“Seorang anak tanpa pendidikan ibarat burung tanpa sayap”
Pepatah Tibet
Seorang kawan menuliskan di status facebooknya tentang pengalaman menjadi buruh di sebuah pabrik mainan dan makanan anak-anak. Situasi kerjanya monoton dengan jam istirahat yang kurang. Menurutnya pengalaman kerja itu menjadi bahan pembelajaran bagi dirinya ketika kemudian dia menjadi seorang ekonom.
Status facebook kawan itu menjadi bahan renungan saya menjelang siang, ketika anak saya pulang cepat dari sekolah karena hari ini kegiatan belajar di sekolah hanyalah upacara untuk memperingati hari pendidikan nasional. Dan ketika saya tanya apa yang disampaikan kepala sekolah dalam upacara, dia tak menjawab apa-apa. Nampaknya tak ada yang membekas dalam benaknya perihal peringatan atas jasa-jasa Ki Hajar Dewantara hari ini.
Semalam saya bersama beberapa kawan memutar video dokumenter Samin vs Semen yang mengisahkan perjuangan Sedulur Sikep dalam melawan upaya penambangan karst di Kabupaten Pati. Dalam video dokumenter itu seorang ibu dengan sangat gamblang menceritakan perihal pendidikan. Sedulur Sikep memandang pendidikan penting tetapi menolak untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolahan formal.
Menurut Sedulur Sikep sekolah formal hanya akan membuat orang berlomba-lomba untuk menjadi pintar hingga kemudian membuat peserta didik bercita-cita menjadi orang yang berpangkat dan punya jabatan. Hasilnya pendidikan berarti mencabut anak-anak dari tanah tumpah darahnya. Anak-anak akan keluar dari desa atau kampungnya untuk mengejar cita-cita, mewujudkan hidupnya sebagai orang terdidik. Tak ada anak-anak yang merasa pintar itu untuk mau tetap tinggal di kampung, mencangkul di sawah atau ladang, mencari rumput untuk sapi, kerbau atau kambing mereka.
Cita-cita pendidikan yang diungkapkan oleh sang ibu itu sedehana saja. Dengan telaten ibu itu mengajari anaknya baca tulis di rumah agar mengerti. Mengerti bahwa hidup itu harus dipenuhi oleh dirinya sendiri dengan menjaga dan memanfaatkan alam secara lestari. Caranya adalah dengan bertani.
Sedulur Sikep mengunci jalan hidup lewat jalan pertanian. Maka lahan, air dan gunung sebagai tempat menyimpan air adalah harga mati yang tak mungkin dipertukarkan dengan apa saja. Orang hidup itu butuh pangan bukan semen begitu kata mereka. Semen itu kebutuhan orang kaya, yang perlu rumah gedong sementara untuk mereka tak ada semenpun rumah tetap akan jadi karena dinding bisa dibuat dari anyaman bambu.
Dengan bertani mereka akan mandiri. Energi misalnya dibuat dengan mengolah kotoran sapi peliharaan sehingga menghasilkan biogas untuk kebutuhan memasak. Kotoran sapi juga diolah menjadi pupuk cair dan padat untuk menyuburkan tanah-tanah mereka. Dengan demikian mereka tak tergantung kepada pupuk kimiawi buatan pabrik yang hanya memberi kesuburan sesaat tapi akan membuat tanah menjadi merana di kemudian hari.
Hidup sederhana dan mandiri lewat cara yang ditularkan secara turun menurun begitu lekat di benak dan diri mereka. Sikap, tindak, perilaku dan pengetahuan yang selaras itulah yang membuat mereka kemudian begitu getol melawan koorporasi yang hendak menambang wilayah hidup mereka. Kehilangan gunung kapur tempat penyimpan air dan lahan pertanian berarti hilangnya penghidupan mereka. Pabrik semen bukanlah investasi melainkan mesin pembunuh kehidupan mereka.
Buat saya menjadi sederhana dan mandiri adalah sesuatu yang hilang dari dunia pendidikan formal di masa kini. Anak-anak didik didorong untuk menjadi yang serba nomor satu, serba tahu ini dan itu dan bersaing untuk menjadi yang terhebat. Iklim persaingan dan kompetisi membuat bukan hanya anak-anak melainkan juga orang tua bergerak dengan berbagai macam cara untuk memenangkan pertandingan. Dan kemudian orang tua lupa mendidik anaknya sendiri, menanamkan ajaran-ajaran baik.
Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madya Mangun Karso Tut Wuri Handayani, begitu ajaran Ki Hajar Dewantara yang pada hari ini (2 Mei) gambarnya dipakai menjadi salah satu huruf O dari mesin pencari GOOGLE. Ajaran itu menyiratkan bahwa seseorang yang baik adalah bisa mampu menjadi suri tauladan atau panutan yang menggugah semangat membangkitkan karsa dan inovasi untuk memberdayakan orang-orang disekitarnya.
Atas salah satu cara apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara juga disampaikan oleh Dr. GSSJ Sam Ratulangi yang dikenal dengan falsafah Si Tou Timou Tumao Tou. Falsafah itu mengajarkan bahwa manusia menjadi manusia yang seutuhnya bila memanusiakan manusia lainnya.
Atas salah satu cara apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dan Dr. GSSJ Sam Ratulangi bisa saya saksikan dalam ajaran kehidupan yang disampaikan oleh Sedulur Sikep. Sebuah sikap hidup yang menjaga keselarasan hubungan dengan alam dan sesama. Hidup tidak berlebih, memenuhi kehidupan secukupnya sehingga tak terdorong untuk ngapusi. Jika setiap orang menjalani dan mencari hidup berdasarkan apa yang benar-benar dibutuhkan olehnya maka tak ada manusia yang menjadi serigala bagi manusia lainnya. Kita hidup dalam persaudaraan yang saling menghidupkan.
Selamat ulang tahun pendidikan nasional Indonesia.
2 Mei 2015, 11.54 Wita
#Hardiknas 23 ribu tweet tentang trend ini
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H