Ketika membuat judul diatas, saya tidak sedang ingat judul film Yang Muda Yang Bercinta, melainkan tiba-tiba saja terlintas dalam benak saya kata-kata seorang kawan ketika membicarakan tentang hasil pemilu.
Perkataannya menarik, karena kawan saya itu bukan seorang yang sinis pada pemilu. Kawan itu adalah anggota Bapilu, Badan Pemenangan Pemilu dari sebuah partai yang termasuk kategori 3 besar dalam pemilu 2014. Saya tahu tidak semua orang yang terlibat atau menjadi peserta pemilu melakukan kecurangan. Masih ada yang baik dan ternyata menang.
“Kalau calegnya tidak curang, maka partainya yang curang atau sebaliknya”, begitu kata kawan itu ketika saya berusaha memoderasi pernyataannya. Itu berarti kawan saya yakin betul bahwa sebagian besar peserta pemilu mendapat kemenangan dengan cara-cara yang tidak benar.
Curang, sejauh pemahaman saya adalah perilaku untuk menjadi pemenang, berhasil mencapai tujuan dengan cara-cara yang tidak seharusnya. Dan dalam konteks pemilu, cara yang tidak seharusnya adalah yang bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu dah juga Peraturan KPU selaku penyelenggara pemilu.
Pemilu sendiri sebuah proses yang panjang, terdiri dari berbagai tahapan mulai dari pendaftaran calon, penentuan calon tetap, sosialisasi, kampanye, pencoblosan, perhitungan suara hingga penentuan kandidat terpilih. Bisa jadi kecurangan dilakukan oleh peserta pemilu dalam keseluruhan tahapan, namun bisa juga dalam beberapa tahapan saja.
Dalam tahapan pendaftaran calon ditemui berbagai kasus kecurangan, misalnya calon legislatif mendaftar dengan ijazah palsu. Juga sejumlah kepalsuan lain seperti surat pemeriksaan kesehatan atau bebas narkoba yang diperoleh tanpa pemeriksaan yang detail.
Kecurangan dalam bentuk pelanggaran terhadap peraturan atau undang-undang terkait pemilu yang paling banyak terjadi adalah pada masa sosialisasi dan kampanye. Terkait dengan pemasangan alat peraga kampanye misalnya ada peraturan KPU yang mengatur tempat dimana algaka bisa dipasang atau tidak. Namun peraturan itu menjadi sia-sia belaka, karena pemasangan dengan cara memaku di pohon yang dilarang oleh peraturan KPU ternyata marak terjadi dimana-mana, sampai-sampai pihak yang berwenang mencopotnya menjadi kelelahan hingga dibiarkan saja.
Baliho besar dan mencolok yang seharusnya hanya untuk kampanye partai ternyata memasang wajah caleg. Dan jumlah yang diperkenankan untuk tiap desa/kelurahan ternyata juga dilanggar. Baliho serupa sambung menyambung menjadi satu sepanjang jalanan. Tak heran jika ada yang menyebut baliho-baliho kampanye caleg itu sebagai sampah visual.
Membedakan antara sosialisasi dan kampanye juga menjadi sulit. Karena di saat sosialisasi ternyata banyak juga caleg yang sebenarnya sudah melakukan kampanye. Mengadakan pertemuan-pertemuan dengan warga, memperkenalkan diri, sambil menyebut nomor urut yang nantinya akan dicetak di kertas suara. Dan tak lupa juga mengadakan bagi-bagi pada masyarakat yang ditemui, entah bagi-bagi janji maupun barang atau material tertentu.
Banyak juga caleg yang merupakan ketua dari organisasi tertentu yang mendapat dana dari APBN/D entah dalam bentuk hibah atau bansos. Dan dana itu dimanfaatkan untuk kegiatan yang mengatasnamakan organisasi namun untuk keuntungan sang ketua sebagai caleg. Kegiatan dimanfaatkan untuk sosialisasi dan kampanye dirinya. Jadi sang caleg berkampanye, merebut hati dan suara masyarakat dengan dana dari pemerintah.
Deretan kecurangan bisa saja terus diperpanjang. Namun semua akan berpuncak pada saat perhitungan suara dan penentuan kandidat terpilih. Pleno-pleno perhitungan suara selalu alot karena muncul ketidaksesuaian, suara naik turun, berpindah atau bahkan hilang. Perhitungan dari TPS, PPS, PPK hingga pleno di KPU ternyata tidak konstan. Muncul isu jual beli atau bahkan pencurian suara. Dan isu itu bukan omong kosong, karena ada berita tentang komisioner KPU Daerah yang diamankan polisi pada saat perhitungan suara karena terbukti menerima suap untuk merubah suara.
Sayang mereka yang terbukti melakukan kecurangan dan kemudian ditangkap atau diproses oleh penegak hukum jumlahnya hanya sedikit. Mereka yang curang dan kemudian tetap melenggang ke kursi wakil rakyat yang terhormat jumlahnya jauh lebih banyak. Sekali lagi itu bukan kesimpulan saya melainkan sekedar modifikasi dari pernyataan kawan saya yang mengatakan “Buktikan kepada saya, dari mereka yang terpilih itu yang sama sekali bebas dari kecurangan!”.
Pondok Wiraguna, 28 April 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H