Mohon tunggu...
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Yustinus Hendro Wuarmanuk Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sembahyang Dalam Kehidupan Orang Keturunan Tionghoa Beragama Konghucu di Manado

17 April 2015   18:08 Diperbarui: 4 April 2017   16:50 8503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Pada umumnya orang-orang keturunan Tionghoa mengenal dan mempraktekkan penghormatan terhadap leluhur atau orang tua yang sudah meninggal. Praktek ini begitu meluas dan merakyat di kalangan mereka.

Khususnya bagi orang-orang keturunan Tionghoa beragama Khonghucu, praktek penghormatan terhadap leluhur itu dilakukan secara lebih intens lagi. Bagi mereka praktek itu merupakan suatu hal yang penting dan wajib untuk dilaksanakan. Bagi mereka, kewajiban itu tampak bukan sekedar sebagai penerusan tradisi masa lampau, tetapi lebih merupakan bagian dari penghayatan dan pengamalan iman mereka.

Adanya aturan-aturan yang ketat dan harus diikuti dengan benar dalam melaksanakan kegiatan sembahyang untuk leluhur, menunjukkan bahwa sembahyang untuk leluhur bukanlah suatu kegiatan yang bisa dilakukan secara asal-asalan, dan juga bukan suatu kegiatan yang tanpa makna. Apa sebenarnya makna sembahyang untuk leluhur bagi orang-orang keturunan Tionghoa beragama Khonghucu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kami melakukan penelitian tentang sembahyang untuk leluhur. Kami tidak secara langsung mengamati atau mengikuti kegiatan sembahyang itu, tetapi mengumpulkan data dan informasi lewat orang-orang keturunan Tionghoa yang beragama Khonghucu di Manado, khususnya mereka yang aktif berkecimpung di lembaga keagamaan Khonghucu di Manado.

I. Sekilas tentang Agama Khonghucu dan penganutnya di Manado

Agama Khonghucu dalam keyakinan pengikutnya merupakan sebuah agama yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia, yang datang beriringan dengan sejarah manusia itu sendiri. Agama Khonghucu diturunkan pada kaum tertentu yang dikenal sebagai orang Zhonghua/Tionghoa, di negara Zhongguo/Tiongkok, atau sering disebut negeri China.

Agama Khonghucu percaya akan Tuhan Yang Maha Esa yang biasa disebut Thian. Dan memiliki Kitab Suci yang diwahyukan Thian melalui para Nabi. Nabi terbesar dan terakhir adalah Nabi Khongcu. Ada delapan ajaran iman yang menjadi pokok iman agama Khonghucu, yakni: sepenuh iman percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sepenuh iman menjunjung kebajikan, sepenuh iman menegakkan Firman Gemilang (Watak Sejati), sepenuh iman menyadari adanya nyawa dan roh, sepenuh iman memupuk cita berbakti, sepenuh iman mengikuti genta rohani nabi Khongcu, sepenuh iman memuliakan Kitab She Su dan Wu Jing, serta sepenuh iman menempuh Jalan Suci.

Nama asli agama Khonghucu adalah Ru Jiao. Apa arti Ru Jiao? Huruf Ru dalam bahasa Huan Yu dibangun dari huruf Ren dan Xu. Ren berarti ‘manusia’, Xu berarti ‘perlu’. Dengan demikain Ru dapat berarti ‘yang diperlukan manusia’. Sedangkan huruf Jiao dibentuk dari huruf Xiao yang berarti ‘bakti’, dan huruf Wen yang berarti ‘ajaran’. Dengan demikian Jiao berarti ‘ajaran tentang berbakti’. Berdasarkan arti huruf Ru Jiao tersebut, maka Ru Jiao dapat dikatakan sebagai agama yang diperlukan untuk mengajarkan manusia berbakti. Atau dengan kata lain, Ru Jiao merupakan agama bagi orang yang taat, yang tulus berserah dan bertakwa kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa), yang halus budi pekertinya, yang terpelajar dan beroleh bimbingan. Karenanya umat Ru diisyaratkan menjadi orang yang Rou (lembut hati, halus budi pekerti, penuh susila), You (berbuat baik, lebih baik. Luhur dalam tingkah laku, He (harmonis dalam Yin dan Yang, selaras), dan Ru (bersuci diri, selalu memperbaiki dan membina diri).

Sebutan ‘agama Khonghucu’ untuk Ru Jiao berasal dari Fr. Matteo Ricci (1553-1610), seorang missionaris Katolik dari tarekat Jesuit, yang bermisi di Zhongguo. Beliau melihat peran Nabi Khongcu demikain penting dan sentral dalam Ru Jiao, karenanya beliau menyebut umat Ru Jiao dengan sebutan Confucian. Confucius merupakan latinisasi dari Khonghucu.

Masuknya agama Khonghucu di Manado seiring dengan kedatangan etnis Tionghoa di Manado. Beberapa faktor yang mendorong orang-orang Tionghoa sampai ke Manado adalah:

-Situasi dalam negeri Tiongkok

-Kepadatan penduduk

-Terbukanya perhubungan laut dengan negeri luar

-Adanya kesempatan membuka lapangan hidup baru

-Pemerintah penjajahan Belanda memerlukan tenaga orang-orang Tionghoa untuk keperluan pertukangan, perkebunan dan buruh.

Diperkirakan sejak tahun 1655, orang-orang Tionghoa sudah ada di Manado. Pada tahun itu, Pemerintah Hindia Belanda telah membuka Loji di Manado dan mendirikan benteng kayu. Keberadaan orang-orang Tionghoa pada tahun-tahun berikutnya ternyata kian berkembang. Beberapa fakta yang cukup kuat membuktikan keberadaan mereka di Manado, yakni:

-Adanya kampung Cina (China Town), serta klenteng pertama dan tertua di Manado yang dinamakan Klenteng Ban Hing Kong yang didirikan tahun 1819. Dan adanya rumah abu (Kong Tek Su) pada tahun 1839.

-Adanya pekuburan Tionghoa di daerah Gunung Wenang sejak tahun 1825 dan pekuburan Tionghoa di Teling sejak tahun 1902. Pekuburan-pekuburan itu kemudian ditutup dan dipindahkan ke Paal 2 (tahun 1961).

-Adanya suatu perkumpulan yang bernama Perserikatan De Chineesche Gemente Toapekong Manado yang didirikan pada tahun 1906.

Pada tahun 1971 dibentuk lembaga keagamaan Khonghucu di Manado yang disebut Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Manado. MAKIN Manado diresmikan keberadaannya oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) pada tahun 1972.

Sejak MAKIN Manado dibentuk, umat dan kegiatan keagamaan Khonghucu yang berpusat di klenteng Ban Hing Kong kian berkembang. Namun pada tahun 1983, sejak dikeluarkannya aturan-aturan Pemerintah yang kurang memihak agama Khonghucu, perkembangan agama Khonghucu di Manado mulai terhambat. Pada waktu itu mulai muncul gejolak pertentangan antara pimpinan Majelis; karena aturan Pemerintah, klenteng-klenteng yang semula bernaung di bawah lembaga MAKIN Manado, mulai bernaung pada organisasi Buddis, terutama Lembaga Tempat Ibadah Tiga Agama (TITD). Pemeluk agama Khonghucu kian terombang-ambing dengan munculnya isu ‘agama resmi, agama diakui’ dan juga aturan tentang pengisian kolom KTP. Akibatnya tak sedikit pemeluk agama Khonghucu beralih ke agama lain yang resmi dan diakui Pemerintah.

Karena pertentangan oknum-oknum pengurus klenteng Ban Hing Kong kian memojokkan pimpinan MAKIN Manado, maka pada tahun 1984 tempat ibadah umat Khonghucu dan organisasi MAKIN Manado dipindahkan dari klenteng Ban Hing Kong ke lokasi Sekolah Garuda.

Umat Khonghucu saat ini belum terdata secara akurat, karena banyak yang tersebar di klenteng-klenteng atau sebagai umat tradisionil yang tidak aktif dalam kebaktian-kebaktian. Umat Khonghucu di wilayah Manado yang sudah terdata kurang lebih berjumlah 300 orang, belum termasuk pemuda, remaja dan anak-anak. Rohaniwan Khonghucu di Manado berjumlah 29 orang. Tiga orang sebagai Wenshi (Ws) atau guru agama, dan 26 orang sebagai Jiaoshen (Js) atau penebar agama. Umat yang aktif kebaktian di Lithang sekitar 100 orang.

II. Tata cara sembahyang untuk leluhur

Sembahyang untuk leluhur tidak dilakukan secara sembarangan. Ada ketentuan-ketentuan menyangkut tempat, waktu, perlengkapan dan cara pelaksanaannya. Upacara ini bisa dilaksanakan secara perorangan atau bersama-sama.

II.1. Waktu dan Tempat Sembahyang Untuk Leluhur.

Sembahyang ini dilaksanakan di rumah masing-masing, yakni pada altar keluarga (Hio Hwee) atau di Bio Leluhur (Co Bio). Atau juga di tempat umum jika dilakukan secara bersama-sama, misalnya di pekuburan atau di halaman Lithang/Klenteng.

Tempat kebaktian keluarga/leluhur ada dua jenis, yaitu:


  1. Rumah Abu leluhur atau klenteng leluhur (Co Bio), umumnya di tempat ini pada altar diletakkan sienci (tulisan berupa nama-nama leluhur kaum). Rumah abu leluhur sekarang ada dua macam, yakni: rumah abu dari satu marga/satu kaum dan rumah abu untuk leluhur umum.
  2. Hio Hwee yaitu tempat abu leluhur per keluarga/rumah tangga; pada umumnya pada altar selain digunakan sienci, kini banyak digunakan foto leluhur yang dihormati.

II.2. Waktu Sembahyang

-Hari wafat leluhur atau orang tua

-Sembahyang Tutup Tahun tanggal 29 bulan 12 Imlek

-Sembahyang Ziarah (Cing Bing) tanggal 5 April

-Sembahyang Arwah Leluhur tanggal 15 bulan 7 Imlek

-Sembahyang Arwah Umum tanggal 29 bulan 7 Imlek

-Hari Twan Yang / Pek Cun tanggal 5 bulan 5 Imlek, yang bermakna harus mawas diri dan takwa kepada Firman Thian.

-Sembahyang Tiong Chiu tanggal 15 bulan 8 Imlek, yang merupakan pernyataan syukur kepada Malaikat Bumi (Hok Tik Cing Sien) atas berkah yang dilimpahkan Tuhan melalui bumi ciptaanNya bagi umat manusia.

-Sembahyang He Gwan tanggal 15 bulan 10 Imlek, sebagai ucapan syukur atas berkah yang dicurahkan Tuhan dalam setahun.

-Sembahyang Hari Persaudaraan tanggal 24 bulan 12 Imlek yang bertepatan dengan turunnya Malaikat Dapur, yang bermakna introspeksi diri atas perbuatan selama setahun.

II.3. Perlengkapan

Perlengkapan untuk sembahyang ini terdiri dari altar, foto leluhur/orang tua, tempat dupa, lilin dan tempatnya, sajian, dan dupa. Perlengkapan sembahyang ini diletakkan dan diatur menurut ketentuan yang ada. Perlengkapan sembahyang dapat ditambah sesuai kebiasaan setempat, a­salkan tidak bertentangan dengan maksud penghormatan kepada Leluhur. Sebagai tambahan, biasanya di altar leluhur juga diletakkan Kitab Suci Su Si, dekat sienci atau foto leluhur.

Altar atau meja sembahyang yang dipakai umumnya berjumlah dua. Altar pertama disebut Ciok Tuk, bentuknya empat persegi panjang dan lebih tinggi dari altar yang diletakkan di depannya. Sedangkan altar kedua, yang diletakkan di depan Ciok Tuk disebut Ki Tuk. Ki Tuk berbentuk bujur sangkar dan lebih rendah daripada Ciok-tuk. Bila altar leluhur hanya memakai satu meja saja, yaitu Ki-tuk saja, maka tingginya dibuat lebih tinggi sedikit dari pada meja makan biasa, dan penyusunan altar disesuaikan. Altar/meja sembahyang leluhur diletakkan di bagian tengah rumah atau tempat yang menghadap pintu ke luar, dan dirawat selayaknya tempat suci, serta di atasnya tidak diletakkan benda-­benda yang tidak berhubungan dengan peralatan upacara. Tata letak perlengkapan sembahyang di atas altar dapat dilihat pada gambar berikut ini.



Keterangan gambar:

A Sienci atau foto leluhur.G. Kue Ku (kura)

B. Hio Lo (tempat dupa)H. Hwat Kwee (kue mangkuk)

C. Tee-liau: l) Teh2) Arak 3) ManisanI. Wajik

D. Nasi, sayur dll.J. Cik-tai (tempat lilin)

E. Jeruk

F. PisangK. Tuk-wi (kain penutup bagian depan altar)

Teh dan arak ataupun manisan masing-masing disediakan sejumlah dua, melambangkan sifat Yin dan Yang, sebagaimana juga hio yang digunakan 2 batang atau kelipatannya.

Sajian yang diletakkan di atas altar, bukan dimaksudkan untuk memberi makan arwah orang yang telah mati, tetapi untuk menyatakan ketulusan dan kesungguhan hati dalam memberikan penghormatan.

II.4. Tata Cara Pelaksanaan Sembahyang

Sembahyang untuk leluhur yang dilakukan di rumah secara perorangan, terbagi atas dua bagian pokok, pertama sembahyang kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa), dan kedua sembahyang untuk leluhur. Caranya adalah sebagai berikut:

A. Sembahyang kepada Thian:

1. Berdiri menghadap pintu ke luar rumah atau jendela sambil memegang tiga

batang dupa yang telah dinyalakan.

Dupa yang digunakan adalah dupa harum yang bergagang merah.

Sikap tangan dalam memegang dupa dilakukan dengan sikap Pau Thai Kik Pat Tik, yakni tangan kanan (dengan memegang dupa) dikepalkan lalu ditutup dengan tangan kiri; ibu jari kiri dan kanan dipertemukan membentuk huruf Jien/Ren (). Sikap tangan ini dikenal sebagai sikap delapan kebajikan mendekap pelambang hidup.

2. Dupa dinaikkan secara Ting Lee.

Tangan yang sudah dirangkapkan/dikepalkan seraya memegang dupa, ditempatkan di bawah pusar, lalu dinaikkan sampai di atas dahi. Gerakan tangan ini diulang sebanyak 3 kali untuk mengungkapkan penghormatan setinggi-tingginya kepada Tuhan.

3. Dupa ditancapkan pada tempat dupa yang disediakan.

Setelah menaikkan dupa secara ting lee sebanyak 3 kali, dupa ditancapkan di tempat dupa yang biasanya terletak dekat pintu atau jendela. Untuk menancapkan dupa ada aturannya. Dupa ditancapkan dengan tangan kiri, sebab tangan kiri melambangkan unsur Yang atau positif. Unsur positif biasa untuk menyatakan hal-hal yang bersifat rohani. Dupa pertama ditancapkan di tengah-tengah tempat dupa. Dupa kedua ditancapkan di sebelah kanan dupa pertama. Dan dupa ketiga ditancapkan di sebelah kirinya.

Membakar dupa mengandung makna: “Jalan Suci itu berasal dari kesatuan hatiku; hatiku dibawa melalui keharuman dupa”. Selain itu dupa juga digunakan untuk menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, mengusir hawa atau hal-hal yang bersifat jahat.

4. Bersikap Pau Siem Pat Tik dan menaikkan doa kepada Thian.

Setelah dupa ditancapkan, dilanjutkan dengan bersikap Pau Siem Pat Tik.

Sikap Pau Siem Pat Tik artinya: telapak tangan kanan dalam keadaan terbuka, telapak tangan kiri juga terbuka; telapak tangan kiri merangkap punggung tangan kanan dan kedua ibu jari dipertemukan membentuk huruf Jien/Ren, lalu didekapkan ke dada. Sikap tangan ini dilakukan dalam keadaan berdiri.

Sementara bersikap Pau Siem Pat Tik, doa kepada Thian dipanjatkan:

Ke hadirat Thian Yang Maha Besar, di tempat Yang Maha Tinggi, de­ngan bimbingan Nabi Khongcu, dipermuliakanlah.

Diperkenan kiranya kami melakukan sujud sebagai pernyataan bakti kepada leluhur kami. Kami berdo'a semoga Tuhan berkenan bagi para Arwah-beliau itu selalu di dalam Cahaya Kemuliaan Kebajikan Thian, sehingga damai dan tenteram yang abadi boleh selalu padanya.

Siancai.

5. Mengakhiri doa dengan sikap Ting Lee.

Tangan membentuk sikap Pau Thai Kik Pat Tik dan dilanjutkan memberi hormat secara Ting Lee sebanyak satu kali.

B. Sembahyang di hadapan altar leluhur atau orang tua.

Setelah sembahyang kepada Thian, dilanjutkan sembahyang di hadapan altar

leluhur atau orang tua. Caranya:

1. Berdiri di hadapan altar leluhur sambil memegang dua dupa yang telah

dinyalakan.

Seraya berdiri, tangan membentuk sikap Pau Thai Kik Pat Tik sambil memegang dua dupa yang telah dinyalakan. Rankapan atau kepalan tangan yang sedang memegang ditempatkan di bawah pusar.

2. Dupa dinaikkan secara Ting Lee.

Dupa yang dipegang tersebut dinaikkan dengan cara Ting Lee sebanyak 2 kali.

3. Dupa ditancapkan.

Dupa ditancapkan di tempat dupa yang terletak di altar leluhur. Dupa ditancapkan secara bersamaan.

4. Bersikap Pau Siem Pat Tik dan berdoa.

Sementara bersikap Pau Siem Pat Tik, pendoa mengungkapkan doanya di hadapan altar leluhur dengan berkata:

Ke hadapan leluhur (atau nama/panggilan kita kepada beliau yang dihormati) yang kami cinta dan hormati, terimalah hormat dan bakti kami.

Segenap kasih dan teladan mulia yang telah kami terima, akan tetap kami junjung dan lanjutkan serta kembangkan, sebagaimana Nabi Khongcu telah menyadarkan dan membimbing diri kami.

Kami selalu akan berusaha menjaga keharuman serta keluhuran nama keluarga dan leluhur kami, tidak menodai dan memalukan. Terimalah hormat dan bakti kami.

Siancai.

5. Doa diakhiri dengan sikap Ting Lee.

II.5. Surat Doa

Susunan doa (kata-katanya) yang dipakai pada pelaksanaan sembahyang leluhur di atas merupakan petunjuk atau contoh, tidak harus selalu itu atau selalu terikat demikian, tetapi dapat disesuaikan me­nurut keperluan. Tetapi dalam upacara-upacara besar, seperti sembahyang Ching Bing atau sembahyang untuk arwah leluhur, ada doa khusus (surat doa) yang harus didoakan.

Isi surat doa dalam sembahyang Ching Bing untuk arwah umum, yakni:

Puji dan syukur kami naikkan, Thian, Tuhan yang Maha Esa telah ber­kenan kami berhimpun bersama pada hari Ching Bing hari Gilang Ge­milang yang suci ini, melaksanakan upacara pengenangan dan penghor­matan bagi arwah para leluhur, orang tua maupun saudara kami yang telah mendahului. Kami panjatksn doa kiranya Thian berkenan meneri­manya di dalam cahaya kemuliaan Kebajikan, sehingga damai dan ten­teram yang abadi boleh besertanya.

Diperkenan pula kiranya kami naikkan hormat puji kepada yang kami hormati : Malaikat Bumi (Hok Tik Cing Sien) yang selalu menjadi pera­wat bagi kehidupan di semesta alam atau di atas dunia ini. Dipermuliakanlah.

Ke hadapan yang kami hormati Hok Tik Cing Sien, kami naikkan, hormat atas segenap kasih dan perawatan yang telah diberikan atas kehidupan di bumi ini maupun bagi arwah para leluhur, orang tua maupun saudara kami yang telah mendahulu itu.

Penghormatan ini kiranya menjadi pendorong bagi kami untuk selalu berperi laku luhur dan mulia sebagai yang Thian firmankan serta yang dilambangkan oleh nama yang kami hormati, bahwa Kebahagiaan/Rakh­mat (Hok) dan Kebajikan (Tik) adalah merupakan kesatuan, kemanung­galan yang tak terpisahkan.

Dipermuliakanlah.

Para arwah leluhur, orang tua dan saudara kami yang telah jauh, pada hari Ching Bing, hari yang gemilang dan suci ini, terimalah hormat kami. Kami kenangkan bersama masa-masa lampau para leluhur yang telah serta sebagai peletak dasar peradaban dan penerus kehidupan ini.

Kami yakin, segala yang mulia itu telah terbit dari Kebajikan, berbuah dari pengorbanan dan pengabdian para leluhur.

Sungguh, ini patut dan wajib kami kenang, kami hayati dan kami suri teladani sehingga menjadi pedoman dan teguh di dalam Iman menghadapi tantangan dan segenap kewajiban hidup kami.

Saat ini semuanya kami sajikan dengan setulus hati dan sapenuh Keba­jikan akan persembahan pernyataan bakti kami. Semoga, semua ini, para leluhur berkenan menerima sebagai pernyataan hormat dan kenangan suci kami. Kami yakin, Thian telah berkenan memberi tempat yang sentosa bagi para leluhur dan semua orang yang telah mendahului kami.

Dipermuliakanlah.

Sedangkan isi surat doa dalam sembahyang arwah leluhur, adalah:

Puji dan syukur kami panjatkan dalam bulan suci Chiet Gwee ini, diper­kenan kiranya kami berhimpun melaksanakan sembahyang penghormatan dan pengenangan kembali atas arwah para leluhur, umat yang telah le­bih dahulu menunaikan kewajiban hidupnya di atas dunia ini.

Semoga bagi para arwah leluhur itu berkenan Thian memberikan tempat yang tenteram dan damai dalam cahaya kemuliaan Kebajikan, Cahaya Su­ci Tuhan.

Dipermuliakanlah.

Para leluhur, para saudara serta segenap umat yang telah mendahului; dalam rakhmat Thian dengan bimbingan Nabi Khongcu, terimalah hor­mat dan persembahan kami. Saat ini kami kenangkan kembali sejarah kemanusiaan di muka bumi ini; bahwa yang dapat kami miliki dan alami serta jalankan dalam hidup yang kini tidak dapat lepas dari yang telah lampau.

Sebagai penerusan daripada hal-hal yang lama, dari peristiwa-peristiwa yang lalu, yang baik maupun yang buruk, yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, semuanya itu menjadi pelajaran bagi kami yang masih menunaikan kewajiban hidup saat ini, juga bagi generasi penerus yang mendatang.

Dan sembahyang yang kami selenggarakan ini, semoga menjadi kenangan yang memberi dorongan dan kesediaan untuk selalu mengusahakan diri dalam Kebajikan, karena daripadanyalah boleh diturunkan berkah dan rahmat Tuhan.

Dipermuliakanlah.

Pada upacara-upacara besar tersebut (Ching Bing dan Sembahyang Arwah Leluhur), selain dibacakan doa-doa khusus tersebut, dibacakan juga ‘Teks Hari Sembahyang Leluhur’ yang bersangkutan. Teks itu menerangkan arti maupun sejarah upacara yang dilakukan.

III. Makna Sembahyang untuk leluhur

III.1. Mewujudkan cita-cita leluhur menjadi Roh Suci (Shen Ming)

Kehidupan manusia di dunia dalam iman agama Khonghucu dibangun oleh adanya daya hidup Ilahi (Shen) dan daya hidup duniawi (Kwie). Keduanya harus berpadu harmonis dalam kehidupan manusia, sehingga manusia hidup selaras sesuai Firman Thian. Shen terdiri dari Semangat (Khi) yang bersifat positif dan Roh (Ling) yang bersifat negatif; Roh menjadi perwujudan tentang adanya semangat. Sedangkan Kwie terdiri dari Nyawa (Hun) yang bersifat positif dan jasad (Phik) yang bersifat negatif; jasad menjadi perwujudan adanya nyawa. Ketika seseorang meninggal, maka semangat (Khi) akan ke atas, kembali kepada Tuhan, sedangkan jasad (Phik) akan kembali ke bumi. Sementara itu Roh (Ling) dan Nyawa (Hun) bila sudah disempurnakan akan menjadi Roh Suci (Shen Ming).

Orang meninggal yang menjadi Roh Suci artinya menjadi seperti malaikat. Ia dikatakan telah Pei Tian, bersatu dengan Thian di alam Xian Thian. Menjadi Roh Suci atau Shen Ming inilah yang merupakan cita-cita terdalam umat Khonghucu. Suatu cita-cita yang sudah diupayakan selama masih hidup di dunia.

Syarat untuk menjadi Shen Ming adalah adanya kesempurnaan Ling dan Hun. Jalan untuk mencapai kesempurnaan itu adalah melakukan kebajikan secara sempurna semasa hidup di dunia, sebab hanya pada kebajikanlah Thian berkenan. Hanya kebajikan yang dapat menghantar Ling dan Hun sampai pada kesempurnaan dan keharmonisan, serta boleh sampai ke alam Thian. Jika Ling dan Hun orang yang meninggal belum mencapai kesempurnaan semasa hidupnya di dunia, maka kesempurnaan Ling dan Hun orang yang meninggal tersebut akan menjadi tanggung jawab keturunannya, yaitu melalui persembahyangan. Dari keyakinan dasar inilah kita bisa melihat alasan yang mendorong seorang anak melakukan sembahyang untuk leluhur atau orang tuanya yang sudah meninggal. Sembahyang untuk leluhur bagi seorang anak bermakna mau melanjutkan atau mewujudkan cita-cita orang tuanya yang telah meninggal menjadi Roh Suci atau Shen Ming.

III.2. Sembahyang untuk leluhur: Kelanjutan laku bakti anak kepada orang tua.

Ketika melakukan sembahyang untuk leluhur, sikap tangan yang harus dibentuk waktu memegang dan menaikkan dupa secara Ting Lee serta waktu melakukan hormat di akhir doa, prinsipnya menggunakan sikap pai. Sikap tangan pai artinya tangan kiri merangkap atau mendekap punggung tangan kanan, dan kedua ibu jari dipertemukan membentuk huruf Jien/Ren.

Jari tangan dan sikap tangan secara pai itu mempunyai makna tersendiri. Ibu jari kiri melambangkan ayah. Ibu jari kanan melambangkan ibu. Kedua ibu jari yang dipertemukan dan membentuk huruf Jien (), berarti ‘manusia’. Delapan jari yang lain melambangkan Delapan Kebajikan, yakni: berbakti (Hau), rendah hati (Tee), satya (Tiong), dapat dipercaya (Sien), Susila (Lee), menjunjung kebenaran/keadilan/ kewajiban/kepantasan (Gi), suci hati (Liam), tahu malu/sadar akan harga diri (Thi). Kesatuan genggaman melambangkan Thian, Tuhan Yang Maha Esa. Jika rangkapan tangan itu didekapkan pada dada atau ditempatkan di depan hulu hati, maka akan melambangkan ‘selalu ingat’. Dengan demikian sikap tangan pai yang didekapkan atau ditempatkan di depan dada/hulu hati mempunyai makna: “Aku selalu ingat, bahwa dengan perantara ayah bunda, Thian telah berkenan menjadikan daku manusia; manusia wajib melaksanakan Delapan Kebajikan”.

Makna sikap tangan pai tersebut menekankan dua hal, yakni menyadari tentang siapa diri ini dan menyadari apa yang wajib dilakukan. Seorang anak ketika sembahyang untuk leluhur dengan menggunakan sikap tangan itu pada dasarnya mau mengatakan bahwa ia menyadari dirinya berasal dari ayah dan ibu, dan karena menyadari asalnya itu maka ia wajib menjalankan kebajikan. Kebajikan menjadi konteks dari tindakannya bersembahyang untuk leluhur. Dengan kata lain, kebajikan memiliki kaitan erat dengan tindakan sembahyang untuk leluhur. Apa itu kebajikan? Dan bagaimana melaksanakannya?

Dalam ajaran iman agama Khonghucu, ditekankan bahwa pokok dari kebajikan adalah laku bakti (hau). Adapun Laku Bakti itu dimulai dengan mengabdi kepada orang tua, selanjutnya mengabdi kepada pemimpin dan akhirnya menegakkan diri. Berlaku bakti kepada orang tua merupakan balas budi seorang anak atas jasa dan pengorbanan orang tuanya. Kewajiban berlaku bakti terhadap orang tua tidak sebatas ketika orang tua masih hidup, tetapi berlaku juga ketika orang tua sudah meninggal. Pada saat hidup, anak wajib melayani orang tua sesuai dengan Kesusilaan; ketika meninggal dunia, dimakamkan sesuai dengan Kesusilaan; dan disembahyangi sesuai dengan Kesusilaan.

Sebuah pepatah Cina kuno mengatakan “apabila menerima budi sebanyak setetes air, balaslah budi itu dengan air dari sumber yang mancur tiada henti-hentinya” (Tik Jien Tiam Sui Ci In, Su Tong Yong Cwan Ci Po). Budi orangtua tidak mungkin dibalas oleh anak disepanjang hidup orangtuanya. Karena itu agama Khonghucu mengajarkan sembahyang leluhur sebagai kelanjutan Laku Bakti dari anak-anaknya terhadap orangtua yang telah tiada. Sebagai tanda hormat dan bakti seumur hidup dari seorang anak bagi orang tuanya yang telah tiada.

III.3. Sembahyang untuk leluhur: Alat pendorong bagi diri sendiri untuk berlaku bakti

Sembahyang untuk leluhur selain daya gunanya terarah untuk arwah sang leluhur, terarah juga untuk orang yang melakukan sembahyang. Jika leluhur yang sudah meninggal telah mencapai kesempurnaan dan menjadi Roh Suci atau Shen Ming, maka dengan bersembahyang kepada leluhur tersebut, sang pendoa akan mendapat berkah dan rahmat dari Thian yang tersalur lewat sang leluhur.

Namun daya guna yang terpenting dari sembahyang untuk leluhur adalah lahirnya dorongan dalam diri si pendoa untuk lebih berlaku bakti sebagai pokok kebajikan, dan membina diri mencapai kesempurnaan hidup yang selaras dengan Watak Sejati yang dianugerahkan Thian.

Dengan sembahyang kepada arwah leluhur menjadikan orang senantiasa ingat akan tanggung jawabnya kepada yang telah mendahuluinya, akan membina diri, hati-hati dalam perbuatan dan takut menodai mereka yang telah mendahului. Dengan hormat kepada Leluhur berarti pula hormat setia kepada Tuhan, membawa perbuatannya berkenan kepada Tuhan sehingga boleh membawa berkah bagi dunia. Dan dengan sembahyang kepada Lelu­hur, meneguhkan iman setia melaksa­nakan Firman Tuhan dan mencintai, tenggang-rasa, tepa-salira kepada sesama mahluk Tuhan dan menyayangi lingkungan hidupnya.

Tekanan yang menjadikan sembahyang untuk leluhur sebagai alat pendorong atau pemacu untuk lebih berbakti,dan hidup selaras sesuai Frman Thian tampak dalam doa yang diucapkan: “Kami selalu akan berusaha menjaga keharuman serta keluhuran nama keluarga dan leluhur kami, tidak menodai dan memalukan.” atauDan sembahyang yang kami selenggarakan ini, semoga menjadi kenangan yang memberi dorongan dan kesediaan untuk selalu mengusahakan diri dalam Kebajikan, karena daripadanyalah boleh diturunkan berkah dan rahmat Tuhan.”

III.4. Sembahyang untuk leluhur: Merupakan sujud bakti kepada Tuhan

Dalam struktur tata cara pelaksanaan sembahyang untuk leluhur, doa tidak langsung diarahkan kepada leluhur, tetapi lebih dulu memanjatkan doa kepada Tuhan. Tuhan yang diimani adalah Tuhan yang melampaui segala keberadaan yang ada. Tuhan Pencipta Semesta. Keberadaan Tuhan yang sedemikian dilambangkan dengan berdoa menghadap pintu ke luar atau jendela.

Dengan menyimak struktur pelaksanaan sembahyang leluhur tersebut, kita bisa menangkap adanya suatu pandangan yang menyatakan bahwa kedudukan Tuhan lebih tinggi daripada kedudukan leluhur. Karenanya Tuhan layak dihormati setinggi-tingginya melebihi penghormatan terhadap leluhur. Indikasi kebenaran pandangan ini didukung oleh jumlah pengulangan penaikkan dupa. Untuk Tuhan atau Thian, dupa dinaikkan sebanyak 3 kali. Untuk leluhur, dupa dinaikkan 2 kali.

Di samping itu dari struktur pelaksanaan sembahyang ini, di mana doa kepada Thian mendahului doa untuk/kepada leluhur, upacara sembahyang leluhur tidak hanya bermakna sebagai kelanjutan laku bakti dari anak-anak kepada orang tuanya yang telah tiada, tetali lebih dari itu, sembahyang leluhur tampak merupakan persujudan bakti kepada Sang Maha Leluhur umat manusia, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa, Pencipta dan Pemilik alam semesta. Dengan pandangan seperti ini, maka dapat dimengerti mengapa seorang anak yang berbakti tidak akan mewakilkan upacara sembahyang kepada orang lain. Seorang anak berbakti akan berusaha menghadiri sendiri upacara sembahyang untuk leluhurnya.

PENUTUP

Demikianlah beberapa pandangan tentang kegiatan sembahyang untuk leluhur yang dilakukan oleh orang-orang keturunan Tionghoa beragama Khonghucu di Manado. Selain apa yang kami ungkapkan dalam laporan penelitian ini, masih terbuka peluang untuk menganalisis praktek sembahyang untuk leluhur lebih dalam dan lebih luas lagi. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Daftar Pustaka:




    1. MATAKIN, Kitab Tata Agama dan Tata Pelaksanaan Upacara Khonghucu, 1984.
    2. MAKIN MANADO, Buku Kenangan Perayaan Hari Lahir Nabi Khongcu 2556, 2005
    3. Js. Sofyan Jimmy Yosadi, SH., Makna Agama di Balik Tradisi dan Sekilas tentang Klenteng Kwan Kong Manado. Manado: Teratai Emas, 2005.
    4. Js. Sofyan Jimmy Yosadi, SH., “Sekilas Mengenal Lebih Jauh Tentang Agama Khonghucu (Ru Jiao)”. Manado, 2006.

Nara Sumber:

1.Ws. Drs. Hanny Kilapong, SE (Anggota Dewan Penasehat MAKIN Manado periode 2004-2008).

2.Js. Sofyan Jimmy Yosadi, SH (Sekretaris Umum MAKIN Manado periode 2004-2005).

3.Marchanti Tilung, SE (Wakil Sekretaris MAKIN Manado periode 2004-2008)

4.Js. Anitje Labang, S. Pd (Bidang Litbang & Hukum MAKIN Manado periode 2004-2008)

5.Jieriani Doerachman (Bidang Peribadahan & Pengasuh Kebaktian MAKIN Manado periode 2004-2008)

Sienci atau foto leluhur kadang-kadang diletakkan di dalam rumah-rumah­an yang disebut Kham atauSienci Kham.

Nasi, sayur sawi dll. terserah keinginan keluarga. Boleh lengkap menurut tradisi, boleh sederhana,

umpamanya sekedarmakanan yang disukai sang almarhum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun