Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Pasca Pencoblosan 06 : Ikhlas Berbagi

13 April 2014   20:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum memulai kompetisi dalam pemilu biasanya penyelenggara mengadakan semacam acara untuk meluncurkan yang disebut pemilu damai. Dan pesan yang biasanya terus diulang adalah komitment untuk siap kalah dan siap menang.

Jika kita mengibaratkan politik adalah pertarungan memperebutkan kekuasaan, maka semua pelakunya pasti sadar bahwa menang kalah itu soal biasa. Kedudukan yang tersedia jumlahnya tidak sebanding dengan mereka yang ingin mendudukinya. Maka sejak awal disadari bahwa sebagian besar akan mengalami kegagalan.

Jika mengikuti hitung-hitungan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maka butuh waktu berhari-hari untuk tahu siapa yang memenangi pemilu. Padahal dalam sebuah pertandingan yang terbuka, bukan hanya peserta melainkan juga pengembira yang butuh kepastian segera soal siapa pemenangnya.

Sejak tahun 1999 hadir lembaga-lembaga yang menyelenggarakan hitung cepat atau quick count. Dan beberapa tahun kemudian dalam pemilu kepala daerah muncul PVT, parallel vote tabulation, hitung cepat untuk keseluruhan TPS. Dengan topangan teknologi informasi dan komunikasi, parallel vote bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan.
Sejarah hitung cepat di Indonesia membuktikan bahwa apa yang diumumkan beberapa jam setelah penutupan tempat pemunggutan suara, hasilnya tidak jauh dengan apa yang dihitung oleh penyelenggara. Namun ada saja suara-suara yang sinis, bahkan tuduhan yang terlalu jauh dimana hitungan penyelenggara dianggap hanya melegitimasi hasil quick count.

Meragukan hitung-hitungan dan metode itu soal biasa, apa ayng cocok dipakai di daerah atau negara lain belum tentu cocok dipakai di Indonesia, karena sebuah metode kerap kali harus kontekstual. Pluralitas pemilih di Indonesia jelas lebih beragam dibanding Inggris atau Jerman misalnya. Sebuah metode juga butuh pra kondisi tertentu. Metode bisa berlaku valid di berbagai tempat yang berbeda dimana mempunyai kondisi yang sama, misalnya pemilu relatif jujur dan bebas dari rekayasa.

Yang menjadi soal apabila keraguan terhadap hasil quick count dilandasi oleh sikap tidak mau menerima kekalahan, atau semacam bentuk penyangkalan atas hasil yang dicapai atau kecewa karena perolehan suara yang rendah dalam pemilu.

Mengucapkan siap menang dan siap kalah memang mudah, tetapi sesungguhnya kekalahan selalu tidak mudah untuk diterima. Seseorang bisa saja kalap menghadapi kekalahan, melakukan tindakan yang memalukan dan gemar menyalahkan pihak lain sebagai yang bertanggungjawab.

Banyak orang yang sebelum pemilu, menyebut sejumlah aktivitas transaksional sebagai berbagi. Seorang teman mengingatkan saya agar mendukung upaya calon legislatif berbagi kepedulian, membagi buku tulis untuk pelajar sekolah dasar. Teman saya meyakinkan bahwa sang kandidat itu benar-benar ikhlas berbagi tidak memakai embel-embel.

Masa sosialisasi dan kampanye adalah masa berbagi, dan tentu saja pemberian itu meskipun dilandasi oleh sebuah keikhlasan pasti menyimpan motif agar pemberian itu bisa membantu mengarahkan perhatian yang diberi kepada yang memberi, syukur-syukur kalau kemudian dipilih.

Ujian soal ikhlas berbagi justru biasanya diuji setelah pasca pemilu, ketika pemenang sudah ditetapkan. Di gedung dewan perwakilan nanti ada kemestian yang harus dipenuhi yaitu kelengkapan dewan, mulai dari ketua, wakil, komisi-komisi hingga kelengkapan lainnya. Berbagi kapling tentu saja bisa bikin ribut apabila kesediaan berbagai tidak dimiliki oleh masing-masing diri mereka yang terpilih.

Keiklasan yang lebih besar dituntut untuk mewujudkan pemilu presiden 2014. Tidak ada satupun partai yang bisa mengusung calon presidennya sendiri. Butuh dukungan dari partai lain dalam bentuk yang lazim disebut sebagai koalisi. Namun koalisi yang terbentuk tidak berdasar pada titik berangkat yang sama, kekuatan masing-masing juga tidak sama, meskipun kesemuanya penting. Hitungan matematika mungkin saja bisa dibuat atau disajikan oleh para konsultan politik atau kaum analis. Tapi politik pasti mengatasi hitungan-hitungan semacam itu. Ada tuntutan lebih untuk memasuki ruang batin, ruang spiritualitas sehingga politik menjadi sebuah keutamaan, amanah. Untuk itu diperlukan keikhlasan berbagi.

Pondok Wiraguna, 12 April 2014
@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun