Decartes mengatakan Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada. Sementara Shopaholic mengatakan saya belanja (shopping) maka saya ada. Atas cara yang serupa, seorang kawan politisi mengatakan Saya Brengsek Maka Saya Terpilih.
Pernyataan itu bukanlah hasil karangan saya, sebab sungguh-sungguh saya dengar dalam perbincangan dengan seorang kawan politisi yang berhasil membawa partainya melejit dalam daftar partai yang memperoleh kursi terbanyak. Kawan yang bagi sebagian besar orang tidak meyakinkan sebagai seorang ketua partai politik itu ternyata bisa membawa bahtera partainya masuk ke gedung DPRD Propinsi dengan gerbong 1 fraksi.
Kok bisa?. Jawabnya singkat saja, karena saya brengsek begitu ujarnya. Brengsek itu artinya tidak sekedar memakai uang, melainkan juga mengembangkan strategi-strategi yang tidak didasari kaidah politik dan riset-riset politik dari lembaga penyedia jasa riset. Yang digunakan adalah bakat otak nakalnya mulai sejak kecil ketika harus berjuang dalam menjalani hidup. Prinsipnya hidup ini adalah kejam maka lawan.
Kebrengsekan yang dikembangkan adalah tipikal gaya survive anak jalanan dan pekerja anak. Yang kerap harus berlaku curang agar bisa mendapat uang lebih. Dengan demikian model kebrengsekannya jauh lebih sederhana dan ampuh ketimbang otak-atik kebrengsekan yang didasarkan pada pemikiran akademis atau riset-riset lembaga politik.
“Modal saya hanya pulsa”, begitu katanya. Sederhana bukan, dengan telepon dia mulai menelepon para calon anggota legislatifnya, meyakinkan kalau seseroang calon akan jadi karena calon lainnya lemah, kurang bekerja, kurang modal dan lain sebagainya. Jadi isi pembicaraan kepada masing-masing caleg sama saja, yang membedakan hanya bunga-bunganya saja. Alhasil semua calegnya bekerja sehingga perolehan suara partai akumulasinya menjadi cukup tinggi.
Tentu saja semua akal bulus itu juga harus didukung dengan amunisi. Jika banyak caleg dari partai lain menghambur anggaran untuk kegiatan sosial, maka kawan ini justru sangat selektif. Menurutnya menghambur uang sembarang untuk pencitraan itu tidak efektif. Baginya tidak perlu dikenal oleh seluruh masyarakat, cukup masyarakat tertentu saja namun yang mengenal akan memberikan suara untuknya. Tidak perlu semua wilayah digarap olehnya, karena akan menghabiskan banyak biaya namun tak berbanding lurus dengan perolehan suara.
“Masjid, jalan, bola volley, lapangan bola, gedung sekolah itu nggak memilih, jadi jangan beri anggaran untuk kegiatan seperti itu”, ujarnya.
Benar juga, karena alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan bantuan pada rumah ibadah, kegiatan pemuda, pengembangan infrastruktur nanti bisa dilakukan apabila seseorang sudah duduk sebagai anggota legislatif lewat kuasa budgetingnya.
“Berikan sesuatu kepada orang yang akan memberikan suaranya”, begitu kiat kawan itu.
Dan rumus itu ternyata jitu. Saya tidak mengatakan bahwa kawan saya yang terpilih itu tidak melakukan kerja-kerja politik. Setahu saya, sudah lama dia melakukan kerja-kerja politik dan pengorganisasian di salah satu dapil, tetapi dengan perhitungan tertentu dapil itu ditinggalkan. Kebun yang sudah ditanami dibiarkannya hilang karena dalam perhitungannya panen tidak akan banyak, akan ada terlalu banyak hama yang bakal menyerbu panenannya. Untuk itu dia memilih pergi dan membangun kebun lain di daerah pemilihan lain.
Dan perjudiannya ternyata benar, didaerah yang digarap kurang dari setahun ternyata perolehan suaranya justru tinggi dan mampu menghantar ke kursi anggota dewan yang terhormat. Ilmunya tidak banyak, hanya mengingat sebuah pepatah yang diajarkan gurunya waktu kecil dulu. “Panas setahun diguyur hujan sehari”, pepatah itu begitu tertanam di benaknya dan dipraktekkan.