Untung ada padepokan anti galau, mungkin itu yang sekarang dipikirkan oleh Pak Wiwid, suami dari seorang caleg perempuan yang menemui kenyataan bahwa kolom suara istrinya kosong bolong. Dunia langsung gelap, meski sebelumnya sudah berkomitment siap kalah dan siap menang.
Pak Wiwid kemudian dibawa ke padepokan anti galau untuk ditangani secara spiritual religius. Usut punya usut Pak Wiwid bukan kecewa saja terhadap perolehan suara istrinya, namun dibalik itu terbayang hutang yang tertinggal karena kekalahan ini. Jumlahnya ratusan juta rupiah yang mungkin dalam lima tahun ke depan akan membuat ekonominya kembang kempis.
Fenomena caleg gagal total adalah fenomena umum karena dari deretan panjang peserta pemilu sebagian besar memang tidak akan duduk di kursi yang didambakannya. Yang berbeda adalah soal kemampuan menghadapi kegagalan itu. Ada yang tenang-tenang saja karena sejak awal memang tidak ngoyo dan tidak juga jor-jor-an menginvestasikan uang. Tapi tak sedikit yang kemudian hilang kendali.
Ada caleg yang kemudian memblokir jalan, ada pula yang memukuli anaknya, tapi tak sedikit yang kemudian mendatangi calon konstituennya dulu untuk kemudian meminta apa yang sudah diberikan. Caleg gagal total dan kemudian mendatangi orang yang diberi sesuatu untuk memilih tapi kemudian dianggap tidak memilih adalah penanda paling terang dari politik uang.
Banyak orang bilang bahwa politik uang seperti bau kentut, tercium baunya tapi tak terlihat wujudnya. Pernyataan semacam ini hanyalah cara lain untuk melakukan pemakluman terhadap politik uang. Politik yang sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit untuk dibuktikan andai cara pembuktiannya tidak berbelit-belit. Dan terbukti setelah rekapitulasi suara bukti-bukti politik uang muncul dengan sendirinya.
Politik uang adalah kejahatan dalam pemilu dan diancam dengan hukuman penjara serta denda yang bisa membuat orang pusing tujuh keliling. Tapi terbukti tak ada yang takut terhadap ancaman pidana maupun denda politik uang. Sulit mencari caleg yang tidak melakukan politik uang dalam arti seluas-luasnya, baik sebelum maupun sesudah pemilu.
Terlalu mudah untuk membongkar politik uang sebenarnya. Wawancarai saja caleg yang gagal total, pasti mereka dengan mudah bisa menunjukkan dimana dan oleh siapa uang disebar. Atau wawancarai saja bekas tim sukses, yang mungkin bisa bercerita lebih. Bukan hanya membagi uang belaka tapi juga bagaimana mereka mempengaruhi panitia pemunggutan suara, pengawas dan penyelenggara pemilu.
Tantangannya justru pada keberanian dari para penegak hukum, beranikah kemudian mereka bersikap tegas jika menemukan fakta bahwa politik uang dilakukan oleh mereka yang kemudian terpilih. Resiko jika seseorang terpilih tapi kemudian terbukti melakukan politik uang, maka kedudukannya bisa dibatalkan.
Tak perlu berpanjang-panjang untuk menjawab, karena sudah jelas pasti hal itu sulit untuk dilakukan. Karena bisa-bisa banyak kursi akan dibatalkan. Dan sulit juga mencari pengantinya yang tidak tersangkut politik uang.
Seorang kawan membantu saudaranya yang mencalonkan diri, nilainya tidak terlalu besar yaitu sekitar 16 juta. Dan ketika saudaranya ditanya berapa perolehan suaranya jawabannya hanya 16. Dan tentu saja uang yang dikeluarkan oleh saudara kawan saya itu tidak sekedar 16 juta saja. Tapi sederhanakan saja, andai sumbangan kawan itu yang jumlahnya 16 juta hanya menghasilkan 16 suara maka rata-rata nilai sebuah suara sekitar 1 juta. Jadi bayangkan saja perlu berapa jika seseorang ingin duduk di kursi anggota dewan di tingkat kota atau kabupaten yang bilangan pembagi pemilihnya 6000?.
Kalau fenomena politik uang ini terus dibiarkan maka bayangkan saja untuk pemilu 2019, berapa lagi yang diperlukan untuk menduduki kursi dewan perwakilan rakyat?. Andai saja jumlah uang yang besar itu diinvestasikan niscaya akan banyak muncul usaha-usaha yang mungkin saja justru membantu mensejahterakan masyarakat ketimbang kedudukan dan fungsi anggota dewan perwakilan rakyat yang lebih banyak mengecewakan pemilihnya.
Pondok Wiraguna, 13 April 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H