (The Mercier Press LTD, 1967), hlm. 123.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun