Mohon tunggu...
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Yustinus Hendro Wuarmanuk Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masa Reneissance

20 Maret 2015   14:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:22 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASA RENESSAINCE

(Sebuah Pendekatan Fisafati dalam Memahami Konteks Ketuhanan Menurut Filsuf Rene Descartes, Blais Pascal, dan Baruch de Spinoza)

Yustinus Hendro Wuarmanuk, S. Fils

PENDAHULUAN

“Tak ada budaya besar di dunia ini yang tidak berketuhanan”. Dalam bentuk-bentuk yang cukup berbeda semua budaya teresapi oleh suatu keyakinan-keyakinan yang sedemikian mendasar sehingga tidak harus khusus dijelaskan, tapi diyakini dalam lingkungan budaya masing-masing yang ditempatkan dalam wawasan dimensi adi-duniawi. Dalam penghayatan aseli sampai pada penghyatan agama-agama Abrahamistik, agama Budha, Hindu dan agama-agama lainya tetap meyakini bahwa Allah itu ada. Keberadaan Allah dalam pengertian agama-agama di atas dianggap sebagai Allah pencipta langit dan bumi. Dalam konteks ini munculah berbagai atribut yang mau menerangkan tentang Tuhan itu. Brahman, Atman, Maya (trimutri dalam pandangan Hindu), Allah/Yahwe (dalam pandangan agama Abrahamistik) dan sebagainya.

Pertanyaannya apakah situasi penghayatan akan Tuhan ini (seperti pada abad-abad awal) akan selalu mewarnai rentetan perkembangan iman manusia pada abad-abad selanjutnya? Pengalaman membuktikan bahwa ternyata situasi ini berubah dengan munculnya modernitas sejak abad ke-17 di Eropa dengan mulai meragukan tentang Ketuhanan. Reformasi Protestan (abad ke-16) sudah menolak banyak klaim Gereja. Abad ke-17 empirisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman indrawi. Pada akhir abad ke-18 muncul filosof-filosof materialis pertama yang mengembalikan keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adi-duniawi. Dalam abad ke -19 dasar-dasar ateisme filosofis telah dibangun. Pengetahuan ilmiah dianggap harus menggantikan kepercayaan akan Tuhan. Akhirnya, di abad ke-20, filsafat untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahuan segala sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan mulai tersingkir oleh keasyikan budaya konsumstik. Akibatnya manusia moderen skeptis tentang Tuhan .

Rene Descartes (1596-1650), Blais Pascal (1623-1663) dan Baruch de Spinoza(1632-1677). Adalah para pemikir yang berusaha menjelaskan konsep Tuhan dalam terang masa Renessaince (abad ke-13-abad ke-15). Berikut ini pertama akan digambaran tentang konsep Tuhan dengan pertama-tama berangkat dari pengertian masa Renessaince dengan melihat latar belakang dan ide sentral dalam masa Renessaince tersebut. Bagian berikut akan menitikberatkan pada konsep Tuhan dalam pandangan para filsuf masa Renessaince tersebut.

BAGIAN I

MASA RENESSANCE

1.Latar Belakang Perkembangan Filsafat Pada Masa Renessance

Salah satu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya sendiri berlangsung di Eropa antara abad ke-13 dan ke-17. Di abad Pertengahan (dari abad ke-10 memuncak abad ke -13 sampai abad ke 15 ), manusia memandang segala sesuatu dari sudut pandangan Allah. Apapun yang dipertanyakan dari sudut bagaimana kaitanya dengan Allah yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, dan menyelamatkan manusia dan seluruh alam ciptaan. Tetapi pada 400 tahun kemudian manusia menjadi titik acuan. Apapun yang dipertanyakan dari sudut pandang manusia, termasuk Tuhan.Inilah peralihan dari paradigma Teosentrik-Antroposentrisme.

Jauh sebelum masa Renessaince, biji-biji wawasan baru sudah kelihatan jelas. Di abad Pertengahan ada dua unsur yang mencolok. Yang pertama adalah pertentangan antara kaisar dan paus. Kaisar itulah ‘raja para raja’ dan Paus sebagai ‘penguasa rohani’. Keduanya saling ‘bergantung, bersaing dan berebutan kekuasaan’. Konsekwensinya munculah perbedaan konsep dalam rakyat biasa bahwa ada perbedaan antara ‘wilayah dunia’ dan wilayah ilahi’. Unsur kedua yang sangat penting bagi perkembangan intelektual Eropa (tepatnya Eropa “Latin”) bahwa bahasa Latin menjadi bahasa ilmiah dan diterimanya filsafat Aristoteles sebagai karangka filsafat utama di Eropa Barat.

Satu abad kemudian, abad ke-14 Dunia Kristiani mulai menemukan kembali cita-cita kemanusiaan Romawi dan Yunani. Tulisan-tulisan paling penting zaman Romawi dan Yunani kuno dicari, diteliti dan diedit dengan asyik bukan hanya tulisan-tulisan filsafat tetapi juga sastra, serta diterjemahkan kedalam bahasa Italia. Patung-patung Yunani yang mencerminkan keindahan tubuh manusia menjadi pendorong seni di Italia dan Eropa. Kekaguman pada budaya Yunani dan Romawi akan menjadi unsur hakiki dalam wawasan intelektual dan budaya Eropa.

Dengan demikian, sesudah Eropa Kristiani, denganbantuan Aristoteles, mulai berani berpikir sendiri, Eropa juga mulai membebaskan diri dari perspektif budaya yang secara ekslusif ditentukan oleh agama. Karena itu gerakan kembali ke warisan budaya Romawi dan Yunani pra-Kristiani ini disebut Humanisme. Humanisme memiliki wawasan luas dan optimistik yang menolak segala kepicikan dan fanatisme. Adalah sangat menarik bahwa digaris depan antusiasme humanistik ini tidak hanya ditemukan para pangeran dan bangsawan kota-kota kaya tapi juga Gereja. Selama 200 tahun para Paus menarik para seniman terbesar Roma untuk mempercantik gereja-gereja dan istana-istana kota itu.

2.Masa Renessaince

Zaman Renaissans adalah zaman kelahiran-kembali (Renaissance, bahasa Prancis) kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M. Sesudah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran Kristiani. Namun, orang-orang kini mencari orientasi dan inspirasi baru sebagai alternatif bagi kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini juga dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.

Kebudayaan Yunani-Romawi adalah kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai subjek utama. Filsafat Yunani, misalnya menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus-menerus memahami lingkungan alamnya dan juga menentukan prinsip-prinsip bagi tindakannya sendiri demi mencapai kebahagiaan hidup (eudaimonia). Kesusastraan Yunani, misalnya kisah tentang Odisei karya penyair Yunani Kuno, Homerus, menceritakan tentang keberanian manusia menjelajahi suatu dunia yang penuh dengan tantangan dan pengalaman baru.Arsitektur Yunani-Romawi mencerminkan kemampuan manusia dalam menciptakan harmoni dari aturan hukum, kekuatan, dan keindahan.

Selain itu, kemampuan bangsa Romawi dalam bidang tehnik dan kemampuan berorganisasi pantas mendapatkan acungan jempol. Semua ini jelas menunjukkan bahwa kebudayaan Yunani-Romawi memberikan tempat utama bagi manusia dalam kosmos. Suatu pandangan yang biasa disebut dengan ''Humanisme Klasik''. Kebudayaan Renaissance ditujukan untuk menghidupkan kembali Humanisme Klasikyang sempat terhambat oleh gaya berpikir sejumlah tokoh Abad Pertengahan. Apabila dibandingkan dengan zaman klasik yang lebih menekankan manusia sebagai bagian dari alam atau polis (negara-negara kota atau masyarakat Yunani Kuno). Humanisme Renaissance jauh lebih dikenal karena penekanannya pada individualisme. Individualisme yang menganggap bahwa manusia sebagai pribadi perlu diperhatikan. Kita bukan hanya umat manusia, tetapi kita juga adalah individu-individu unik yang bebas untuk berbuat sesuatu dan menganut keyakinan tertentu.

Kemuliaan manusia sendiri terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dan dalam posisinya sebagai penguasa atas alam. Gagasan ini mendorong munculnya sikap pemujaan tindakan terbatas pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal. Gambaran manusia di sini adalah manusia yang dicita-citakan Humanisme Renaissance yaitu manusia universal (Homo Universale).

Dengan demikian, Humanisme merupakan unsur paling mencolok suatu zaman yang sejak abad ke-19 disebut Renessaince (kelahiran kembali). Karena menyaksikan kelahiran kembali zaman “klasik” Yunani dan Romawi yang berlangsung sekitar 1350 sampai abad ke-16. Ada pelbagai perkembangan yang kelihatan bertentangan, tetapi bersama menghasilkan sinergi yang meluncurkan Eropa ke jalan modernisasi.

Masa Renessaince bukan hanya puncak Humanisme, melainkan juga masa di mana keagamaan menemukan hakekatnya kembali. Semangat keduniaan untuk sementara menyusut lagi. Konflik Kekristenan dan Islam di Spanyol, dan konflik antara Gereja Katolik dan Protestan, menghasilakan gerakan kembali ke batin orang. Orang beragama dari lubuk hatinya, ia sempit daripada luas, fanatik daripada toleran, rohani daripada duniawi, mistik daripada estetik.

Namun ditengah kebangkitan kembali agama mencuat salah satu unsur paling kunci modernitas: kesadaran akan subjektivitas. Subjek “aku” sebagai yang mengerti dan menghendaki dan bertindak. Bukan sebagai benda tetapi sebagai kesadaran diri. Kesadaran yang sadar bahwa dirinya sadar. Bahwa manusia adalah subjek mau mengatakan bahwa manusia tidak sekedar hadir dalam dunia, melainkan hadir dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi, dengan mengambil jarak, secara kritis dan bebas.

BAGIAN II

TUHAN DALAM PEMIKIRAN PARA FILSUF ZAMAN RENESSAINCE

II.1. Tuhan dalam Pandangan Rene Descartes (1596-1650)

A.Biografi Rene Descartes

Rene Descartes(1596-1650) adalah filsuf berkebangsaan Prancis. Di samping ia dikenal sebagai filsuf, ia juga adalah ilmuan dan matematikawan dan terkadang ia disebut sebagai bapak filsafat modern. Descartes lahir di La Haye en Touraine (sekarang Descartes), Indre-et-Loire, Prancis. Ketika ia berusia satu tahun, ibunya Jeanne Brochard meninggal. Ayahnya Joachim adalah anggota Parlement of Brittany di Rennes.Pada 1606 atau 1607 ia masuk Jesuit Royal College Henry-Le-Grand di La Fleche di mana ia diperkenalkan untuk matematika dan fisika, termasuk pekerjaan Galileo. Setelah lulus pada bulan Desember 1616, ia belajar di Universitas Poitiers, mendapatkan baccalauréat dan lisensi dalam hukum, sesuai dengan keinginan ayahnya bahwa ia harus menjadi seorang pengacara.

"Saya sepenuhnya meninggalkan studi tentang surat. Menyelesaikan untuk tidak mencari pengetahuan lebih dari yang dapat ditemukan dalam diri saya atau yang lain dalam buku besar dunia, saya menghabiskan sisa masa mudaku bepergian, mengunjungi pengadilan dan tentara, pencampuran dengan orang dari beragam temperamen dan peringkat, mengumpulkan berbagai pengalaman, menguji diri dalam situasi yang keberuntungan menawari saya, dan setiap saat merenungkan apa pun yang datang dengan cara saya agar memperoleh beberapa keuntungan dari itu. " (Descartes, Discourse on Method tersebut).

Pada 1618, Descartes terlibat dalam pasukan Maurice dari Nassau di Republik Belanda, tetapi sebagai gencatan senjata telah didirikan antara Belanda dan Spanyol, Descartes memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar matematika. Dengan cara ini ia berkenalan dengan Ishak Beeckman, kepala sekolah Dordrecht. Beeckman telah mengusulkan masalah matematika yang sulit, dan dengan herannya, itu adalah Descartes muda yang menemukan solusi. Keduanya percaya bahwa itu perlu untuk menciptakan sebuah metode yang benar-benar terkait matematika dan fisika. Sementara dalam pelayanan Duke Maximilian dari Bavaria, Descartes hadir pada Pertempuran Gunung Putih di luar Praha, pada bulan November 1620. Pada malam 10-11 November 1619, sementara ditempatkan di Neuburg an der Donau, Jerman, Descartes menutup dirinya dalam "kompor" (beberapa jenis kamar khusus dipanaskan untuk tujuan itu) untuk menghindari dingin. Sementara dalam, ia memiliki tiga visi dan semangat Tuhan yang diwahyukan kepadanya filsafat baru. Setelah keluar dia telah dirumuskan geometri analitis dan gagasan menerapkan metode matematis untuk filsafat. Dia menyimpulkan dari visi ini bahwa mengejar ilmu pengetahuan akan terbukti menjadi, baginya, mengejar kebijaksanaan sejati dan bagian sentral dari pekerjaan hidupnya. Descartes juga melihat dengan sangat jelas bahwa semua kebenaran itu terkait dengan satu lain, sehingga menemukan kebenaran fundamental dan melanjutkan dengan logika akan membuka jalan bagi semua ilmu pengetahuan. Kebenaran dasar ini, Descartes menemukan cukup segera:. Terkenal "Saya pikir".

Pada 1622 ia kembali ke Prancis, dan selama beberapa tahun ke depan menghabiskan waktu di Paris dan bagian lain Eropa. Itu selama tinggal di Paris bahwa ia menulis esai pertamanya metode: Regulae ad Directionem Ingenii (Aturan untuk Arah Pikiran) Ia tiba di La Haye tahun 1623, menjual semua harta miliknya untuk berinvestasi pada obligasi. , yang memberikan pendapatan yang nyaman untuk sisa hidupnya. Descartes hadir pada pengepungan La Rochelle oleh Kardinal Richelieu tahun 1627. Dia kembali ke Republik Belanda pada tahun 1628, di mana ia tinggal sampai September 1649. Pada April 1629 ia bergabung dengan University of Franeker, tinggal di Sjaerdemaslot, dan tahun berikutnya, dengan nama "Poitevin", dia terdaftar di Universitas Leiden untuk belajar matematika dengan Jacob Golius dan astronomi dengan Martin Hortensius. Pada bulan Oktober 1630 ia memiliki bertengkar dengan Beeckman, yang ia dituduh menjiplak beberapa idenya. Di Amsterdam, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis pembantu, Helena Jans van der Strom, dengan siapa ia memiliki seorang putri, Francine, yang lahir pada 1635 di Deventer, pada saat Descartes mengajar di Universitas Utrecht. Francine Descartes meninggal pada 1640 di Amersfoort.

B.Konsep Tentang Tuhan

1.Metode

Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat dipengaruhi, kita terutama memerlukan suatu metode yang baik, demikian pendapat Descartes. Dan ia sendiri berpikir sudah mendapati metode yang dicarinya, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya. Ia bermaksud bahwa kesangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang saya miliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini saya anggap pasti. Kalau terdapat sauatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Cogito ergo sum: saya sedang menyangsikan, ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangka, betapapun besar usaha manusia. Apa sebabnya kebenaran itu bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilih-pilih. Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilih-pililah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.

Langkah awal yang digunakan oleh Descartes untuk mencapai keyakinan adalah kita harus melihat apakah kita dapat ragu pada segala hal atau tidak. Ragu terhadap memori ingatan, pada penentuan indera dan persepsi, terhadap eksistensi dunia dan terhadap wujud ragawi orang tersebut.Seperti yang disebutkan dalam “Discourse on Methods”, Descartes mengatakan bahwa postulat “Aku berfikir, karena itu Aku ada” adalah sedemikian kukuh dan niscaya, sehingga kaum skeptis tidak lagi dapat menggoyahkannya. Postulat “Aku berpikir atau Aku ragu”, yakni apabila seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang meragukan ini bagi Descartes merupakan kepastian. Karena aku mengerti hal itu dengan ‘jelas dan khas’ (clear and distinc). Aku ada, aku eksis; pernyataan ini merupakan sebuah keyakinan.

2.Allah Sebagai Wujud Sempurnah

Oleh karena itu, aku ada sejatinya menunjuk kepada satu wujud yang berpikir.Argumen Descartes dalam membuktikan wujud Tuhan ada dua. Pertama, dengan menerima pandangan di atas yang bersandar pada metode skeptiknya. Dia menganggap dirinya sebagai wujud yang tidak sempurna. Dengan demikian ia menerima bahwa wujud Tuhan merupakan wujud yang sempurna. Descartes berpandangan bahwa memikirkan satu wujud yang sempurna, hanya dapat bersumber dari satu wujud yang sempurna;thusTuhan sebagai sumber wujud tersebut haruslah sempurnah. Argumen yang merupakan argumen kosmologikal ini secara asasi bersandar pada prinsip filsafat Skolastik yang berdiri di atas ukuran realitas tersebut yang terdapat pada sebab juga terdapat pada akibatnya. Artinya apabila satu pikiran sempurna, dalam keadaan ini sebabnya juga akan sempurna. Argumen kedua, popular sebagai argumen ontologis yang juga berkaitan dengan prinsip filsafat Skolastik.Dalam pandangan dunia Descartes, Tuhan adalah dzat nir-batas dan abadi serta tidak berubah dan mandiri, mahatahu dan omnipotency, dimana aku dan segala sesuatu yang lain yang wujud adalah akibat dan makhluk-Nya.Argumen ontologi Descartes dituangkan dengan uraian yang lebih jelas, sebagai berikut:“ Dengan melalui analisa yang sederhana kita ketahui bahwa segitiga secara niscaya mempunyai tiga sudut dan tiga siku. Maka gambarkanlah Tuhan dalam diri kalian dengan cara yang demikian pula. Dzat Tuhan kita definisikan sebagai kesempurnaan mutlak. Pada hakikatnya kesempurnaan mutlak adalah sebuah majemuk dari seluruh kesempurnaan yang bisa digambarkan. Tetapi wujud merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu kesempurnaan mutlak apabila tidak mempunyai wujud, berarti bukan mutlak. Dan konklusinya: wujud mempunyai keterkaitan dengan kesempurnaan sebagaimana  mestinya segitiga yang mempunyai keterkaitan dengan tiga sudut dan tiga sikunya”.

3.Substansi

Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Allah ada dua substansi: jiwa yang hakekatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah kelauasan. Tetapi, karena Desecartes telah menyangsikan adanya dunia luar saya, sekarang ia mengalami kesulitan untuk membutktikan adanya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia material ialah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberikan saya ide “keluasan”, sedangkan di luar tidak ada sesuatupun yang sesuai dengannya.

II.2. Konsep Tuhan Menurut Blais Pascal (1623-1663)

A.Biografi Blais Pascal

Blaise Pascal (lahir di Clermont-Ferrand, Perancis, 19 Juni 1623 – meninggal di Paris, Perancis, 19 Agustus 1662 pada umur 39 tahun) berasal dari Perancis. Minat utamanya ialah filsafat dan agama, sedangkan hobinya yang lain adalah matematika dan geometri proyektif. Bersama dengan Pierre de Fermat menemukan teori tentang probabilitas. Pada awalnya minat riset dari Pascal lebih banyak pada bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan, di mana dia telah berhasil menciptakan mesin penghitung yang dikenal pertama kali. Mesin itu hanya dapat menghitung. Pascal adalah seorang Jansenisme setelah dia menjalin hubungan dengan biara Port Royal tempat saudarinya, Jacqueline menjadi seorang biarawati di sana. Dia menyerang para Yesuit yang dia anggap terlalu longgar dalam moralitas agama Kristen.

Di dalam pengkategorian filsuf sesuai alirannya, Pascal termasuk aliran rasionalis yang pertama kali dirintis oleh Rene Descartes. Walaupun begitu, Pascal memiliki kecenderungan yang berlainan dengan filsuf rasionalis lainnya. Pascal yakin bahwa iman melebihi rasio berbeda dengan filsuf rasionalis lain yang menekankan bahwa iman di bawah rasio. Pascal bisa disebut sebagai seorang filsuf karena dia merintis sebuah cara berfilsafat yang pada nantinya digunakan lakukan oleh Kierkegaard dan juga mengkritisi kemampuan rasio manusia.

B.Konsep Tuhan Menurut Blais Pascal

Sebagaimana Descartes, Pascal juga pun mengemukakan baik matematika dan ilmu alam maupun juga filsafat. Ia sangat mengkritik aliran rasionalisme. Sekalipun ia sepakat degnan Descartes dalam mementingkan matematika, namun ia tidak setuju dengan Descartes dalam menerima matematika sebagai model atau contoh istimewa untuk metode filsfat. Filsafat Descartes menjadi rasionalis karena justru ia berpendapat bahwa metode filsfat harus meniru metode matematika. Dalam filsafat Pascal, manusia selalu dianggap sebagai suatu “misteri” yang tidak dapat diselami sampai ke dasarnya. Ada dua kata inti dari pemikiran Pascal, yaitu : le Coeur (hati) dan reason (rasio) serta le Pari (pertaruhan).

1.Le Coeur

“Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak dimengerti olehrasio”, adalah ungkapan Pascal yang sangat terkenal.Dengan pernyataan ini Pascal tidak bermaksud menunjukkan bahwa rasio dan hati itu bertentangan.Hanya saja menurut Pascal, rasio atau akal manusia tidak akan sanggup untuk memahami semua hal.Baginya "hati" (Le couer) manusia adalah jauh lebih penting.

Hati yang dimaksudkan oleh Paskal tidak semata-mata berartiemosi. Hati adalah pusat dari segala aktivitas jiwa manusia yang mampu menangkap sesuatu secara spontan dan intuitif.Rasio manusia hanya mampu membuat manusia memahami kebenaran-kebenaran matematis dan ilmu alam.Dengan memakai hati, manusia akan mampu memahami apa yang lebih jauh daripada itu yaknipengetahuantentangAllah.

Kebenaran tidak hanya diketahui oleh akal saja tetapi juga dengan hati, bahkan menurut Paskal untuk dapat mengenal Allah secara langsung manusia harus menggunakan hatinya.Dengan demikian Paskal hendak menegaskan bahwa rasio manusia itu memiliki batas sedangkanimantidak terbatas.

2.Le Pari

Le Pariatau "Pertaruhan" adalah argumen Paskal lainnya yang terkenal.Gagasan ini terkait dengan persoalan mengenai ada tidaknya Allah dalam sejarahfilsafat.Ada orang-orang-orang skeptik yang kerap kali mencemooh orang-orangKristenyang percaya bahwa Allah itu ada sementara mereka sendiri tidak dapat membuktikan secara rasional bahwa Allah itu tidak ada.Ia kemudian membuat sebuah pertaruhan mengenai ada atau tidaknya Allah.

Dalam hal ini Paskal mengambil posisi sebagai orang yang percaya akan adanya Allah. Alasannya, bila ternyata Allah memang ada, orang-orang yang percaya kepada Allah akan menang dan hidup berbahagia bersama Allah yang diimani disorgakelak.Sementara bila ternyata Allah memang tidak ada dan orang-orang percaya kalah maka mereka tidak akan menderita kerugian apapun.Hidup baik yang telah mereka jalani selama berada diduniasudah merupakan keutamaan yang membuat kehidupan mereka dan orang lain bahagia.

II.3. Konsep Tuhan Menurut Baruch de Spinoza(1623-1663)

A.Biografi Baruch de Spinoza

Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632. Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Di masa kecilnya, Spinoza telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi seorang rabbi. Dalam kehidupannya, ia tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, ia juga mempelajari bahasa Latin,Yunani, Belanda, Spanyol, Perancis, Yahudi, Jerman, dan Italia. Pada usianya yang ke 18 tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah manusia.

Sikap yang ditunjukkan Spinoza kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran Spinoza. Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar Spinoza kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga. Tidak hanya kelompok Yahudi yang mengucilkan Spinoza, keluarganya pun turut mengucilkan dirinya. Meskipun demikian, Spinoza tetap tenang mengatasi masalah hidupnya. Hingga Akhirnya ia mengganti nama dirinya dengan Benedictus de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.

Dalam keadaan yang telah dikucilkan, Spinoza mencari nafkah dengan cara mengasah lensa sambil terus menerus menuliskan pemikiran-pemikirannya.Tidak lama setelah pengucilan ini, Spinoza mengidap penyakit TBC. Pada tahun 1673, dia diundang untuk mengajar di universitas Heidelberg namun ia menolaknya. Alasan Spinoza menolak undangan ini dikarenakan baginya tidak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir bebas. Semasa hidupnya, Spinoza juga bekerja sebagai guru pribadi pada beberapa keluarga kaya dan dari sinilah Spinoza bertemu dengan tokoh-tokoh partai politik Belanda saat itu, antara lain Jan de Witt. Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677 Spinoza meninggal pada usia 44 tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama ia derita.

B.Konsep Tentang Tuhan

Baruch de Spinoza (1632-1677 M) berkaitan dengan judul di atas. Ia telah berjuang dan memiliki cara tersendiri untuk menginterpretasikan siapakah Tuhan itu baginya. Dengan gaya berpikir yang cemerlang, ia mencoba menguraikan hasil interpretasinya. Apakah ada pemahaman lain yang lebih orisinil untuk mengetahui identitas sang causa prima non causata itu? Spinoza mencoba memecahkan persoalan ini. Ia melihat bahwa realitas Yang Absolut itu adalah substansi

1.Definisi substansi

Spinoza mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri. Jadi, substansi adalah apa yang berdiri sendiri dan ada oleh dirinya sendiri.

Dengan definisi di atas, Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tetapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Hal yang khusus dalam substansi adalah kemandiriannya, tidak tergantung pada yang lain (subsistensi). Substansi mempunyai arti dan nilainya sendiri tanpa tergantung pada yang lain. Substansi dapat didefenisikan tanpa perlu mengacu pada yang lain. Dengan kata lain, substansi itu adalah suatu realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk membentuk dirinya menjadi ada

2.Kritik Spinoza atas pandangan Descartes tentang substansi

Gagasan-gagasan Spinoza banyak dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes Akan tetapi, berbeda dengan rasionalisme Descartes, rasionalisme Spinoza jauh lebih luas. Akibatnya, pengaruh Descartes tidak sepenuhnya diterima oleh Spinoza. Menurut Spinoza, Descartes tidak memiliki suatu komitmen yang akurat untuk mendefinisikan substansi itu sendiri sebab dalam kenyataannya Descartes masih menerima adanya substansi yang lain. Ia menolak ajaran Descartes bahwa realitas terdiri atas tiga substansi (Allah, jiwa, dan materi). Pandangan Descartes tidak koheren dengan definisi substansi. Sebagai gantinya, Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi. Substansi yang satu itu adalah Allah atau alam, yang esa, tiada batasnya secara mutlak. Satu substansi itu meliputi baik dunia maupun manusia. Substansi itu bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual.

3.Implikasinya
Implikasinya jelas, Spinoza menolak Allah yang bersifat personal atau Allah yang biasa disapa oleh manusia dengan kata “Engkau” atau “Bapa” seperti yang diyakini dalam agama monoteis ia menolaknya sebab hal tersebut adalah sifat atau ciri untuk manusia, padahal manusia sendiri bersifat fana, relatif, dan terbatas sebagai kebalikan dari sifat Allah

4.Adanya ‘atribut’ dan ‘modus’

Kalau realitas itu tunggal, bagaimanakah lalu Spinoza menjelaskan adanya kemajemukan yang kita alami sehari-hari? Dalam hubungannya dengan konsep substansi itu, Spinoza juga merumuskan konsep ‘atribut’ dan ‘modi’. Menurut Spinoza, di dalam substansi itu terkandung ‘atribut-atribut’ yang olehnya disebut sebagai keluasan (ekstensio) dan pemikiran (cogitatio). Baginya, ‘atribut-atribut’ merupakan karakteristik yang membentuk esensi substansi. Jumlahnya tidak terbatas, kendati keduanya yang kita kenal adalah pemikiran dan keluasan. Sesuatu yang disebut ‘atribut’ adalah sifat asasi. Setiap substansi mempunya sifat asasinya sendiri yang menentukan hakekat substansi itu. Sifat asasi ini mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan. Baginya, keluasan dan pemikiran merupakan ‘atribut-atribut’ dari satu substansi. Dalam hal ini, Spinoza melihat Allah sebagai keluasan (Deus est res extensa) dan Allah sebagai pemikiran (Deus est res cogitans)

Spinoza memperketat kerangka yang dibuat oleh Descartes sedemikian rupa sehingga pemikiran dan keluasan merupakan ‘atribut-atribut’ dari apa yang disebut substansi, sesuatu yang sebenarnya adalah Allah. Dengan demikian, karena keluasan dan pikiran hanyalah ‘atribut,’ maka dunia hanyalah satu substansi dengan kedua ‘atribut’ itu. Kita bisa melihat dunia dari ‘atribut’ keluasan dan kita menyebutnya ‘Alam’. Melalui ‘atribut-atribut’ pemikiran dan keluasan, maka substansi yang tunggal Allah atau Alam mengembangkan dirinya dan pengembangan ini menghasilkan bentuk-bentuk berhingga sebagai modi.

Dengan ‘modi’ dimaksudkan berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi (dari katamodus, bentuk tunggal kata benda Latin yang berarti ‘cara’). Dalam filsafat Spinoza, ‘modi’ menyatakan pluralitas benda-benda yang tiada akhir dan sifat-sifatnya yang sementara, di mana substansi material yang tunggal, abadi, dan tak berhingga dinyatakan. Dengan demikian, semua realitas dan gejala yang bisa kita temukan di alam, baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora, dan fauna) maupun yang bersifat rohaniah (pemikiran, perasaan, dan kehendak) merupakan ‘modi’ dari Allah yang merupakan substansi tunggal. Dengan kata lain, secara prinsip alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah yang merupakan substansi yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Itulah sebabnya mengapa pendirian Spinoza ini disebut panteisme: Allah disamakan dengan segala sesuatu yang ada.
Berdasarkan pemahaman di atas, Spinoza melihat bahwa karena Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala sesuatu yang ada di bumi ini berasal dari Allah. Allahlah yang menjadi penyebab adanya segala sesuatu (Natura naturans) dan segala sesuatu hanya dapat dimengerti sebagai keluar dari Allah (Natura naturata). Substansi yang satu itu berada di dalam segala sesuatu yang beraneka ragam ini. Segala yang beraneka ragam mewujudkan cara berada substansi yang satu tadi. Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza Allah atau Alam merupakan suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Menurutnya, seluruh kenyataan merupakan kesatuan. Kesatuan ini sebagai satu-satunya substansi sama dengan Allah atau Alam.

5. Pemecahan dualisme jiwa dan badan

Dengan pandangan monistis di atas, Spinoza berusaha mengatasi dualisme Cartesian. Dia berpendapat bahwa jiwa dan badan adalah kenyataan tunggal yang sama, yang bisa dipahami dalam ‘atribut’ pikiran atau keluasan. Menurutnya, jiwa atau pemikiran dan badan atau keluasan merupakan dua ‘atribut’ illahi, yakni dua dari sekian banyak sifat Allah atau Alam yang bisa ditangkap oleh manusia. Dua ‘atribut’ ini membentuk manusia dan menjadikannya modus atau cara berada Allah atau Alam.

6. Tanggapan kritis

Konsep substansi yang disodorkan oleh Spinoza merupakan sumbangan pemikiran yang sangat penting dalam pencarian manusia akan Allah sang realitas absolut. Namun demikian, saya melihat bahwa dalam uraiannya mengenai substansi sebagai realitas Yang Absolut tersebut, Spinoza tidak konsisten dengan gagasan yang dia ajukan karena dia menggabungkan Allah dan Alam menjadi satu realitas yang memiliki satu kesatuan. Dengan penggabungan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dia mereduksi individualitas, kebebasan, dan tanggung jawab manusia. Dengan kata lain, Spinoza menolak adanya personalitas.


7. Kesimpulan
Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi. Substansi yang satu itu adalah Allah atau Alam, yang esa, tiada batasnya secara mutlak. Hal ini dikatakannya karena bagi dia substansi harus dimengerti sebagai ‘apa yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan suatu konsep lain untuk membentuknya’. Jadi, substansi itu ada oleh dirinya sendiri sebab dari konsepnya pun substansi itu tidak tegantung pada sesuatu yang lain. Oleh sebab itu, hakekat dari substansi itu mencakup eksistensinya: ia adalah ‘causa sui’ atau sebab bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, substansi itu bersifat illahi dan hanya mungkin ada satu substansi yaitu Allah sebab Allah itu tidak terbatas.

Bagi Spinoza, segala sesuatu yang ada berasal dari Allah. Jadi, secara prinsip alam dengan segala isinya adalah identik dengan Allah. Dengan kata lain, Allah dan Alam merupakan suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu substansi. Sementara itu, ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada yang tampaknya banyak bagi kita tidak dapat tidak merupakan cara-cara berada saja. Mereka itu adalah cara-cara berada dari substansi yang tunggal tadi. Allah itu tidak terbatas dan hal-hal yang terbatas adalah modifikasi-modifikasi riil-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun