Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesta yang Tercela

7 Mei 2014   21:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan umum sering kali disebut sebagai pesta demokrasi. Pesta berarti perayaan bersama, masyarakat merayakan peristiwa politik secara kolektif untuk memuncaki kaidah ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’. Masyarakat sebagai pemilih akan menentukan pilihan dari para calon yang berasal dari masyarakat dalam sebuah perayaan yang diikuti oleh masyarakat dan menghasilkan seorang pemimpin yang akan bekerja untuk masyarakat.

Namun yang disebut sebagai pesta demokrasi sesungguhnya adalah sebuah kompetisi untuk memperebutkan suara rakyat. Peserta pemilu yang sama-sama menyatakan akan mengabdikan diri, waktu, tenaga dan pikirannya untuk rakyat akan bertarung satu sama lain. Kursi yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah peserta pemilu. Persaingan begitu ketat karena 90% dari calon akan tersingkir atau kalah dalam perolehan suara. Tingkat persaingan yang tinggi dengan sendirinya akan membuat masing-masing calon menggunakan cara yang paling manjur untuk memenangkan suara. Cara itu tidak selalu baik dan bahkan sebagian besar melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

Kualitas pemilu legislatif 2014 memang dikeluhkan oleh banyak pihak. Pelanggaran marak terjadi mulai dari saat sosialisasi. Peraturan KPU  tentang alat peraga kampanye tidak digubris oleh peserta pemilu. Dan pelanggaran terus berlanjut pada saat masa kampanye dimana banyak sekali anak-anak secara sengaja dilibatkan dalam kampanye dengan memakai atribut partai.

Daftar kecurangan dalam tahapan pemilu bisa saja dituliskan namun akan sangat panjang. Politik uang yang merupakan kejahatan dalam pemilu bahkan terjadi begitu telanjang, di depan mata. Pelaku yang seharusnya terkena pidana pemilu seperti tidak takut ketahuan karena diamini oleh kebanyakan masyarakat.

Setelah pencoblosan, kejahatan pemilu bukannya reda namun malah menjadi-jadi. Panitia pemilu mulai dari tingkatan TPS, PPS dan PPK menjadi pemain dan operator untuk memain-mainkan perolehan suara. Banyak calon anggota legislatif yang mengeluh karena suaranya hilang seperti ditelan oleh hantu. Entah bagaimana para pelaksana pemilu bisa memainkan suara, atau bahkan ada yang menawarkan suara kepada calon legislatif tertentu. Jual beli suara tidak lagi terjadi antara calon dengan pemilih melainkan dengan panitia pelaksana pemilu di berbagai tingkatan.

Suasana perhitungan suara baik di PPS maupun PPK bak suasana perang. Masing-masing dengan senjatanya saling menyerang. Tak heran jika kemudian perhitungan suara menjadi alot, padahal perhitungan suara tak lebih hanya memindah angka dari satu formulir ke formulir lainnya. Dan formulir asal dari perhitungan sebelumnya sudah ditandatangani para saksi.

Apakah buruknya kualitas pemilu 2014 ini terjadi karena sistem pemilu yang kita anut?. Menyalahkan sistem tentu saja adalah kesimpulan tergesa-gesa dan sederhana alias cari mudah. Kita tak bisa menutup mata bahwa kualitas pemilu 2014 yang buruk tak lepas dari tingkat kecurangan yang sangat massif baik ditingkatan peserta dan pelaksana termasuk lemahnya pengawasan sehingga terkesan ada pembiaran terhadap rentetan kecurangan-kecurangan.

Politik menghalalkan cara untuk memperoleh suara dalam aneka bentuk telah menginfeksi struktur sosial. Masyarakat bukan hanya permisif terhadap kegiatan vote buying, lebih dari itu karena pemilih kemudian menjadi ‘jahat’ karena tidak memilih mereka yang baik karena tidak memberi uang. Banyak calon legislatif yang bermutu akhirnya harus tersingkir karena mereka mencoba bermain lurus, menawarkan kapasitas dirinya tanpa embel-embel pemanis berupa pemberian barang, jasa ataupun uang.

Sepertinya kita telah mencapai keadaan “Pemimpin yang buruk berasal dari masyarakat yang buruk pula”. Kita dengan pesta demokrasi justru masuk dalam ‘lorong gelap’ pemilihan secara langsung dengan terpilihnya ‘bandit-bandit’ demokrasi untuk menduduki jabatan yang merupakan manifestasi dari mandat rakyat.

Semoga praktek buruk dalam pemilu legislatif 2014 tidak menular dalam pemilu presiden 2014. Para calon-calon presiden yang digadang oleh partai-partai pemenang pemilu diharapkan akan menjadi ‘vaksin’ yang mematikan virus politik transaksional jangka pendek dalam pemilu legislatif. Jika kemudian Jokowi, Prabowo atau calon lainnya tak mampu menyembuhkan penyakit pemilu legislatif dalam pemilu presiden 2014, maka kejahatan baik pemilih, peserta maupun pelaksana pemilu kemungkinan besar akan menjadi penyakit permanen yang menyertai pemilu-pemilu berikutnya.

Pondok Wiraguna, 7 Mei 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun