Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya Senang tapi Tak Jadi Jalan-jalan

19 Maret 2014   14:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percayalah, keinginan terdalam itu ibarat sebuah doa.Misalnya, sejak kecil saya ingin ke Irian Jaya, begitu sebutan Papua dahulu. Keinginan itu muncul karena ada teman bapak yang singgah ke rumah dan membawa oleh-oleh berupa Noken dan Kapak Batu yang katanya dari Papua. Suatu saat akhirnya benar saya bisa menginjakkan kaki di tanah bumi Cendrawasih, meski perjalanan ke sana ibarat lika-liku yang panjang.

Panjang karena jalan ke Papua terbuka setelah lebih dahulu saya tinggal bertahun-tahun di Sulawesi Utara. Hingga kemudian bertemu dan berkawan dengan seseorang yang membantu mewujudkan keinginan saya untuk merasakan kenyalnya Papeda. Kawan itu bukan hanya membuat saya makan Papeda di tanah Papua, tapi juga menjejakkan kaki di tempat yang sedang ramai menjadi perbincangan yaitu Raja Ampat. Dan daerah yang saya kenal melalui sebuah lagu lawas, yaitu Kaimana.

Ada banyak kejadian yang semakin menguatkan keyakinan saya bahwa keinginan terdalam adalah doa.Yang terbaru adalah munculnya rasa kangen di dalam diri saya setelah dua tahun lebih saya tak mengunjungi Raja Ampat dan Manado. Dan entah bagaimana kemudian kerinduan itu terjawab. Perjalanan ke Raja Ampat sudah di depan mata. Tiket ke Raja Ampat adalah hasil dari kerja yang tak terlalu keras karena mendukung seorang kawan dalam sebuah kompetisi.

Nah, tinggal perjalanan ke Manado. Mengharap seorang kawan disana mengirimkan tiket, rasanya mustahil. Nah kebetulan ada lomba menulis, menulis tentang kuliner yang diselenggarakan oleh sebuah produsen otomotif. Dan kebetulan kuliner di Manado menjadi salah satu pilihan dari lomba itu disamping kuliner dari beberapa kota lainnya. Ketika membaca pengumuman itu, dalam hati saya berguman, inilah tiket saya.

Bukan apa-apa, karena saya kenal betul kuliner disana, tempat saya menghabiskan waktu hampir 12 tahun lamanya. Saya bukan hanya suka makanan Manado tapi juga belajar untuk memasaknya. Buat saya makanan disana menarik karena kaya dengan bumbu. Dan kebetulan saya punya tulisan tentang pengalaman hidup saya di Manado berinteraksi dengan makanannya. Jadi saya ikutkan saja tulisan itu dengan harapan bisa menang dan punya peluang meski tak 100% untuk jalan ke Manado.

Biasa kalau ada lomba, link-nya akan saya bagi di account twitter saya. Tak lama setelah nge-twit, seorang teman berkicau “Nggak jadi ikutan, sudah tahu pemenangnya”. Dia berkicau setelah membaca tulisan yang saya ikutkan dan menyakini saya akan menang.

Setelah itu saya tak ingat lagi soal lomba itu karena dikejar berbagai deadline pekerjaan. Nah, suatu pagi ada sebuah email masuk dan ketika saya buka berisi ucapan, selamat ya bang telah menang. Menang apaan pikir saya. Telusur punya telusur ternyata email itu adalah notifikasi dari komentar yang disampaikan di artikel saya yang ada di kompasiana. Dan ternyata saya menjadi salah satu pemenang dari event bertajuk blog competition itu. Senanglah hati saya, terbayang Tinutuan, Biapong, Mie Cakalang, Ragey, Posana, Panggi Bungkus, Woku Belanga, Cah Kangkung dan Tude Bakar.

Dalam pengumuman yang berembel-embel setelah melalui penilaian yang ketat, disampaikan saya harus mengirimkan email dengan judul pemenang..bla..bla..sehingga akan dihubungi penyelenggara via email untuk menjelaskan teknis mewujudkan hadiah perjalanan itu.

Tunggu punya tunggu ternyata tak ada email masuk. Saya pikir positif saja, mungkin penyelenggara lagi sibuk, mengatur perjalanan agar matang dan memuaskan. Dan kemudian ada sebuah nomor asing menghubungi saya. Tapi karena signal buruk panggilan pertama tidak mulus saya terima. Baru pada panggilan kedua, saya bisa berkomunikasi meski tak terlalu kentara. Yang pasti suara di seberang adalah bagian dari penyelenggara yang mengabarkan kalau saya diajak jalan ke Makassar pada tanggal 8 sampai 9 Maret 2014. Saya tidak terlalu banyak bertanya, melainkan langsung menjawab tidak bisa karena sejak seminggu sebelumnya telah dipesan untuk memfasilitasi workshop dari organisasi lingkungan hidup yang ternama. Dan telepon di seberangpun ditutup.

Dan waktu berlalu, tak ada kabar apapun lagi. Lalu saya menulis pesan singkat kepada nomor yang menghubungi saya, saya sampaikan ini alamat email saya, tolong berikan penjelasan perihal hadiah perjalanan, namun tak jua ditanggapi. Kemudian saya bertanya melalui account twitter penyelenggara dan inilah jawabannya “Hai sobat, bisa diinfokan siapa yg menghubungi?. Hadiahnya jalan-jalan, kalo nggak bisa hadir berarti hanggus J “. Ya begitu saja dan tak ada penjelasan lanjutan.

Hari berikutnya saya mereplay jawaban dengan pertanyaan ” segitu saja kah penjelasannya”. Dan sampai hari ini tak ada tanggapan. Tentu saja saya kecewa kalau membandingkan dengan hadiah perjalanan yang diberikan oleh penyelenggara lain yang akan membuat saya ke Raja Ampat bulan Mei ini. Pihak penyelenggara menawarkan waktu perjalanan, dimana kami (saya dan teman saya) bisa menentukan waktu, kapan akan pergi. Mereka menawarkan antara Februari sampai Mei. Nah, ketika ditanya, saya menjawab Mei saja, setelah pemilu. Dan pemberi hadiahpun sepakat, kemudian menyusun jadwal yang lagi-lagi ditanyakan apakah kami setuju. Kami bahkan semakin girang ketika diberi kesempatan apakah mau menambah hari meski dengan konsekwensi menanggung sendiri biaya hidup disana. Intinya, pemberi hadiah menghormati jerih payah, usaha dan pikiran yang dituangkan dalam materi yang diikutsertakan dalam lomba.

Tapi ya sudahlah, mungkin keinginan saya untuk ke Manado adalah doa yang tertunda, dan perjalanan yang hilang tak akan membuat keyakinan saya berkurang bahwa keinginan adalah doa yang terdalam. Masih ada banyak waktu dan masih banyak penyelenggara lomba yang sungguh-sungguh ingin menghadiahi jerih payah kita.

Pondok Wiraguna, 19 Maret 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun