Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Pemilu Mas Romo 03 : #ButuhPerahu

18 Januari 2014   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai politik lazimnya disebut sebagai kendaraan politik. Namun memasuki regim pemilihan langsung, orang tak lagi bicara soal kendaraan politik melainkan lebih sering menyebut sebagai perahu. Entah apa yang membuat perahu lebih dipilih ketimbang kendaraan. Barangkali ini terkait dengan bocah-bocah yang kerap mendendangkan syair “Nenek moyangku seorang pelaut ...”. Atau bisa jadi sebutan perahu lebih cocokkarena politik lebih mirip lautan, bergelombang. Berpolitik ibarat naik perahu, terombang-ambing, siap diterpa gelombang.

Orang menyebut tahun 2014 sebagai tahun politik, karena akan diselenggarakan pemilu legislatif dan presiden. Tapi sesungguhnya tahun-tahun sebelumnya soal calon mencalon sudah ramai pula diperbincangkan. Bahkan sebagian besar orang yang punya syahwat untuk duduk sebagai pemimpin atau wakil rakyat sudahmencuri start untuk memacu perahunya.

“Mas Romo punya perahu nggak, ini ada orang mau pakai”, tanya seseorang.

“Ada saja tetapi perahunya bocor”, sahut Mas Romo sekenanya.

“Serius Mas”

“Ya, iyalah ..sampeyan itu bagaimana sih, wong saya ini orang gunung mana tahu urusan perahu”, ujar Mas Romo.

“Maksud saya itu organisasi sampeyan Mas, mau dipinjam untuk perahu tunggangan, buat pencalonan ketua”, kata orang itu menjelaskan.

“Oh, itu. Wah, nda usahlah Mas. Organisasi saya ini kan organisasi gurem, gak ada pengaruhnya. Nggak laku lah kalau untuk dukung mendukung. Sampeyan nggak tahu sejarah berdirinya organisasi saya ini ya?” tanya Mas Romo.

“Wah, nggak paham Mas, cuma organisasi sampeyan itu terkenal banget”

“Ya, terkenal lah ... wong organisasi saya ini prinsipnya wani ngawur asal benar”, terang Mas Romo.

Dua tahun lalu Mas Romo dan teman-teman memang mendirikan organisasi guyonan. Pangkal soalnya waktu itu banyak bermunculan organisasi dengan berbagai latar belakang. Kalau dibaca visi dan misinya semua luar biasa. Tapi pada kenyataannya nggak banyak yang dilakukan oleh organisasi itu, selain petentang petenteng kesana kemari dengan mobil dan baju seragam. Mereka hanya gemar melakukan kegiatan publik, ramai-ramai tapi tak ada pengaruhnya untuk kemashatan masyarakat.

Dalam pandangan Mas Romo dan teman-teman, organisasi yang nampaknya serius itu ternyata tidak benar-benar serius. Kalaupun ada yang bisa dikategorikan sebagai serius adalah dalam urusan memburu dana bantuan sosial atau hibah dari pemerintah. Kebetulan tahun-tahun itu adalah masa dimana kepala pemerintahannya sudah hampir habis masa jabatannya dan berencana untuk maju kembali untuk memimpin pada periode yang kedua kali. Dan lazimnya pada masa seperti itu sang pemimpin daerah biasanya rajin menebar bantuan sosial atau hibah untuk meraih suara atau dukungan dalam pemilihan nanti.

“Nah begitu Mas sejarahnya, maka organisasi saya dan teman-teman yang lain ini namanya Mahalabiu Institut. Ya isi kegiatannya cuma mahalabiu, cerita lucu-lucu atau omong kosong saja, yang penting kalau ngumpul ramai”, terang Mas Romo panjang lebar.

Sadar sudah salah sasaran untuk meminjam perahu, orang itu kemudian kembali bertanya “Mas Romo punya teman yang punya organisasi apa ndak?”

“Banyak lah, tapi ya sama saja, pasti tidak dipinjamkan. Bukan karena pelit tapi memang tidak layak. Kenapa sampeyan tidak pergi saja ke Partai-Partai yang sekarang ini dijual eceran”, ujar Mas Romo sedikit ketus.

“Sudah Mas, tapi kebanyakan partai gurem. Namanya saja yang tersisa tapi sudah tidak terdaftar sebagai peserta pemilu nanti. Walau begitu tarifnya juga masih mahal?”

“Lho ada tarifnya juga to?”, tanya Mas Romo heran.

“Ya adalah Mas, yang namanya mahar itu bukan cuma untuk urusan kawin mawin, santet menyantet atau cari pesugihan, tapi juga untuk urusan politik”

“Uedan ya”, ujar Mas Romo setengah berbisik.

“Itulah Mas, makanya sampeyan itu bikin perahulah yang bisa dipinjamkan. Sekarang ini banyak orang butuh perahu. Nggak susah kok Mas”, ujar orang itu.

“Lho kenapa bukan sampeyan saja yang bikin perahu itu, kalau calon penumpangnya banyak”, tanya balik Mas Romo.

“Trah saya ini kelas rendahan Mas. Nggak bakal mentereng kalau mendirikan sesuatu. Jadi saya pilih jadi mak comblang saja, makelar begitu lah mas. Menghubungkan antara satu pihak dengan yang lainnya, nah kalau deal nanti saya dapat komisi”

“Enak sampeyan kalau begitu”, sahut Mas Romo.

“Sama saja Mas, banyak juga yang ingkar janji. Sudah deal tapi tidak ditepati”

“Kalau begitu sampeyan berdoa saja Mas, semoga yang masuk regim pemilu bukan cuma legislatif, walikota, bupati dan presiden, tapi juga kepala desa sampai ketua RW serta RT”, kata Mas Romo sambil ngeloyor pergi.

Pondok Wiraguna, 15 Januari 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun