Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Menjelang Pencoblosan 02: Golkar Menang, BBM Naik

7 April 2014   15:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas tidak saya maksudkan sebagai fitnah atau kampanye hitam terhadap GOLKAR. Saya hanya menyalin apa yang tertulis di dinding pagar di jalan masuk menuju tempat tinggal saya. Tulisan itu saya lihat malam ini ketika anak saya meminta nasi goreng di tengah malam.

Tulisan itu jelas tulisan baru, kemarin belum ada. Saya yakin betul karena saya termasuk jenis pengendara yang tak bisa melihat lempang ke depan terus menerus, jadi saya tahu perubahan-perubahan yang terjadi di sepanjang jalan yang biasa saya lalui. Nah, disamping tulisan itu ada banyak semacam poster yang ditempel dan berisi kandidat dari partai lain. Maka dalam hati muncul duga-duga kalau yang menuliskan itu pasti ada kaitan dengan wajah dalam poster yang juga ditempel di dinding itu.

Dalam dunia persaingan memang wajar seseorang atau kelompok lain akan berusaha menunjukkan dirinya lebih baik dengan cara menjelekkan saingannya. Seolah sesuatu itu baik kalau yang lainnya jelek, begitu rumus sederhananya.

Tapi sekali lagi itu semua hanya duga-duga saya, karena sebenarnya masih ada banyak kemungkinan lain. Bisa saja saya menjelekkan diri saya sendiri, tapi saya buat seolah-olah orang lain yang melakukan agar orang lain itu dianggap sebagai tukang membusukkan, tukang fitnah dan suka bicara keburukan orang lain. Dengan demikian saya yang seolah-olah ‘diburukkan ‘ itu kemudian justru memperoleh simpati dari orang lain.

Namun diluar itu semua, sebenarnya menjelek-njelekkan kandidat atau peserta pemilu yang lain dilarang oleh undang-undang. Karena kebiasaan semacam itu berpotensi untuk menimbulkan perilaku persaingan yang busuk dan buruk. Dan tentu saja berpotensi memancing konflik yang bisa saja berkembang menjadi kekerasan dan tindak kriminal yang tidak diperlukan.

Jujur saja saya terganggu dengan tulisan yang ada di dinding itu. Bukan karena saya pembela atau pengemar GOLKAR. Saya tak ada urusan dengan GOLKAR dan partai-partai lainnya. Tulisan itu memprihatinkan untuk saya karena masih saja ada ‘keliaran-keliaran’ yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu demi memenangkan seseorang atau kelompok tertentu dengan merendahkan atau memfitnah seseorang atau kelompok lainnya.

Saya yakin tidak ada kebijakan besar untuk melakukan ‘kebusukan’ seperti itu secara sistematis, sebab selain tidak efektif, hal semacam itu justru merusak martabat diri pelakunya. Kebiasaan untuk menjelekkan yang lain untuk menaikkan citra diri justru akan dianggap sebagai kelakuan seorang pecundang, yang tak berani bertarung secara fair.

Pemilu adalah sebuah pertarungan terbuka, dimana semua kebaikan, cita-cita mulia, komitment yang kuat saling ditunjukkan untuk kemudian dinilai oleh masyarakat pemilih. Maka ketimbang berusaha mencari kesalahan atau kelemahan yang lain, dan kemudian menyusun serangan dengan serangkaian fitnah atau pembusukan, jauh lebih baik justru memaparkan diri yang sesungguhnya dihadapan masyarakat pemilih agar bisa dikenal dan dinilai.

Membusukkan pihak lain adalah upaya membuang-buang energi, perhatian dan konsentrasi. Fakta menunjukkan bahwa masyarakat umum di negeri ini kerap kali justru menjadi ‘iba’ pada mereka-mereka yang didzolimi, dibusukkan atau direndahkan oleh pihak lain.

Mungkin masih banyak tulisan-tulisan seperti yang saya lihat di ujung jalan masuk ke gang rumah saya. Dan saya yakin tulisan yang dilukis dengan cat semprot itu akan terus bertahan, karena tangan-tangan pengawas pemilu tak sampai di ujung jalan itu. Lagian siapa juga yang akan membeli cat untuk menimpa tulisan itu.

Di ujung jalan lain, dimana deretan temboknya menjadi ajang bagi para graffiti untuk berkreasi, saya pernah membaca tulisan “Dinding ini bukan diperuntukkan untuk tempat kampanye Caleg”. Dan ketika meliewati tempat itu saya selalu merasa setuju dengan pesan itu. Dinding memang bukan tempat untuk memajang alat peraga kampanye caleg, karena hanya akan meninggalkan jejak yang tidak sedap dipandang mata. Ketidakindahan yang akan merusak estetika dan wajah kota, dan itu memang dilarang oleh peraturan.

Pondok Wiraguna, 5 April 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun